Wednesday, 17 June 2015

PEROSAK KEAMANAN WAJIB DIHUKUM



Memenggal Kepala Bolehkah dalam Islam ? (bagian 2)


Rabu, 03 Shafar 1436  Bahasan, Featured

Lanjutan Bagian 1

Oleh Syaikh Mahmud ibn Husein
Terjemah oleh: Zonder

Ibnu ‘Athiyah berkata:


“Di dalam Al-Muharrar al-Wajiz: (Maka tebaslah batang leher mereka) adalah bentuk mashdar (kata dasar) yang bermakna fi’l (kata kerja), artinya: maka tebaslah batang leher mereka. Dan disebutkan salah satu jenis cara membunuh yang paling dikenal dan dimengerti”.

Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya:


“Allah Ta’ala berfirman memberi bimbingan kepada orang-orang yang beriman terhadap hal yang bisa dijadikan sandaran dalam perang mereka melawan orang-orang musyrik; (“Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka tebaslah batang leher mereka.”) yakni: apabila kamu berhadap-hadapan dengan mereka (di medan perang-pent) maka intailah mereka dengan ketat menggunakan pedang”.


Al-Mawardi berkata dalam Al-Ahkam As-Sulthaniah:


“Maka (bagi amir) dalam masalah tawanan boleh memilih hal yang paling mashlahat dari empat hal; yang pertama: dengan membunuh mereka dengan memenggal kepala mereka…”.


Betapa banyak kita membaca hadits tentang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang meminta izin kepada beliau untuk memenggal kepala beberapa orang, dan Nabi tidak mengingkari akan hal itu, hanya saja Nabi menolak karena beberapa sebab seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits, dan di antara mereka yang meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memenggal kepala adalah: Umar dan Khalid Radhiyallahu anhuma ketika keduanya ingin memenggal kepala Dzul Khuwaishirah At-Tamimi, dan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu yang ingin memenggal kepala Ibnu Shayyad dan kepala Hathib bin Abi Balta’ah, dan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada paman Al-Barra untuk me-menggal kepala seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya, dan permintaan Abu Barzah kepada Abu Bakar untuk memenggal seorang laki-laki yang berbuat kasar kepada Abu Bakar, dan ketika ada seorang ahlul kitab berkata kepada Nabi ‘As-Samu alaikum’ (kematian atasmu) Umar meminta izin untuk memeng-gal lehernya, dan juga Mu’adz ketika tiba di Yaman dia tidak duduk di Majlis Abu Musa hingga dia me-menggal seorang Yahudi murtad sebagai ‘hukum Allah dan hukum Rasul-Nya’. Dan kaum muslimin pernah menggali parit di pasar Madinah untuk orang Yahudi Bani Quraizhah. Kemudian mereka diperintah untuk menggiring orang-orang Yahudi itu ke parit kelompok demi kelompok, lalu dipenggallah leher mereka di atas parit itu sebagai hukum Allah dari langit ketujuh.

Memenggal kepala adalah perkara yang maklum, masyhur dan diamalkan tanpa ada pengingkaran, baik di masa Nabi, masa Khulafaur Rasyidin dan setelah masa mereka hingga waktu penjajahan orang-orang Nashrani atas negeri-negeri kaum muslimin pada abad yang lalu, orang-orang salib ini telah memerangi makna-makna syariat, membuat rancu agama, dan meyakinkan kaum muslimin bahwa agama Islam adalah agama perdamaian, kasih sayang, cinta dan toleransi, tidak ada darah, pembunuhan dan peperang-an, dan keadaan kaum muslimin tetap seperti ini hingga Allah menghidupkan kembali sunnah memotong kepala lewat tangan mujahid penyembelih Abu Mush’ab Az-Zarqawi rahimahullah, semoga Allah meneri-manya sebagai syuhada.

