May 22, 2015 1,659 Views
Abu Hamzah al-Muhajir
(rahimahullah) pernah menyampaikan pesannya kepada fraksi nasionalis di Iraq , “Kepada yang berjuang untuk bangsa dibawah
panji nasionalis patriotis, Saya
katakan, seseorang yang datang
kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam –dalam Bukhari & Muslim riwayat
Abu Musa- bertanya ‘ya Rasullullah, siapakah yang berperang di jalan Allah?
Seseorang mungkin berperang karena kemarahanya atau perang karena hamiyyah
(kesombongan)? Maka Rasul shallallahu
alaihi wa sallam mengangkat kepalanya dan berkata “siapapun yang berperang
supaya kalimat Allah itu tinggi maka ia berperang di jalan Allah,”.
An Nawawi, Ibnu Hajar dan yang
lainnya mengatakan bahwa hamiyyah adalah
berperang untuk harga diri, iri hati atau mempertahankan marga/keluarganya.
Kemudian, Al Hafidh Ibnu Hajar dalam bukunya ‘Al Fath’, dikatakan bahwa:
“Mungkin saja seseorang berperang untuk menolak bahaya dan berperang
karena marah bisa berarti perang untuk mencari keuntungan”.
Jadi apakah perang kalian, wahai
manusia, bertujuan sebagaimana apa yang Rasul shallallahu alaihi wa sallam
peringatkan? Yang dikehendaki syari’ah Allah seperti al Hafidh ibnu Hajar dalam
‘Al Fath’ mengatakan:
“Perang itu tidaklah fi sabilillah kecuali kalau peperangan itu hanya
untuk kalimat Allah yang paling tinggi”.
Pembebasan negeri dan tujuan lain
di dalamnya adalah akiba, bukan tujuan. Anda tahu keburukan perang ini,
sebagaimana para penguasa arab hari ini yang naik tahta kekuasaan dengan
bendera nasionalisme. Apa hasilnya? Bukankah kerugian dunia dan akhirat?
[Makalah Kedua].
Amirul Mukminin Abu ‘Umar al
Baghdadi (rahimahullah) mengatakan:
“Pemikiran nasionalisme dan
patriotisme bertolak belakang dengan Agama dalam banyak hal yang mendasar.
Pertama, keutamaan seseorang harus berdasarkan ketakwaan bukan
berdasarkan darah (keturunan). Allah (ta’ala) berfirman {“Wahai manusia sungguh telah ciptakan kamu, laki laki dan perempuan
dan menjadikamu bersuku suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah
yang paling bertaqwa”}[Al Hujurat:13].
Kedua, nasionalisme berlawanan dengan prinsp al Wala’ dan al Bara’
-dasar utama agama-. Orang Kristen Iraq adalah saudara mereka yang memiliki hak
sama, sementara orang India
atau Turki yang muslim tidak punya hak yang sama. Syari’at mereka mengharuskan
melebihkan ‘Uqbah ibnu Abi Mua’ayt dan Abu Jahl daripada Bilal yang Ethopia dan
Salman yang dari Parsi.
Ketiga, nasionalisme berlawanan dengan keterikatan /persaudaraan
antar mukminin. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
”Mukmin dengan mukmin lainya seperti sebuah bangunan, tiap bagian
berpegangan erat satu dengan lainnya,” [HR Bukhari dan Muslim, dari Abu
Musa Al Ash’ari].
Nabi juga menyebut:
“Cinta, Kasih sayang dan simpati
antar mukmin satu dengan lainnya seperti, kalau betis nyeri maka seluruh
tubuh meresponnya dengan kurang tidur dan demam,” [Bukhari dan Muslim dari
An Nukman ibnu Bashir].
Keempat, nasionalime berdasarkan seruan partisan (sikap berat
sebelah). Allah ta’ala berfirman,
“Ketika orang orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan
(yaitu) kesombongan jahiliyah,” [Al Fath:26].
Rasul shallallahu alaihi wa
sallam bersabda
“Siapa yang menyeru pada ‘ashabiyah (nasionalisme), ia bukan dari
golongan kami” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jubayr ibnu Mut’im)
[Adhillah ‘Alal-Mu’minin A’izzah ‘Alal-Kafirin].
