Tuesday, 16 June 2015

PEMIKIRAN POLITIK STRATEGIS IBNU TAIMIYAH



Oleh: Wahidatun Hasanah ( 09260139) 

Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada zaman klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada ketentuan-ketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada tahun 661 H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia akan tercipta dalam satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan peran dari ketergantunganya pada orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kemaslahatan umat dan melaksanakan syari’at Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan pemimpin. Orang yang pantas menjabat sebagai pemimpin adalah yang memiliki kekuatan(quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).

Syarat kekuatan dan wibawa memegang peranan yang sangat penting dalam konsepsi politik, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Selain itu kepala negara mempunyai tanggung jawab dan tugas yang tinggi dimana mereka harus menegakkan segala hal yang dikehendaki Allah dalam menegakkan institusi-institiusi amr ma’ruf nahi munkar,sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa dilihat dengan ketakwaannya kepada Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan hal-hal nepotisme,yang mementingkan kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis.

Ibn Taimiyah juga berpendapat tanpa adanya kejujuran dan kekuatan maka seorang kepala negara tidak akan efektif menjalankan pemerintahannya. Karenanya, kepala negara juga harus mengangkat pembantu-pembantunya dari orang -orang yang mengerti dan menguasai bidangnya, bukan berdasarkan pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]

Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara, namun hal itu tidaklah mutlak, dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak bisa diperoleh, maka harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan. Tetapi kaumnya harus terus berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat menjalankan ajaran agamanya.

Ibn Taimiyah juga memberikan konsepsi al-syawkah dalam teori politiknya, sedangkan ahl al-masyawkah yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat yang memilih kepaal negara dan melakukan sumpah setia, jadi seorang tidak bisa menjadi kepla negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]

Ibnu taimiyyah menekankan fungsi negara dalam membantu agama, dia menolak dan tidak membenarkan khalifah-khalifah bani abbas yang menurutnya hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Karena itu Taimyyah lebih sering menggunakan kata “imarah” dalam konteks kenegaraan.

Ada dua argumentasi yang diberikan taimiyah, yang pertama yaitu bahwa agama islam menghendaki sebuah tatanan social yang terorganisir sehingga agama dapat berfungsi sebagi semestinya dan kembali pada konteks awalnya.Yang kedua yaitu kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan kecuali didalam suatau tata social dimana setiap orang bergantung pada yang lainnya.


SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Ketika kita berbicara tentang abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa tokoh penting yang sangat berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang dilahirkan di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah seorang aktivis dengan gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi umat islam disaat zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Dimana pada saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam


Jamaluddin menyadarkan umat islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut Jamaluddin dunia islam dalam penyakit absolutisme dan despotisme penguasa, serta kolonialisme dan imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu berhadapan dengan bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi dan perombakan pemerintahan.dia  juga mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah yang memuat kebangkitan umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul Wathan) dan mengembangkan al-Mishr li al-Mishriyyin.Beliau adalah musuh penguasa islam yang dzalim, otoriter dan korup.


Pemikiran Politik

Ketika melihat kenyataan bahwa dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang absolut, diamna mereka menjalankan kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi maka jamaluddin melakukan usaha yang menekankan pada revolusi yang didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha memprovokasi umat islam, untuk merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun dengan cara pemberontakan dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat. Dia menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak jauh berbeda dengan tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa lepas dari cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk pemerintahan yang sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang aktif yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat.

Untuk melawan kekuatan asing dan membangkitkan semangat kesatuan umat islam maka Jamaluddin membentuk sebuah gerakan Pan Islamisme yang berarti bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu pemerintahan tunggal. Karena umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan. Dia juga tidak mau melakukan kerja sama dengan penjajah. Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 41 Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 35

Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat Islam mengalami kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit taqlid dan jumud karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad. Pada kondisi inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke internal, yaitu memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat dan ke eksternal, yaitu  berjihad melawan tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang dgn pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan ijtihad  pribadi yg beliau sendiri melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan  pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.

Kalaulah dikatakan, seperti dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah Islam itu dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al Mawardi; disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis; fiqh itu distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg memang utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to realita", yaitu pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg menggunakan pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita", yaitu kondisi realis dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut penulis, Ibnu Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang ulama sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek.

Pemikiran politik Ibnu Taimiyah tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan Minhaj as Sunnah. Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun  pengamalan.

Pertama, tentang amanah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan  bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi, kepemimpinan itu adalah satu dari kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa tegak tanpa kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan  pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta benda malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat. Ia akan dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala lapar yg dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari orang yg loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat kehormatan bagi agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh Tirmidzi). Tentang kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah sekaligus. Jika tidak terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau amanah? Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti profesional dan kompeten dalam leadership.

Kedua, tentang musyawarah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah sebuah kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya. Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas untuk mengaturnya. Dengan musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga. Umat Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yang dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau : "Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dan seterusnya." Artinya, dengan 1 orang, suatu hasil keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih dari 3 orang yang bermusyawarah, maka keputusan yang diambil akan jauh lebih aman dari intervensi syaithan. Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau tidak dikatakan sangat menentukan. Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu representatif, karena tidak mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja. Tentunya perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yang ada pada masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan sebagai dewan  parlemen yang terdiri dari para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil definisi yang pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya terbatas kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau menegaskan seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat. Beliau memperkenalkan lembaga Ahlusy Syaukah, yang terdiri dari ulama dan orang-orang yang memegang otoritas di masyarakat.

Ketiga, tentang 4 golongan manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1) Manusia yg ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg ingin berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3) Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg ingin tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak ingin kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga.

Keempat, tentang 2 jalan yg buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang 2 jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan,  jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan  jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat (dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan pertama adalah jalan orang Nasrani dan  jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik. Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus"; kerajaan itu representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan Yahudi berhasil membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi  pemerintahannya tidak mementingkan agama. Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.

Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim), yaitu jalan Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.



Bersambung





No comments:

Post a Comment