BEBERAPA ATSAR YANG MENUNJUKKAN BOLEHNYA MEMOTONG KEPALA
Disebutkan di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, ‘Bab Membawa Kepala’;


“… Abu Nadhrah menceritakan; suatu ketika Rasulullah bertemu musuh, maka beliau bersabda kepada para sahabatnya; ‘siapakah dari kalian yang dapat membawa kepala, maka atas Allah (untuk memenuhi) apa yang diinginkannya”.


Berkata Ibnu At-Turkamani di dalam Al-Jauhar An-Naqiy [‘ala As-Sunan Al-Kubra lil Baihaqi]: “Dan yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Al-Marasil…dari Abu Nadhrah dia berkata; ‘Suatu ketika Nabi shallal-lahu alaihi wa sallam bertemu dengan musuh, maka beliau bersabda;


‘Siapa yang dapat membawa kepala (musuh), maka atas Allah apa (untuk memenuhi) apa yang dia inginkan’. Maka datanglah dua orang yang membawa satu kepala dan mereka berdua berselisih, lalu nabi memutuskan atas salah satu dari keduanya… dan ini adalah hadits munqathi’. Jika hadits ini kuat, maka di dalamnya ada dorongan untuk membunuh musuh, tapi tidak ada dalil di dalamnya tentang memindahkan kepala dari negeri syirik menuju negeri Islam”.


Dan menurut Ibnu Abi Syaibah rahimahullah; dari Al-Barra ibn ‘Azib berkata;


“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus utusan kepada seorang laki-laki yang telah menikahi istri bapak (utusan itu), beliau memerintahkan untuk mendatangkan kepalanya…” dan juga menurutnya, dari Abu Ubaidah berkata, ber-kata Abdullah; “kami ikut serta dalam perang Badar, aku, Sa’ad dan Ammar, maka datanglah Sa’ad mem-bawa dua kepala…” dan juga menurutnya; dari Hunaidah ibn Khalid al-Khuza’i berkata; “Sesungguhnya kepala pertama yang dihadiahkan di dalam Islam adalah kepala Ibnu al-Hamaq, yang dihadiahkan kepada Muawiyah”.


Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya berkata:

“Berkata Ibnu Ishaq: beberapa laki-laki Bani Makhzum meyakini bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata: “berkata (Abu Jahal) kepadaku: ‘Engkau telah mendaki tempat yang sulit hei penggembala kambing yang kerdil…” dia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Lalu aku memutus kepalanya, kemudian aku membawanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan aku berkata; ‘Wahai Rasulullah, ini adalah kepala musuh Allah”. Rasulullah menjawab; “benarkah, demi Allah yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia?” dan itu adalah sumpah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu aku (Ibnu Mas’ud) menjawab: “Ya, demi Allah yang tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia”. Lalu aku melemparkan kepala itu ke hadapan Rasulullah, dan beliau pun membaca hamdalah”. Seperti ini yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq”.


Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari jalur Muhammad ibn Yahya ibn Sahl ibn Hutsmah, dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika menerima para tawanan perang ketika itu sedang berada di ‘Irqu Zhabiyyah beliau memerintah Ashim ibn Tsabit untuk memenggal kepala ‘Uqbah ibn Abu Mu’aith secara shabran (dalam keadaan ditawan dan tanpa perlawanan - pent), dia berkata; “Hai Muhammad, apa balasan bagi Shabiyyah?” Rasulullah menjawab: “Neraka”. (diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni). Ini terjadi pada perang Badr, dan saat itu juga dibunuh secara shabran bersamanya An-Nadhar bin Al-Harits al-Abdi dan Thu’aimah ibn Adi.

