Seburuk-buruk Makhluk dalam Pandangan Allah
Muhammad Nuh – Jumat, 19 Agustus
2011 16:10 WIB
"Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling
daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya), dan janganlah kamu
menjadi sebagai orang-orang (munafik) yang berkata: "Kami mendengarkan,
padahal mereka tidak mendengarkan." Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang
tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada
mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jika Allah
menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang
mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)." (QS. Al-Anfaal
[8] : 20-23)
Orang-orang beriman diseru
kembali untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Diingatkannya mereka agar jangan
berpaling dari-Nya dan jangan menyerupai orang-orang yang mendengar ayat-ayat
Allah ketika dibacakan kepada mereka, tetapi seakan-akan mereka tidak
mendengarkannya.
Maka, mereka itulah orang yang tuli
dan bisu, meskipun mereka mempunyai telinga yang dapat mendengarkan suara dan
mulut yang dapatmengucapkan kata-kata. Merekalah seburuk-buruk makhluk melata
di muka bumi, karena mereka tidak mengambil petunjuk dari apa yang mereka
dengar itu.
Seruan kepada orang-orang yang
beriman di sini adalah agar mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga agar
jangan berpaling dari-Nya padahal mereka mendengar ayat-ayat dan
kalimat-kalimat-Nya.
Seruan ini datang setelah
dipaparkannya peristiwa-peristiwa peperangan itu, setelah dilihatnya campur
tangan Allah, rencana dan ketentuan-Nya, pertolongan dan bantuan-Nya. Juga,
setelah adanya penegasan bahwa Allah menyertai orang-orang mukmn dan melemahkan
tipu daya orang-orang kafir.
Setelah semua itu, tidak ada
alasan utuk tidak mendengar dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Berpaling dari
Rasul dan perintah-perintahnya sesudah itu semua tampak sekali sebagai sikap
yang mungkar dan buruk.
Hal itu tidak mungkin dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki hati untuk merenung dan akal untuk berpikir.
Oleh karena itu, disebutkannya binatang melata di sini adalah sangat tepat.
Lafal dawaab ‘makhluk melata’ ini
meliputi manusia dengan segala sesuatunya, karena mereka melata atau merayap di
muka bumi. Tetapi, penggunaannya lebih banyak untuk binatang. Maka,
pengucapannya secara mutlak di sini menampakkan bayang-bayangnya. Gambaran
binatang dalam indra dan khayalan ini diberikan kepada “orang yang pekak (tuli)
dan bisu yang tidak mengerti apa pun.”
Dengan demikian, menurut bayang-bayang
ini, mereka aalah binatang melata, bahkan seburuk-buruk binatang melata.
Karena, binatang itu mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengarkan kecuali
kata-kata yang tidak jelas.
Binatang itu mempunyai lidah,
tetapi tidak dapat mengucapan kata-kata yang dapat dimengerti. Hanya saja
binatang mendapatkan petunjuk dengan fitrahnya mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan urusan kehidupannya yang vital. Sedangkan, binatang-binatang melata
(yang berupa manusia sesat) itu urusannya diserahkan kepada akal yang tidak
mereka pergunakan. Sehingga, sudah barang tentu mereka menjadi makhluk melata
yang paling buruk.
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada
sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa.
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar…” (QS. Al-Anfaal [8] : 22-23)
Yakni, menjadikan hati mereka
lapang untuk menerima apa yang didengar oleh telinganya. Akan tetapi, Allah
tidak melihat kebaikan dalam hati mereka dan tidak melihat adanya keinginan
pada mereka terhadap petunjuk.
Karena, mereka telah merusak
potensi fitrah untuk menerima dan mematuhi seruan Allah. Maka, Allah tidak
membukakan hati yang telah mereka tutup dan fitrah yang telah mereka rusak itu.
Seandainya Allah menjadikan
mereka mengerti dengan akal mereka terhadap hakikat sesuatu yang diserukan
kepada mereka, maka mereka pun tidak mau membuka hati mereka dan tidak mau
menaati apa yang mereka ketahui itu.
“…Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya
mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang
mereka dengar itu).”
Karena akal dapat mengerti,
tetapi hatinya sudah tertutup, tidak mau taat. Sampai-sampai andaikata Allah
menjadikan mereka dapat mendengar dan mengerti, mereka pun tetap tidak mau
mematuhi.
Kepatuhan itu ialah mendengarkan
dengan benar. Betapa banyak orang yang pikirannya bisa mengerti, tetapi hatinya
tertutup, tidak mau menaati.
No comments:
Post a Comment