Karena jurnalistik bukan
monopoli wartawan
Dosa wartawan, dosa jurnalistik
Posted on April 22, 2015 by Rusdi Mathari
Raymond Bonner, eks reporter the New York Times menulis penyesalan dan
rasa bersalah karena pernah ikut memberitakan tentang penangkapan orang-orang
yang dituduh sebagai teroris. Bagaimana di Indonesia?
Penyesalan biasanya datang terlambat, tapi lebih baik terlambat
daripada terus-menerus menutupi kebohongan. Tulisan Raymond Bonner yang dimuat
di Politico.com kemarin, adalah salah satu penyesalan seorang wartawan. Eks
reporter investigasi the New York Times yang pernah menulis kisah penangkapan
Lotfi Raissi pasca peristiwa 9/11 ini, mengaku bersalah telah ikut melaporkan
apa yang pernah banyak menghiasi kepala berita media: “perang melawan teror.”
Raissi adalah pilot kelahiran Aljazair. Dia ditangkap oleh sepasukan
FBI di dekat bandara Heathrow, London ,
tak lama setelah peristiwa 9/11. Tuduhannya: Raissi melatih beberapa pilot yang
konon menerbangkan pesawat dan menabrakkannya ke Gedung WTC di New York , 11 September 2001, semasa dia jadi instruktur
penerbangan di Arizona
[1997-2000]. Bukti yang memberatkan Raissi antara lain fakta dari beberapa
halaman log penerbangannya yang hilang selama periode waktu dia dituding telah
melatih salah satu pembajak.
Bonner menulis laporan kisah penangkapan Raissi itu. Mengintai
rumahnya, mewawancarai tetangganya, juga upaya pemerintahan George Bush untuk
mengekstradisi Raissi ke Amerika Serikat. Dulu, ketika menulis itu semua,
Bonner mungkin berbangga telah ikut menyampaikan fakta demi menjaga keamanan
nasional, melindungi publik dari aksi para teroris. Sekarang, lewat tulisannya
di Politico dia mengaku meringis membaca laporannya sendiri yang dimuat di the
New York Times karena sebuah pengadilan di Inggris justru menyatakan, Raissi
adalah korban fitnah dan memerintahkan agar dia mendapat kompensasi.
Kisah Raissi adalah gambaran tentang kerja wartawan dan media, sejauh
ini. Para redaktur telah berperilaku mirip
politisi. Mereka menjadikan seluruh keterangan aparat sebagai satu-satunya
rujukan untuk menjelaskan “perang melawan teror” demi keamanan negara dan atas
nama kebebasan sipil. Menjadikannya sebagai kepala berita di halaman depan
media mereka, tapi melupakan cerita-cerita mengerikan dari orang-orang yang
dituduh teroris. Kisah mereka tak layak ditulis. Tak perlu diungkap. Cukup
dilipat di kertas-kertas catatan mereka dan dibiarkan menumpuk di meja redaksi.
Sewaktu reruntuhan gedung WTC masih membara, Jaksa Agung John Ashcroft
mengatakan kepada sebuah komite kongres bahwa sebuah masjid di Brooklyn telah menyalurkan uang ke al Qaeda.
Keterangannya menjadi berita utama di the New York Times tapi informasi
ternyata salah. Eric Lichtblau, reporter yang menulis berita itu,
berterusterang, medianya larut dalam suasana nasional yang dirundung ketakutan
dan juga kemarahan.
Baru-baru ini the New York Times mengumumkan, akan menuliskan kata
“penyiksaan” untuk menyebut kelakuan anggota CIA yang menyiksa orang-orang yang
dituduh sebagai teroris sampai di luar batas yang bisa dibayangkan:
dibentur-benturkan ke tembok, ditelanjangi lalu digantung, dijadikan mangsa
anjing, kepala ditutup plastik lalu dialiri air, dan lain-lain.
Itu perubahan yang drastis, menyusul laporan Komite Intelijen Senat
[Desember silam] yang menyebut kebrutalan para anggota CIA menginterogasi
orang-orang yang dituding sebagai teroris.
Sebelumnya, para redaktur the New York Times beralasan tidak
digunakannya kata “penyiksaan” karena kuatir terlibat terlibat dalam debat
politik. Sebagian berdalih kata “penyiksaan” tidak ditemukandalam determinan
hukum. Dan koran itu tidak sendiri. Media seperti Los Angeles Times, USA Today
dan the Wall Street Journal juga tidak pernah menyebut kata “penyiksaan.”
Dosa jurnalistik lain yang diungkap oleh Bonner adalah pemberitaan
tentang Abu Zubaydah. Pria itu ditangkap dalam sebuah serangan di Pakistan , dan
disiksa secara brutal di sebuah penjara rahasia di Thailand. Zubaydah dituduh
sebagai salah satu perwira senior Osama bin Laden. Faktanya: dia bahkan bukan
anggota al Qaedah.