Dan diriwayatkan oleh para ahli sirah bahwa para malaikat memenggal kepala orang-orang kafir pada saat perang Badar, disebutkan di dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir; diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Umamah bin Sahl, dari ayahnya berkata; “Wahai anakku, sungguh aku pernah melihat kami di saat perang Badar, bahwa ada salah satu dari kami yang mengincar kepala orang musyrik, tapi tiba-tiba kepala itu telah terlepas dari tubuhnya sebelum pedangnya sampai menebasnya…” dan berkata Ibnu Ishaq: “ayahku berkata, seorang laki-laki dari Bani Mazin berkata, dari Abu Waqid al-Laitsi, dia berkata; “Aku sedang membuntuti seorang laki-laki musyrik pada perang Badar untuk menebasnya, tapi tiba-tiba kepalanya terjatuh sebelum pedangku sampi kepadanya, maka aku tahu saat itu ada orang lain yang telah membunuhnya”.

Ibnu Katsir berkata di dalam al-Bidayah wa An-Nihayah: “Dari Abu Bardah bin Nayyar berkata; ‘Pada perang Badar aku datang membawa tiga kepala, lalu aku letakkan semuanya di hadapan Rasulullah shallal-lahu alaihi wa sallam, lalu aku berkata; “Adapun dua kepala itu, maka aku yang membunuhnya, sedang-kan yang satunya, aku melihat seorang laki-laki yang tinggi yang menebasnya hingga menggelinding di ha-dapannya, lalu aku mengambil kepalanya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “laki-laki itu adalah Malaikat”.

Disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah kisah tentang Abu Bakar dan kepala yang dibawakan kepadanya di dalam bab ‘Bab Membawa Kepala’. Dan ada perbedaan besar - sebagaimana yang telah kami sebutkan - antara membawa/memindahkan kepala dan memotongnya atau menyembelihnya, adapun yang pertama (memindahkan kepala-pent) maka ini yang menjadi perselisihan, sedangkan hal kedua maka aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat antara para ulama, maka siapa yang mendapati adanya perbedaan pendapat dalam bolehnya memotong kepala, maka beritahulah kami…

Berkata Ibnu Syaibah di dalam Mushannafnya: dari Yazid bin Abu Habib al-Mishri, dia berkata: “Abu Bakar atau Umar (Al-Auza’i ragu) mengutus Uqbah bin Amir al-Juhani dan Maslamah bin Mukhallad al-Anshari ke Mesir, dia berkata; “Maka mereka berhasil membukanya, lalu mengirimkan kepadanya kepala Yannaq al-Batriq (seorang komandan perang Romawi), dan ketika beliau melihat hal itu, beliau mengingkarinya, dia berkata; “sesungguhnya mereka memperlakukan kita seperti ini” maka beliau menjawab; “Kita mengi-kuti tata cara orang Persia dan Romawi? Janganlah kalian mengirimkan kepada kami kepala, tapi bagi kita cukup dengan surat dan berita”. (Dia berkata di dalam Kanzu Al-Ummal: “Berkata Ibnu Katsir; sanadnya shahih).

Di dalam As-Sunan al-Kubra karya Al-Baihaqi, pada Bab Tentang Memindahkan Kepala; “Amru bin al-Ash dan Syarahbil bin Abu Hasnah mengutus Uqbah untuk menyampaikan berita kepada Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu anhu dengan membawa kepala Yannaq Batriq dari Syam. (dan riwayat di dalam As-Sunan Al-Kubra milik An-Nasai dari Abdullah bin al-Mubarak dari Said bin Yazid). Berkata Ibnu al-Jawaliqi: “Batrik dalam bahasa Romawi berarti komandan, yakni pemimpin pasukan, bentuk jamaknya Bathariqah (Tahdzib al-Asma wa Al-Lughat). Sesungguhnya pengingkaran Abu Bakar bukan pada pemenggalan kepala, tetapi beliau mengingkari pemindahan kepala dari Mesir ke Madinah, buktinya adalah perkataan beliau; “…Sesungguhnya cukup bagi kita dengan surat dan berita”.

