September 25, 2015
“Tidak ada seorang lelaki pun
yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa ini melainkan ia pasti
dimusuhi.”
Seperti inilah gambaran yang dikatakan Waraqah ibnu Naufal kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam atas reaksi kaumnya terhadap dakwahnya. Harapan Waraqah ialah bersama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ketika Nabi diusir, namun hidup Waraqah tidak mencapai masa itu.
Setelah itu, Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam mulai menjalankan tugas yang karenanya Allah ‘azza wa jalla
mengutusnya. Kaumnya merespon dakwahnya dengan permusuhan yang besar. Mereka
menuduhnya sebagai tukang sihir, pendusta, orang gila, penyair, tukang tenung,
pengada-ngada, peniru, di samping tuduhan-tuduhan lainnya… Padahal sebelumnya
mereka memandangnya sebagai seorang lelaki yang jujur dan amanah! Mereka
menawari beliau kerajaan, wanita, dan harta, tetapi beliau menolaknya
disebabkan keikhlasan dan demi keridhaan Allah. Mereka akhirnya membuat makar
untuk membunuh atau mengusir beliau, tetapi Allah membalas makar musuh-musuhnya
dan memerintahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam untuk meninggalkan
tempat paling diberkahi di muka bumi, yaitu Makkah, menuju tempat tinggal baru
di Madinah.
Sebuah Daulah pun berdiri dimana
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pasukannya berjuang melawan
kafilah musyrikin, peristiwa yang mengantarkan pada Ghozwah Badar al Kubro.
Kaum musyrikin marah, lalu mengirim wakil dan pasukan mereka.
Akhirnya kaum Muslimin berperang
dengan musyrikin Arab, suku-suku Badui Jazirah Arab, Yahudi, dan munafiqin
Madinah. Tatkala Daulah di atas manhaj kenabian bertambah kuat, kebencian dan
kemarahan kuffar berkembang menjadi Ghozwah Ahzab (“Perang Sekutu”).
Orang-orang Yahudi mengadakan makar dengan orang-orang munafiq dan meyakinkan
kabilah-kabilah Arab untuk menyerang Madinah sementara mereka menimbulkan
huru-hara dari dalam. Kaum Quraisy, Kinanah, dan sekutu-sekutu mereka bergerak
dari arah selatan. Ghathafan, suku-sukunya, dan sekutu-sekutu mereka bergerak
dari arah timur. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang, lalu mereka
mengepung Madinah selama sebulan lamanya, sementara pihak Muslimin kalah dalam
jumlah. Akan tetapi, kesabaran mereka dalam menghadapi perang, ketakutan,
kelaparan, dan ekstrimnya cuaca, membawa kaum Muslimin pada kemenangan. Kabar
baik dari Nabi ialah setelahnya mereka akan menjadi pihak yang menyerang dan
orang-orang musyrik menjadi pihak yang bertahan.[1]
Perang Ahzab yang Baru
Sebagaimana halnya para sahabat
harus menghadapi koalisi berbagai kelompok, Yahudi, musyrikin, dan munafiqin
dalam Ghozwah al Ahzab, kaum Muslimin Daulah Islamiyyah juga menghadapi koalisi
berbagai kelompok kafir yang mempunyai kepentingan bersama untuk menghancurkan
Khilafah. Dan sebagaimana halnya reaksi para sahabat atas kelompok-kelompok
tersebut termasuk dalam keyakinan, “Dan tatkala orang-orang mu’min melihat
golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan
Allah dan RasulNya kepada kita. Dan benarlah Allah dan RasulNya.’ Dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan,” [QS
Al Ahzaab 22], maka demikian pula seharusnya reaksi Muslimin ketika melihat
koalisi yang berjumlah banyak ini berkumpul dan bermobilisasi. Di sini kami
berusaha memberikan beberapa wawasan ke dalam berbagai koalisi yang beragam
supaya kaum Muslimin bisa berupaya melawan mereka dalam ucapan dan perbuatan,
sebab, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan
mereka.” [HR Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu ‘Umar], dan supaya, “Jelaslah
jalan orang-orang yang berdosa.” [QS al An’aam 55]
Koalisi Salibis
Walaupun koalisi ini tampak
seperti baru, sebenarnya ia mulai eksis sejak tahun “2001” dalam “Operation
Enduring Freedom” di Afghanistan. Dengan cepat ia meluas ke Filipina, Tanduk
Benua Afrika, Lintas Sahara, dan Kaukasus. Kemudian pada tahun “2003” pihak
salibis meluncurkan operasi kedua yang dikenal dengan “Operation Iraqi Freedom”
di Iraq. Diikuti oleh operasi ketiga yang disebut dengan “Operation Inherent
Resolve” yang diluncurkan pada tahun “2014” di Iraq dan Suriah melawan Daulah
Islamiyyah.[2] Tidak ada satu pun dalam operasi tersebut yang berhasil dalam mengatasi bangkitnya kembali
Khilafah, kelanjutannya, dan ekspansinya. Justru sebaliknya, Khilafahlah yang
terus bertahan dengan ketetapan yang melekat padanya, buah dari penegakan
Tauhid dan Wala wal Baro’.
