Setelah Masuk Islam, Muhammad Ali Sadar Ia Bukan “The
Greatest”
BySaad Saefullah
Posted on September 26, 2013
TAHUN berapapun Anda lahir, jika Anda menggemari
tinju, nama Muhammad Ali tak akan pernah asing. Ali, dalam dunia tinju dianggap
sebagai sosok besar karena sikap dan prestasinya di atas ring. Namun yang
paling membuat ia sangat terkenal adalah karena ia seorang Muslim. Atau
tepatnya ketika ia memutuskan menjadi seorang Muslim.
TAHUN berapapun Anda lahir, jika Anda menggemari
tinju, nama Muhammad Ali tak akan pernah asing. Ali, dalam dunia tinju dianggap
sebagai sosok besar karena sikap dan prestasinya di atas ring. Namun yang
paling membuat ia sangat terkenal adalah karena ia seorang Muslim. Atau
tepatnya ketika ia memutuskan menjadi seorang Muslim.
Sebelum masuk Islam, Ali menjuluki dirinya sendiri
dengan “The Greatest” karena dia adalah petinju terbaik pada masanya. Bahkan
para pengamat olah raga mengakuinya sebagai petinju terbaik abad itu. Sejarah
tinju belum pernah mengenal petinju secepat dia. Dia berlaga dengan gesit di
atas ring dan memukul KO lawannya, lalu berseru dengan bangga, “Akulah yang
terbesar”.
Akan tetapi setelah masuk Islam, dia membuang julukan
ini, karena tidak sadar bahwa hanya ada satu yang terbesar di alam semesta ini.
Terlahir dengan nama Casius Mercelus Clay, setelah
masuk Islam, ia mengganti namanya menjadi Muhammad Ali Clay.
Berikut adalah paparannya ketika masuk Islam.
“Aku dilahirkan di Kentucky, Amerika Serikat. Daerah
yang dikenal dengan ayam goreng khas yang memakai namanya, yang juga terkenal
dengan perbedaan etnis yang kental.
Sejak kecil aku sudah merasakan perbedaan perlakuan
ini karena aku berkulit coklat. Barangkali hal inilah yang mendorongku untuk
belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temanku yang berkulit
putih. Dan karena aku mempunyai bakat serta otot yang kuat sehingga memudahkan
jalanku.
Ketika belum genap berusia 20 tahun, aku sudah
memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.
Hanya beberapa tahun kemudian aku berhasil merebut
juara dunia kelas berat dari Sony Le Stone dalam pertarungan paling pendek,
karena hanya beberapa menit aku berhasil menjadi juara dunia. Dan di antara
tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan alat kamera, aku berdiri didepan
jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV Islam, mengucapkan dua
kalimat syahadat dan mengganti namaku menjadi Muhammad Ali Clay. Untuk memulai
sebuah peperangan baru melawan kebatilan yang menghalangiku mengumumkan
ke-Islaman-ku semudah ini.
Kepindahanku ke agama Islam adalah hal yang wajar dan
selaras dengan fitrah-fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Kembaliku ke
fitrah kebenaran membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berfikir, ini dimulai
tahun 1960, ketika seorang teman muslim menemaniku pergi ke masjid untuk
mendengarkan pengajian tentang Islam. Ketika mendengarkan ceramah, aku merasakan
panggilan kebenaran memancar dari dalam jiwaku, menyeruku untuk menggapainya,
yaitu kebenaran hakikat Allah, agama dan makhluk.
Perjalanan keimananku berlangsung bertahun-bertahun
dalam bentuk perbandingan antara Islam dan Masehi, sebutah perjalanan yang
berat, karena orang-orang disekitarku menghalangiku, kondisi masyarakatku
rusak, kebenaran dan kebatilan bercampur aduk, ditambah lagi dengan doktrin
gereja yang menggambarkan keadaan orang-orang muslim yang lemah dan terbelakang
yang diakibatkan oleh ajaran Islam itu sendiri.
Tapi Allah memberiku petunjuk, dan menerangi jalan
pilihanku sehingga aku dapat membedakan antara realita umat Islam sekarang
dengan hakekat Islam yang abadi. Aku meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan
untuk semua orang. Tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis dan ras, semuanya
sama dihadapan Allah azza wa jalla. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka
adalah yang paling bertakwa. Aku meyakini sedang berada didepan sebuah
kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia.
Aku membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid
dalam Islam. Aku merasa bahwa Islam lebih rasional. Karena tidak mungkin tiga
Tuhan mengatur satu alam dengan rapih seperti ini. Ini suatu hal yang mustahil
terjadi dan tak akan memuaskan orang yang berakal dan mau berpikir.
Aku merasakan betapa orang-orang Islam menghormati Isa
A.S. dan ibunya. Menempatkan mereka pada kedudukan yang sama. Ini hanya ada
dalam Islam atau ajaran Nasrani yang masih murni, adapun yang diucapkan para
pendeta dan pastur adalah kebohongan belaka.
Aku membaca terjemahan Al-Qur’an dan akupun bertambah
yakin bahwa Islam adalah agama yang hak yang tidak mungkin dibuat oleh manusia.
Aku mencoba bergabung dengan komunitas muslim dan aku mendapati mereka dengan
perangai yang baik, toleransi dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan
selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan
bukan kepribadianku.” [islampos/agus w. penamedia]
No comments:
Post a Comment