Amirul mukminin Abu ‘Umar al
Baghdadi (rahimahullah) juga mengatakan:
“Amat menyedihkan bibit-bibit sekulerisme menyebar kebohongan,
dirumuskan berdasarkan itu, diperdebatkan berdasarkan itu, dan mengangkat
bendera kebutaan atas nama nasionalisme dan patriotisme, keduanya adalah
konstitusi bawaan Negara Majusi. Mereka membuat sumber-sumber daya Iraq –khususnya air dan minyak- menjadi hak
milik mereka yang memiliki kewarganegaraan Iraq saja! Apa yang akan terjadi
jika Rasulullah hijrah ke tanah kita? Tentu saja nabi shallallahu alaihi wa
sallam hijrah ke tempat yang bukan miliknya dan berdiam di rumah selain
miliknya. Akankah, menurut doktrin mereka, semua sumber daya itu halal untuk
beliau dan sahabat-sahabatnya? Tidak. Untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam
dan muhajirin setelahnya punya kuasa memimpin, lalu jika itu terjadi maka harus
menghadapi kekasaran dari perlawanan mereka!
Bagaimana tidak, orang-orang ini adalah orang-orang yang mengatakan:
‘Iraq adalah untuk
orang Iraq dan segala sumber
daya adalah untuk orang Iraq ’.
Ya, untuk semua orang Iraq
meskipun dia dari Yazidi penyembah setan atau Sabian Mandaeans. Semua –menurut
mereka- punya hak yang seimbang, apakah seorang Muslim atau Rafidi Majusi! Tak
perduli apakah orang Iraq
ini penyembah Allah yang Maha Mulia atau setan pembangkang. Hak-haknya akan
dilindungi! Wahai muwahiddin, kita yakin setiap Muslim bersaudara, meskipun dia
dari Filipina. Dan penyembah syetan adalah musuh kita meski pun dia orang Iraq
asli,” [Fa’ammaz-Zabadu Fayadhhabu jufa’a].
Pada 25 Desember 2014, telah
dibentuk Jabhah Syamiyyah di Aleppo.
Terdiri dari:
Jabhah “Islamiyah”,
Jaisyul “Mujahidin”,
Harakah “Nuruddin Zanki”,
Fastaqim Kama Umirt, Jabhah Ashalah wa Tanmiyah,
dan baru baru ini, Harakah Hazm.
Kebanyakan faksi ini adalah
anggota Dewan Komando Revolusioner Nasionalis Suriah. Semua Faksi ini mengira
akan menerima bantuan ‘tanpa syarat’ dari rejim teluk, CIA, Koalisi Nasional
Suriah (SNC) atau Dewan Militer Tertinggi FSA, sementara faksi-faksi tersebut
“bukan bagian” dari salah satu dari pemberi bantuan tersebut.
Pada Febuari 2015, Jabhah (Fornt) baru tersebut telah bersepakat
dengan Pemerintahan Otonomi Persatuan Demokratik Kurdi dan Satuan Pelindung
Rakyat (YPG) -sayap militer Partai Persatuan Demokrat (PYD)-, yang merupakan
cabang Suriah dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), untuk mengimplementasikan
syari’ah di Afrin! Bagaimana jadinya nasionalis ‘islamis’, berencana untuk
mengimplementasi “syari’ah” beriringan dengan Marxist dan demokrasi sekuler?
Tak akan mungkin. Apakah PKK yang dibantu pesawat salibis di ‘Aynul Islam akan
membantu penerapan syariah?!bendera nalionalis sekutu alqaida di Syam
Senario nasionalis “islami”
bekerja bersama beriring dengan nasionalis sekuler untuk membangun pemerintahan
nasionalis dengan elemen “islam” dan demokrasi dalam kerangka konstitusi,
adalah sama seperti yang telah terjadi di Mesir ,
Libya dan Tunisia .
Tentara salibis berharap pada akhirnya pemisahan dua kubu, duduk-duduk dan
tinggal menunggu untuk mendukung sisi yang lebih menguntungkan bagi mereka
dibanding sisi yang lain. Kedua sisi berlomba mempertunjukkan kemurtadan untuk
memenangkan hati dari salibis dan sekutu mereka, thaghut-thaghut Arab.
Meskipun permainan ini sangat
jelas bagi mereka yang mengerti iman dan waqi’, namun hal itu dirasa belum
jelas bagi pengklaim jihad Syam (Jabhah Jaulani). Sempalan-sempalan yang memerangi Daulah Islam
bersama Faksi Sahawat, yang akhirnya membentuk Jabhah Syamiyyah mengklaim faksi
ini adalah batalion mujahidin yang ikhlas. “Keikhlasan” yang diklaim Jabhah Jaulani semakin jelas dari hari ke hari.
No comments:
Post a Comment