Koalisi Salibis untuk operasi
Iraq dan Suriah – “Operation Inherent Resolve” – secara resmi meliputi
negara-negara dan lembaga-lembaga berikut:
Albania, Amerika Serikat,
Australia, Austria, Bahrain, Belanda, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria,
Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Georgia, Hongaria,Inggris, Iraq, Irlandia,
Islandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Kosovo, Kroasia,
Kuwait, Latvia, Lebanon, Liga Arab, Lithuania, Luxemburg, Macedonia, Maroko,
Mesir, Moldova, Montenegro, Norwegia, Oman, Panama, Polandia, Portugal,
Prancis, Qatar, Rumania, Arab Saudi, Selandia Baru, Serbia, Singapura, Siprus,
Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Taiwan, Turki, Ukraina, Uni
Emirat Arab, Uni Eropa, Yordania, dan Yunani.[3]
Rezim dan kekuatan militer
lainnya yang didukung oleh Barat namun tidak disebutkan di atas ikut ambil
bagian dalam perang melawan Daulah Islamiyyah di kawasan-kawasan yang lebih
jauh. Benina, Chad, Kamerun, Niger, Nigeria, dan Uni Afrika terlibat dalam
perang melawan Daulah Islamiyyah di wilayah Afria Barat. Afganistan, Armenia,
Azerbaijan, Mongolia, NATO, dan Pakistan – selain banyak negara yang tersebut
dalam daftar pertama – terlibat dalam perang melawan Wilayah Khurosan.[4]
Aljazair, Libya, Tunisia, dan Yaman terlibat dalam perang melawan Daulah Islam
di kawasan mereka masing-masing. Negara Yahudi secara terbuka terlibat perang
melawan Wilayah Sayna’, di samping secara diam-diam terlibat bersama Salibis di
sebagian besar perang melawan wilayah-wilayah Daulah Islamiyyah. Dewan
Kerjasama Negara-negara Teluk, India, Indonesia, Malaysia, Organisasi Kerjasama
“Islam”, Kirgistan, dan Swiss juga terlibat – dalam tingkat politik, dana,
intelijen, dan dalam kebanyakan kasus, di ranah militer – dalam perang melawan
Islam dan Khilafahnya.[5]
Sementara itu, berikut ini
sekutu-sekutu terpenting Amerika: Iran, Suriah, dan Rusia.
Kerjasama di Tingkat Front
Sekalipun kerjasama salibis Barat
dengan Iran, Suriah, dan Rusia tidak dapat dipungkiri, mereka berusaha untuk
melemahkannya secara resmi demi menyembunyikan peran mereka dalam perang
Shofawiy melawan Muslimin. Di sini kami memberikan beberapa wawasan mengenai
hubungan ini, walaupun perkara tersebut tampak lebih terang daripada matahari
di siang bolong.