Berkata Asy-Syarakhsi di dalam Syarh Siyar al-Kabir: “[Bab Membawa Kepala Ke Hadapan Pemimpin]”. Di-sebutkan dari Uqbah bin Amir al-Juhani radhiyallahu anhu bahwa dia menemui Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu anhu dengan membawa kepala Yannaq Batrik, dan beliau mengingkari hal itu.

Lalu dikatakan padanya; “Wahai khalifah Rasulullah, sesungguhnya mereka melakukan hal ini kepada kami”. Abu Bakar menjawab; “Kita meniru orang Persia dan Romawi? Jangan bawakan kepadaku kepala, cukup tulisan surat dan berita”.

Dalam riwayat lain, beliau berkata kepada mereka; “Kalian telah berlebihan” maksudnya melampaui batas. Dalam riwayat yang lain beliau menulis surat kepada pekerjanya di Syam; “Janganlah mengirimkan kepala kepadaku, akan tetapi cukup dengan tulisan dan berita”.

Sebagian para ulama mengambil kesimpulan sesuai dengan zhahir hadits ini, mereka berkata; “Tidak diperbolehkan membawa kepala kepada pemimpin, kerena itu termasuk bangkai. Maka yang terbaik adalah menguburnya untuk menutup sesuatu yang mengganggu, dan karena mempertontonkan kepala termasuk mutslah (cincang) dan Rasulullah shallallahu alalihi wa sallam telah melarang untuk mencincang walau itu seekor anjing hitam”. Dan Abu Bakr telah menjelaskan bahwa hal ini termasuk perbuatan ja-hiliah dan kita telah dilarang untuk menyerupai mereka.

Kebanyakan guru kami – semoga Allah merahmati mereka – berpendapat, jika hal itu membuat kedukaan dan sakit hati pada musuh, atau membuat tenang kaum muslimin, misal yang terbunuh adalah seorang komandan kaum musyrikin, atau ksatria mereka, maka hal itu tidak mengapa. Tidakkah kita telah memba-has, bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu membawa kepala Abu Jahl ke hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada Perang Badar dan melemparkannya ke hadapan beliau seraya berkata; “Ini adalah kepala musuhmu, Abu Jahal”.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Allahu Akbar! Ini adalah Fir’aunku dan Fir’aun umatku, kejahatannya padaku dan pada umatku lebih besar dari kejahatan Fir’aun kepada Musa dan kaumnya”.

Dan beliau tidak mengingkari akan hal itu.

Dan ini adalah makna yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri rahimahullah, dia berkata; “Tidak pernah dibawa kehadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepala kecuali pada perang Badar”. Dan pernah dibawa ke hadapan Abu Bakr radhiyallahu anhu dan beliau mengingkarinya.

Dan yang pertama kali membawa kepala kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah Ibnu Zubair radhiallahu anhu. Dan ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Unais kepada Sufyan bin Abdullah, Abdullah berkata; “Maka aku tebas batang lehernya dan aku ambil kepalanya, lalu aku naik ke arah gunung dan bersembunyi di sana, ketika orang-orang yang mencariku telah pulang, aku pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa kepala itu”.

Dan ketika Rasulullah mengutus Muhammad bin Maslamah radhiyallahu anhu untuk membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf, dia pung datang menghadap Rasul dengan membawa kepala dan beliau tidak mengingkari hal itu. Maka jelaslah bahwa dari atsar-atsar ini bahwa hukum hal ini tidak mengapa, dan Allah yang memberi taufiq. (selesai nukilan dari Syarh as-Siyar).

Ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Musykil al-Atsar (jilid VII) dalam memaparkan tentang tidak sukanya Abu Bakr Ash-Shiddiq ketika dibawakan kepala kepadanya: “Sesungguhnya Abu Bakar, walaupun dia mengingkari hal itu, namun orang yang membawanya adalah Syarahbil ibn Hasnah, Amru bin Ash, Uqbah bin Amir dan orang-orang yang bersamanya dari para komandan pasukan, seperti Yazid bin Abu Sufyan


Bersambung insya Allah ...






No comments:

Post a Comment