Jauh sebelum Bonner menulis pengakuan dosa, Judith Miller, rekannya di
the New York Times sudah membongkar semua kebohongan pemerintahan Bush,
presiden sialan itu. Miller membeberkan laporan palsu CIA tentang senjata
pemusnah masal di Irak, yang dijadikan dalih oleh pemerintahan Bush untuk
menyerang Irak dan kemudian juga Afghanistan, menyusul peristiwa 9/11, yang
belakangan juga dijadikan sebagai propaganda “perang melawan teror” di seluruh
dunia.
Kasus itu menyeret Miller dan Matthew Cooper, wartawan majalah Time ke
pengadilan. Rezim Bush menganggap berita yang ditulis keduanya sebagai tindakan
membocorkan rahasia negara. Mereka diminta memberikan indetitas sumber
beritanya, yang tentu saja ditolak oleh Miller.
Perempuan itu lebih memilih dipenjara ketimbang harus membeberkan nama
sumbernya. Dia ingin menunjukkan komitmen sebagai wartawan yang bertanggung
jawab dan bermartabat: melindungi keselamatan sumber. Baginya, identitas sumber
yang berbicara atas dasar off the record harus tetap ditutup rapat. Apapun
alasannya, dan alasannya masuk akal, sebab membocorkan nama agen CIA menurut UU
Amerika Serikat adalah kejahatan serius, dan bisa berakibat pada keselamatan
pribadi dan keluarga sumber.
Sebaliknya dengan Cooper. Meskipun pada mulanya ingin bersikap seperti
Miller tapi dia mengungkap jati diri sumber kepada pejabat pemerintah, dengan
alasan telah ditekan atasannya. Akibat pengakuan Cooper, terungkap kemudian
nama Karl Rove, salah satu penasihat politik utama Bush. Rove dipecat dan
menghadapi tuntutan pengadilan. Kisah Rove kemudian dinukil di buku “What
Happened” yang ditulis Scott McClellan, bekas juru bicara Gedung Putih.
Di buku itu, McClellan antara lain menceritakan tentang isi konferensi
pers yang dilakukan oleh dia dan Rove. Dia menyalahkan Bush dan wakilnya, Dick
Cheney tentang peran Gedung Putih atas penyesatan informasi kepada publik
tentang pembocoran indetitas agen rahasia CIA.
“Saya bersalah telah memberi terlalu banyak kepercayaan untuk tuduhan
dari para pejabat pemerintah bahwa seseorang adalah teroris,” tulis Bonner.
Pernyataan itu memang terasa menampar, tapi Bonner, Miller dan
Lichtblau telah melakukan hal yang benar sebagai wartawan: mengabarkan yang
sesungguhnya terjadi, meminta pertanggungjawaban pemerintah, dan menyodorkan
skeptisisme. Itulah jurnalistik.
Bagaimana di Indonesia?
Sejauh ini belum ada pengakuan dosa dan bersalah dari wartawan dan
media, yang sebelumnya telah begitu gencar memberitakan teroris dan terorisme.
Stigma teroris terhadap orang-orang tertentu, rupanya telah menyebabkan arus
besar wartawan larut dengan stigma itu, dan abai bahwa keterangan polisi dan
aparat lainnya tidak mungkin menjadi satu-satunya rujukan. Tak ada juga usaha
yang serius, misalnya untuk menelisik: berapa ribu orang yang ditangkap Densus
88 selama kurang-lebih 14 tahun terakhir, karena dituding teroris dan bagaimana
nasib mereka [dan keluarganya] sekarang?
Berapa jumlah yang ditembak mati, atau mati sebab disiksa di tahanan
atau di penjara? Benarkah mereka benar berada di penjara? Benarkah mereka
teroris seperti yang sebelumnya diberitakan?
Wartawan dan media mana pula yang mau mengaku bersalah dan bersedia
meminta maaf, karena di masa kampanye tahun lalu misalnya, telah sedemikian
berpihak dengan memberitakan seseorang seolah bagai titisan nabi yang akan
membawa ke tanah harapan, dan karena itu layak dipilih sebagai presiden,
meskipun belakangan banyak mengecewakan dan menjengkelkan?
Pola yang sama kini terus terjadi: wartawan dan media ramai
memberitakan isu ISIS , juga hanya berdasarkan
keterangan polisi, BNPT, dan pengamat. Hanya itu.Tidak ada yang mencoba
mengungkap apa dan siapa ISIS dari sumber
pertama. Misalnya agar jelas duduk perkaranya, meskipun hal itu tetap bisa
dimengerti.
Barangkali karena medianya tidak punya biaya untuk mengongkosi liputan
investigasi, mungkin wartawannya takut dan ketakutan, atau siapa tahu pula
wartawan dan medianya memang tidak peduli dan sekadar ingin memberitakan.
Atau, di sini, wartawan dan media, pantang menyesali pemberitaan yang
keliru, seperti penyesalan dan rasa bersalah yang dilakukan Bonner dan the New
York Times?
No comments:
Post a Comment