Sebelum operasi 11 September yang
berbarokah sekalipun, Amerika telah bekerjasama dengan Iran lewat kerjasama
mereka di bawah PBB bernama “Siz Plus Two Group”, yang mana bagian dari makar
melawan mujahidin Khurosan. Pasca 11 September, kerjasama berkembang menjadi
apa yang dikenal dengan nama “Geneva Contact Group” selama pemerintahan salibis
George W. Bush. Kerjasama itu mengharuskan Iran menyediakan tenaga intelijen
bagi para salibis, membangun hubungan antara para salibis dan kelompok “Aliansi
Utara” di Afghanistan dan menangkap mujahidin yang berupaya melewati perbatasan
Iran dalam perjalanan mereka ke Kurdistan Iraq atau tujuan lainnya. Iran
menyediakan beberapa pelabuhan dan bandara militernya bagi misi salibis,
“Pasukan Penjaga Revolusioner Islam”-nya bekerjasama dengan Pusat Operasi
Khusus AS dan CIA di Afganistan, dan keterlibatannya dalam pembentukan rezim
boneka Afghanistan yang murtad. Bulan-bulan selanjutnya mengantarkan pada
invasi Amerika atas Iraq, sekali lagi pihak Amerika bekerjasama dengan Iran,
tetapi kali ini sebagian besar dilakukan melalui Kantor Luar Negeri dan
Persemakmuran Inggris. Kerjasama mencapai puncaknya melalui pembentukan rezim
Shofawiy Iraq yang pada dasarnya adalah boneka Iran.[6]
Pada “6 November 2014,” “Wall
Street Journal” mengeluarkan artikel berjudul “Obama Wrote Secret Letter to
Iran’s Khamenei about Fighting Islamic State – Presidential Correspondence with
Ayatollah Stresses Shared U.S.- Iranian Interests in Combating Insurgents,
Urges Progress on Nuclear Talks” (“Obama Menulis Surat Rahasia kepada Pemimpin
Iran Khamenei terkait Memerangi Daulah Islamiyyah – Surat Menyurat Presiden
dengan Ayatullah Menekankan Pembagian Kepentingan AS-Iran dalam Menyerang
Pemberontak, Menginginkan Perkembangan dalam Pembicaraan Kesepakatan Nuklir”).
Di dalam artikel tersebut, mereka melaporkan bahwa, “Secara rahasia, Obama
menulis surat yang ditujukan pada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali
Khamenei” dan bahwasanya suratnya tersebut “menjelaskan sebuah kepentingan
bersama dalam memerangi kelompok militan Daulah Islam di Iraq dan Syam.” Surat
itu “ditujukan untuk melatarbelakangi perang melawan Daulah Islam dan mendorong
para pemimpin spiritual Iran semakin dekat pada kesepakatan nuklir” dan
menekankan “bahwa kerjasama apa pun terkait Daulah Islamiyyah sebagian besar
bergantung pada Iran untuk mencapai persetujuan komprehensif dengan kekuatan
global dalam program nuklir masa depan Iran.” Surat itu juga “menandai
setidaknya untuk keempat kalinya Obama menulis surat kepada pemimpin politik
dan spiritual Iran paling kuat semenjak menduduki kantor kepresidenan pada 2009
dan berjanji untuk mengadakan hubungan dengan pemerintahan Islam Teheran” dan
“menggarisbawahi bahwa Obama memandang Iran sebagai negara penting… bagi
kampanye militer dan diplomasinya untuk mendesak Daulah Islamiyyah dari
wilayah-wilayah yang direbutnya.” Melalui surat itu, Obama berusaha “untuk mengurangi
perhatian Iran mengenai masa depan sekutu dekatnya, Presiden Bashar al Assad
dari Suriah” dan memastikan kembali pada Iran bahwa “operasi militer AS di
Suriah tidak menargetkan Assad atau pasukan keamanannya.” Mereka juga
melaporkan bahwa “pemerintahan Obama mengadakan pembicaraan rahasia dengan Iran
di ibukota Oman Muskat pada pertengahan 2012”
dan “Sekretaris pers Gedung Putih Josh Earnest… mengakui para pejabat AS
di masa lalu telah membahas perang melawan Daulah Islamiyyah bersama para
pejabat Iran di sela-sela pembicaraan nuklir internasional. Dia menambahkan,
negosiasi tetap berpusat pada program nuklir Iran.” Mereka juga melaporkan
bahwa, “Obama mengirim dua surat kepada pemimpin tertinggi Iran yang berusia 75
tahun itu selama paruh pertama tahun 2009, menyerukan perbaikan hubungan
AS-Iran… Hubungan AS-Iran telah mencair dengan sebenar-benarnya sejak pemilu
Presiden Hasan Rouhani pada Juni 2013. Dia dan Obama saling menelepon selama 15
menit pada September 2013, pun Tuan Kerry dan Zarif secara reguler telah
mengadakan pembicaraan langsung mengenai diplomasi nuklir dan
permasalahan-permasalahan regional” dan “Departemen Luar Negeri telah
mengkonfirmasi bahwa para pejabat senior AS telah melakukan pembahasan mengenai
Iran dengan Zarif di sela-sela negosiasi nuklir di Wina. Para diplomat AS juga
telah mengirim pesan ke Teheran via pemerintahan Abadi di Baghdad dan melalui
kantor Ayatullah Tinggi Iraq Ali as Sistani, salah satu pemimpin agama Syi’ah
paling kuat di dunia. Menurut para pejabat AS, di antara pesan yang disampaikan
ke Teheran ialah operasi militer AS di Iraq dan Suriah tidak bertujuan untuk
melemahkan Teheran atau para sekutunya. ‘Kami mengirim pesan ke Iran melalui
pemerintah Iraq dan al Sistani bahwa tujuan kami ialah melawan ISIS,’ kata
seorang pejabat senior AS yang menjelaskan pembicaraan tersebut. ‘Kami tidak
memanfaatkan hal ini sebagai kesempatan untuk menduduki kembali Iraq atau
meruntuhkan Iran.’”
Setelah surat ini, pemimpin
Rofidhoh Khamenei menjawab sendiri dengan selembar surat kepada Obama. “Wall
Street Journal” melaporkannya di dalam artikel tertanggal “13 Februari 2015”
berjudul “Iran’s Ayatollah Sends New Letter to Obama amid Nuclear Talks”
(“Ayatullah Iran Mengirim Surat Baru kepada Obama di tengah-tengah Pembicaraan
Nuklir”) bahwa Khamenei merespon positif dengan surat yang mengupayakan untuk
mencari hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat dan kerjasama lebih
lanjut melawan Daulah Islamiyyah.
Akan tetapi, sebenarnya kerjasama
sudah terjalin di lapangan untuk beberapa waktu. Pada “31 Agustus 2014,” “New
York Times” menerbitkan artikel berjudul“U.S. and Iran Unlikely Allies in Iraq
Battle” (“AS dan Iran adalah Sekutu yang Sulit Dipercaya di dalam Perang
Irak”). Mereka melaporkan bahwa seorang pejabat senior pemerintahan AS berkata,
“Kami tidak berkoordinasi dalam bentuk apa pun dengan milisi-milisi Syi’ah –
tetapi ia menyebut kemungkina terjadi dengan ISF [‘Pasukan Keamanan Iraq’],”
lalu komentarnya sebagai berikut, “Namun diketahui betul bahwa milisi-milisi
Syi’ah telah berperang bersama tentara Iraq selama beberapa bulan terakhir
ketika ancaman ISIS semakin nyata.” Kemudian di dalam artikel itu mereka
berkata bahwa “pemerintahan Obama telah berusaha menghindar agar tidak terlihat
berpihak dalam perang sektarian, khususnya karena milisi-milisi Syi’ah ditakuti
oleh orang-orang Sunni Iraq. Akan tetapi, di akhir minggu ini, kenyataan di
lapangan mengesampingkan permasalahan apa pun mengenai dukungan bagi
milisi-milisi tersebut secara efektif.” Intinya, pihak Amerika bekerjasama
dengan Iran, militernya, dan milisinya, namun dilakukan melalui rezim Shofawiy
Iraq – meniru perbuatan orang-orang Yahudi yang bekerja tapi “tidak bekerja”
pada hari Sabtu meskipun ada larangan, dan karenanya mereka diubah menjadi kera
dan babi. Perbuatan ini serupa dengan klaim Jabhah Jawlaniy, yang mana mereka
mengaku tidak bekerjasama dengan thowaghit ketika bekerjasama dengan
faksi-faksi thowaghit…
Adapun kerjasama Amerika dengan
rezim Suriah, maka hal ini telah terjadi semenjak program penerjemahan AS yang
mengetahui banyaknya mujahidin yang dikirim ke Suriah hanya untuk kemudian
disiksa di tangan Ba’athist Nushairiyyah atas nama pihak Amerika. Rezim Suriah
juga menjadi dalang penghukum semua pendukung jihad di Suriah dalam melawan
Amerika di Iraq di masa bangkitnya gerakan Shohawat pro Amerika. Banyak faksi
Shohawat menempatkan pimpinan mereka di Suriah dan isi khutbah-khutbah Jum’at
digiring untuk mendukung mereka. Kerjasama AS-Suriah menjadi sangat nyata
akhir-akhir ini dalam serangan udara salibis. “Washington Post” melaporkan pada
tanggal “23 September 2014” dalam artikel berjudul “Syria Informed in Advance
of U.S.-Led Airstrikes against Islamic State” [Berbagi Informasi dengan Suriah
dalam Pergerakan Serangan Udara Pimpinan AS Melawan Daulah Islamiyyah] bahwa
seorang juru bicara wanita di Departemen Luar Negeri mengatakan, “Amerika
Serikat berbagi informasi dengan Suriah dalam pergerakan serangan udara
membombardir target-target tertentu termasuk pertahanan Daulah Islamiyyah.”
Artikel tersebut menambahkan bahwa hal ini “menandai diperlihatkannya interaksi
yang langka antara Washington dan wakil-wakil Presiden Suriah Bashar al Assad.
… Letnan Jenderal Militer William C. Mayville Jr., direktur Pentagon untuk
operasi militer, menggambarkan radar militer Suriah bertindak ‘pasif’ selama
terjadinya serangan udara, tidak ada upaya untuk membalasnya.… pemberian target
terkesan lebih kecil tapi penting oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya
yang telah memberikan dukungan diplomatik dan militer terbatas kepada para
pemberontak yang berusaha menggulingkan Assad. Perluasan serangan udara
pimpinan AS ke Suriah sekarang bisa membuka hubungan baru dengan pemerintahan
Assad … Kantor berita pemerintah Suriah Syrian Arab News Agency (SANA)
mengatakan, Amerika Serikat menginformasikan perwakilan Suriah ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa bahwa pihaknya mengadakan serangan udara. [Juru bicara wanita
Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki mengkonfirmasikan adanya kontak tersebut
tetapi tidak mengatakan kapan terjadinya.” Artikel tersebut juga merujuk sebuah
laporan “SANA” yang menyatakan Menteri Luar Negeri John Kerry telah mengirim
surat kepada Walid Muallem (menteri luar negeri rezim Nushairiyyah) yang
memberitahukan rencana para salibis untuk mulai menyerang posisi Daulah
Islamiyyah.
Menurut sebuah laporan Reuters
pada tanggal yang sama berjudul “Syria’s U.N. Envoy Says Told of Airstrikes by
Samantha Power” (“Duta Besar PBB untuk Suriah Mengatakan Adanya Pemberitahuan
Serangan Udara oleh Samantha Power”), Duta Besar PBB untuk Suriah Bashar
Ja’afari menginformasikan Reuters pada hari Selasa bahwa dia secara pribadi
diberitahu oleh Duta Besar AS Samantha Power bahwa serangan udara yang akan
segera terjadi oleh AS dan Arab menargetkan wilayah Suriah beberapa jam sebelum
waktu yang ditetapkan. Ja’afari berkata bahwa Power memberitahu dirinya sebagai
tambahan bahwa ‘kami berada dalam koordinasi yang dekat dengan Iraq.’ Utusan AS
mengkonfirmasikan bahwa Power telah memberitahu Ja’afari.”
Pernyataan ini kembali diulangi
oleh thoghut Bashar dalam sebuah wawancara dengan BBC pada tanggal “10 Februari
2015.” Di dalam artikel berjudul “Assad Says Syria Is Informed on Anti-IS Air
Campaign” (“Assad Mengatakan bahwa Suriah Diberitahu mengenai Serangan Udara
Anti-IS”), pihak BBC melaporkan, “Presiden Suriah Bashar al Assad mengatakan
bahwa pemerintahannya menerima pesan dari koalisi pimpinan AS untuk memerangi
kelompok jihad, Daulah Islamiyyah. Assad mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada
kerjasama langsung sejak dimulainya serangan udara di Suriah pada bulan
September. Akan tetapi, kelompok-kelompok ketiga – di antaranya Iraq – membagi
‘informasi’ … mengenai serangan mendadak oleh pesawat-pesawat tempur AS dan
Arab atas Suriah.”
Amerika juga melayani kepentingan
rezim Suriah dengan mendukung PKK, sebuah partai yang bersekutu dekat dengan
pihak rezim semenjak awal revolusi bersenjata di Syam dan terus berperang
bersama di barisan rezim di Wilayah al Barakah. Amerika juga menuntut untuk
melindungi rezim Ba’ats dan tentaranya agar menjamin suatu transisi ke arah
negara pluralis yang sesuai dengan Dien yang dianut Amerika. Syarat mereka
sederhana sekali; menuntut thoghut Asad diganti tetapi rezim dan tentaranya
tetap utuh. Perbincangan ini kemudian ditanggapi serius di atas meja
perundingan dengan kelompok murtad Koalisi Nasional Suriah dan Tentara
Pembebasan Suriah (FSA).
Kabar terkait Amerika yang
melayani kepentingan rezim Suriah juga disoroti oleh mantan Menteri Pertahanan
AS Chuck Hagel. “Washington Times” melaporkan pada “30 Oktober 2014” dalam
artikel berjudul “Syria Airstrikes Spur White House Infighting over Benefit to
Assad” (“Serangan Udara Suriah Membuat Peperangan yang Dilakukan Gedung Putih
Menguntungkan Assad”) bahwa “Menteri Pertahanan Chuck Hagel mengakui untuk
pertama kalinya pada hari Kamis bahwa serangan udara pimpinan AS melawan Daulah
Islamiyyah akan menguntungkan Presiden Suriah Bashar Assad … ‘Ya, Assad
mengambil beberapa keuntungan,’ kata Hagel kepada para wartawan di Pentagon …
Sembari menggambarkan ruwetnya keadaan di Suriah, Hagel berkata bahwa
pemerintah terus meminta untuk menggulingkan Assad meskipun kenyataannya
pemerintah justru membantunya.” Laporan tersebut menambahkan bahwa sebuah
sumber pemerintah memberitahukan “pemikiran yang logis di antara beberapa orang
di dalam pemerintahan ialah dengan diserangnya aset Suriah, maka hal itu akan
merusak pembicaraan masalah nuklir antara AS dan Iran, sekutu dekat Assad.”
Rusia juga terlibat dalam perang
melawan wilayah Qawqaz, selain berada di pihak Amerika Serikat, Rofidhoh, dan
Nushairiyyah di Iraq dan Syam dalam perang melawan Daulah Islamiyyah. Adapun di
Iraq dan Syam, maka Direktur Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) Alexander
Bortnikov mengatakan kepada wartawan pada “20 Februari 2015” bahwa
“Amerika Serikat dan Rusia bisa memulai
pengadaan pertukaran intelijen untuk mengalahkan Daulah Islamiyyah.” Didahului
oleh laporan dari “New York Times” pada “14 Oktober 2014” berjudul “U.S. and
Russia Agree to Share More Intelligence on ISIS” (“AS dan Rusia Setuju untuk
Lebih Sering Bertukar Intelijen dalam Hal ISIS”). Di dalam laporan tersebut,
mereka menyatakan, “Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan pada hari Selasa
bahwa Amerika Serikat dan Rusia telah setuju untuk saling bertukar lebih banyak
lagi intelijen dalam masalah Daulah Islamiyyah, sementara dia berusaha
meletakkan landasan untuk meningkatkan kerjasama dengan Moskwa… Kerry
menegaskan bahwa dia menerima kerjasama yang lebih luas dengan Putin setelah
pertemuan di sini dengan Sergey V. Lavrov, menteri luar negeri Rusia. … Dengan
catatan bahwa 500 atau lebih sukarelawan Daulah Islamiyyah datang dari Rusia,
Kerry berkata dia telah mengajukan gagasan bahwa kedua belah pihak saling
meningkatkan pertukaran intelijen dalam melawan kelompok militan tersebut dan
ancaman teroris lainnya, sementara Lavrov menyetujuinya. Dengan membuka pintu
kerjasama di Iraq, Kerry mengatakan bahwa Lavrov telah menyetujui untuk
menimbang-nimbang apakah Rusia akan lebih banyak memberikan dukungan pada
pemerintahan Iraq yang terjebak dalam peperangannya melawan Daulah Islamiyyah –
termasuk dengan menyediakan senjata.”
Rusia juga mendukung rezim Iraq
yang didukung Amerika Serikat secara terbuka. Melalui kantor berita pemerintah
Rusia Itar- Tass, Menteri Luar Negeri Rusia merilis sebuah pernyataan pada “26
September 2014” mengenai pertemuan yang diadakan antara Menteri Luar Negeri
Rusia Sergei Lavrov dan Perdana Menteri Iraq Haider al Abadi. Kementerian Luar
Negeri berkata dalam pernyataan tersebut, “Selama berlangsungnya pertemuan,
Lavrov mengkonfirmasikan dukungan Rusia bagi kemerdekaan Iraq, baik dalam
bentuk integritas maupun kedaulatan wilayah… Moskwa siap untuk melanjutkan
dukungannya pada Iraq dalam upayanya untuk memerangi ancaman teroris, terutama
yang berasal dari Daulah Islamiyyah.”
Menurut “New York Times” di dalam
artikel berjudul “Russian Jets and Experts Sent to Iraq to Aid Army”
(“Pesawat-pesawat Jet dan Para Ahli Rusia Dikirim ke Iraq untuk Membantu
Militer”) yang dirilis pada tanggal “29 Juni 2014,” “Para pejabat pemerintah
Iraq mengatakan pada hari Ahad bahwa para ahli Rusia telah tiba di Iraq dalam
rangka membantu militer Iraq untuk mendapatkan 12 pesawat tempur Rusia dalam
perang menghadapi para ekstrimis Sunni … ‘Tiga atau empat hari lagi pesawat udara
akan siap digunakan untuk mendukung pasukan kami dalam perang’ melawan para
pemberontak Daulah Islamiyyah Iraq dan Syam, kata Jenderal Anwar Hama Ameen,
komandan Angkatan Udara Iraq, merujuk pada pesawat udara SU-25 yang
diterbangkan ke Iraq yang diangkut menggunakan pesawat-pesawat kargo Rusia pada
malam Sabtu. Dua lagi diperkirakan datang pada Ahad nanti. Komandan Angkatan
Udara Iraq, Jenderal Ameen, mengatakan bahwa para ahli militer Rusia telah tiba
untuk membantu menyediakan pesawat-pesawat tempur SU-25, namun mereka hanya
akan tinggal dalam waktu yang singkat. Lima pesawat udara Rusia terakhir akan
tiba hari Senin, ujarnya … Ini merupakan laporan pertama bantuan militer Rusia
di negara tersebut, meskipun Jenderal Ameen berkata bahwa mereka adalah para
ahli, bukan penasihat. … Pada hari Kamis, Perdana Menteri Nuri Kamal al Maliki
mengatakan bahwa pihak Iraq, berdasarkan kesepakatan dengan Menteri Pertahanan
Rusia, telah meminta puluhan SU-25, sebuah jet tempur darat yang berguna bagi
operasi dukungan udara jarak dekat. ‘Pesawat-pesawat tersebut datang cepat
sekali,’ kata Jenderal Ameen dalam sebuah wawancara telepon, ‘karena kami
membutuhkannya sesegera mungkin dalam konflik melawan para teroris ini.’ Dia
mengatakan bahwa pihak Rusia akan meninggalkan Iraq kira-kira tiga hari setelah
pesawat udara siap digunakan. … Jenderal Ameen mengatakan bahwa mereka masih
mengharapkan berlangsungnya kembali hal seperti ini dalam waktu dekat. ‘Kami
memiliki pilot-pilot yang mempunyai pengalaman lama dalam menerbangkan pesawat
ini dan tentu saja kami mempunyai kawan-kawan Rusia yang membantu dan ahli-ahli
yang mendatangkan pesawat udara ini untuk mempersiapkannya,’ katanya. ‘Hal ini
nantinya akan menghasilkan serangan yang sangat kuat terhadap para teroris.’ …
Pesawat udara baru ‘akan meningkatkan dan membantu kekuatan serta kemampuan
pasukan udara Iraq untuk melenyapkan terorisme.’ Demikian sebuah pernyataan
yang dikatakan oleh Kementerian Pertahanan Iraq.”
Menurut “The Hill” di dalam
artikel berjudul “Hagel: US knows Iran, Russia aiding Iraq in fight against
ISIS” (“Hagel: AS tahu bahwa Iran, Rusia membantu Iraq dalam perang melawan
ISIS”) yang dirilis pada “11 Juli 2014,” Chuck Hagel mengomentari laporan bahwa
“dengan mengutip para pejabat militer Iraq, Iran dan Rusia tengah melakukan
serangan udara di negara mereka, yaitu dengan menyerang target-target Daulan
Islamiyyah di Iraq dan Syam (ISIS),” dengan mengatakan, “Kami menyadari upaya
pihak Iran dan Rusia untuk membantu Iraq.”
Maka dengan demikian, Iran dan
semua sekutunya langsung terlibat dalam perang Salibis memerangi Daulah
Islamiyyah. “Foreign Policy” melaporkan pada “12 November 2014” dalam artikel
berjudul “Who Has Contributed What in the Coalition against the Islamic State?”
(“Siapa yang berkontribusi terhadap semua yang ada di dalam Koalisi melawan
Daulah Islamiyyah?”), “Walaupun Iran bukan rekanan koalisi yang diakui, tetapi
Iran dan Amerika Serikat berunding secara informal.”
Semua ini berpuncak pada
kesepakatan nuklir “Kerjasama Rencana Aksi Komprehensif” antara Barat yang
dipimpin AS dan rezim dukungan Rusia.
Pada akhirnya, Amerika melayani
kepentingan Dinasi Shofawiy dengan membantu serangan udara, intelijen, dan
politiknya, sementara Dinasti Shofawiy pun bekerjasama dengan pihak Amerika
secara sama dalam melawan mujahidin. Hal ini terjadi secara rahasia, tidak
langsung, dan bahkan secara terang-terangan. “Penengah” – jika dibutuhkan –
ialah rezim boneka Shofawiy di Iraq. David Petraeus (mantan komandan tertinggi
Amerika di Iraq) mengomentari perang pemerintahan Obama dengan mengatakan,
“Bantuan pasukan udara untuk milisi-milisi Syiah atau sebuah perang antara
Syiah atas Sunni Arab tidak mungkin dilakukan Amerika Serikat.” Dan hal inilah
yang tengah terjadi, bahkan ia adalah perang melawan Islam, bukan melawan Arab.
-----------------
[1] Allah ‘azza wa jalla
mengisahkan peristiwa perang menentukan ini dalam al Qur’an Surat al Ahzab ayat
9-27 bagi orang-orang beriman untuk merenungkannya.
[2] Catatan: Berbagai nama
operasi tersebut dibuat oleh Amerika. Negara-negara salibis lainnya membuat
nama operasi mereka sendiri.
[3] Daftar ini dirilis oleh
Departemen Luar Negeri AS dan dikeluarkan kembali oleh sejumlah Channel media
Amerika. Mereka lupa menyebut Iran, Rusia, dan Suriah yang semuanya termasuk
anggota penting dalam koalisi melawan Daulah Islamiyyah
[4] Lebih dari tiga belas ribu
pasukan salibis dan rezim murtad terus menduduki Afganistan guna membela rezim
Afghanistan yang murtad. Armenia, Azerbaijan, dan Mongolia, selain banyak
negara yang disebutkan dalam daftar “Operation Inherent Resolve” – termasuk
Turki – ialah anggota operasi salibis NATO yang dikenal dengan “Operation
Resolute Support” ini. Adapun untuk Pakistan, maka ia merupakan sekutu dekat
Amerika Serikat dalam perang melawan Daulah Islamiyyah Wilayah Khurosan.
[5] Ini hanya sebagian dari
daftar yang ada. Jika ada yang mau menambahkannya dengan negara-negara yang
terlibat secara rahasia, diam-diam, atau pasif dalam perang melawan Daulah
Islamiyyah, maka hal itu akan meliputi semua negara di dunia, terutama dengan
mengetahui bahwa tidak ada negara kafir asli yang mengadakan perjanjian damai
dengan Daulah Islam.
[6] Kerjasama ini telah
didokumentasikan oleh media Amerika, Inggris, dan Iran. Terdapat pula catatan
pernyataan oleh Hillary Mann, James Dobbins, Karl Inderfurth – tiga orang
mantan diplomat Amerika yang terlibat dalam makar ini – di samping juga Jack
Straw (mantan sekretaris luar negeri Inggris), Mohsen Aminzadeh (mantan wakil
menteri luar negeri Iran), dan Mohammad Khatami (mantan presiden Iran). Mereka semua
menjelaskan pembenaran, sejarah, dan rincian pertemuan mereka.
No comments:
Post a Comment