Dari Perang Ahzab ke Perang Koalisi – Bagian Kedua
September 27, 2015
Foto: Rekonsiliasi Salibis
dengan Shofawiy Iran
Dinasti Shofawiy
Bangkitnya Dinasti Shofawiy
merupakan tujuan akhir Rofidhoh Iran .
Dinasti Shofawiy didirikan oleh thoriqoh Sufi bernama ash Shofawiyyah. Asalnya
digambarkan sebagai sekte “Sunnah” dan
bermadzhab “Syafi’i”, padahal ia
mencampuradukkan banyak klenik ekstrim Sufi yang murtad. Firqah sesat ini
kemudian mengambil ajaran Sufi Imamiyyah setelah pendiriannya. Tidak lama
kemudian berubah menjadi kelompok politik dan militer yang berperang hingga
pemimpinnya Isma’il ibnu Haidar ash Shofawiy mengambil alih Persia . Dia memaksakan ajaran Syiah
terhadap penduduk Sunni hingga Persia
didominasi Rofidhoh setelah sebelumnya didominasi Ahlus Sunnah. Termasuk dalam
kebijakannya ialah menghukum mati para ulama Ahlus Sunnah dan membantai
penduduk Ahlus Sunnah yang menentang. Dia merupakan penguasa yang sangat
anti-Sunnah yang merebut kekuasaan semenjak runtuhnya negara ‘Ubaidiyyah penganut firqah Isma’iliyyah
yang berkedudukan di Mesir. Dinasti Shofawiyyah berkuasa tahun “1501-1736 M”.
Lebih dari dua ratus tahun
kemudian, Khomeini yang menganut Rofidhoh membawa hasil usaha orang-orang
Shofawiy pendahulunya dan memberi para ulama Rofidhoh kekuasaan langsung dalam
politik lewat konsep yang dipropagandakannya, yang dikenal dengan istilah “wilayah al faqih” (“perwalian ahli
fiqh”), dan melalui apa yang dia sebut dengan “revolusi.” Tiba-tiba saja para ulama Rofidhoh berada dalam kendali
langsung atas Persia dan dalam beberapa tahun, mereka mengekspor agama syirik
mereka ke Syam, Iraq, Jazirah Arab, Khurosan, India, Turki, Azerbaijan, Afrika,
dan Asia Tenggara.
Kemudian Rofidhoh
mendominasi banyak wilayah Yaman dengan bergerak bersama boneka Amerika ‘Ali
‘Abdullah Shalih. Hal itu terjadi tatkala mereka sudah mendapat kemenangan di
Suriah dan Lebanon sebagai
hasil dari penyerahan Iraq
kepada mereka oleh Amerika pasca “Operasi
Pembebasan Iraq .”
Tiba-tiba “Bulan Sabit Syiah” berubah
menjadi gerhana matahari sehingga akhirnya mengancam Islam di mana-mana. Mereka
mempersatukan Nushairiyyah, Isma’iliyyah, dan Zaidiyyah di balik apa yang
mereka namakan “faqih” dalam perang
melawan Ahlus Sunnah. Rencana mereka ialah meneruskan perang melawan Islam
hingga kemunculan “Al Mahdi” versi
Rofidhoh, yang – menurut mereka – akan berbicara dengan bahasa Ibrani, berhukum
dengan Taurat, diikuti oleh Yahudi, dan membunuh semua orang Arab – tanpa
diragukan lagi ciri-cirinya sesui dengan Dajjal Yahudi dan bukan Al-Mahdi yang
Muslim.[1]
Fakta bahwa Rofidhoh yang
murtad lebih bersatu-padu, terorganisir, keras, dan agresif daripada
sekutu-sekutu para salibis – thowaghit dan shohawat – membuat mereka lebih
disukai oleh salibis. Dengan demikian, para salibis lebih mengandalkan mereka
dan sekutu-sekutu Kurdi Rofidhoh daripada yang lainnya dalam perang melawan
Khilafah. Secara umum Rofidhoh lebih barbar dan bersatu daripada koalisi
salibis sendiri, tetapi muwahhidin Khilafah telah menajamkan banyak pisau dan
mempersiapkan banyak bom mobil untuk membantai kawanan domba Rofidhoh hingga
Rofidhoh terakhir mati di bawah bendera Dajjal.
Koalisi Shohawat
Shohawat pertama kali
dinamai di Iraq tetapi telah
muncul menjadi sebuah fenomena lebih awal sejak pasca Komunisme Afghanistan .
Nama tersebut berasal dari kata Arab bermakna “kebangkitan.” Shohawat Iraq terdiri dari geng-geng
bersenjata kabilah suku yang mulai mendukung para salibis Amerika melawan
mujahidin pada “2005” sebelum
berdirinya Daulah Islamiyyah. Kerjasama ini berkembang hingga ‘Abdus Sattar ar Risyawi membentuk majelis
“Kebangkitan al Anbar,” salah satu shohawat resmi bikinan Amerika, yang
diharapkan “bangkit” untuk menghadapi mujahidin. Majelis kabilah suku ini berpihak
kepada shohawat yang berbentuk faksi-faksi melawan Daulah Islamiyyah di mana
kebanyakan dari mereka telah dikendalikan secara kesukuan.
Shohawat yang berbentuk
faksi-faksi ini bisa diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
faksi perlawanan nasionalis
yang bermanhajkan Ikhwani dan faksi “jihad” nasionalis bermanhajkan
Sururiyyah.[2]
Faksi-faksi “jihad”
(“Jaisyul Islam fil Iraq ,”
“Jaisyul Mujahidin,” dan “Majelis Syar’i Jaisy Anshar As-Sunnah,”[3] dan
lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Reformasi.”
Faksi-faksi perlawanan
(“Brigade Revolusi 1920,” “Jaisy Ar Rasyidin,” “Jaisyul Muslimin Fil ‘Iraq,”
dan lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Perubahan,” mengikuti pembentukan
sebuah koalisi perlawanan lainnya yang dikenal dengan “Front Islam untuk Perlawanan
Iraq.” Berbagai faksi perlawanan dan “jihad” dalam koalisi-koalisi yang lebih
kecil ini akhirnya bergabung ke dalam “Majelis Politik untuk Perlawanan Iraq ,”
sedangkan beberapa kelompok yang lebih kecil tetap berada di pinggir lapangan
yang akhirnya menghadapi kematian. Semua bentuk front dan majelis ini secara
nyata dipengaruhi dan disusupi oleh “Hizbul Islami,” cabang Ikhwanul Muslimin
di Iraq. Tidak lama setelah terbentuknya berbagai front dan majelis ini,
“jihad” mereka berubah menjadi pernyataan-pernyataan politik tanpa realita di
lapangan.
Perang mereka hanyalah
perang melawan Daulah Islamiyyah, karena mereka telah mengikat perjanjian
dengan Amerika dan memutuskan bahwa kelompok yang disebut dengan “Khowarij”
adalah musuh Islam yang lebih besar!
“Ikhwanisasi” “jihad”
menjadi dalang atas pengkhianatan dan penyimpangan Burhanuddin Rabbani, Ahmad
Syah Massoud, dan Abdul Rasul Sayyaf di Afganistan, Abdullo Nuri di Tajikistan,
Abdelhakim Belhadj, Abdel Wahab Qaid, Abdel Hakim al Hasidi, dan Sami Mushthafa
as ‘Sa’idi di Libya, Syarif Syaikh Ahmad di Somalia, Mohamed Abu Samra, Kamal
Habib, Nabil Na’iim, Karam Zuhdi, Abbud al Zumar, Thoriq al Zumar, Najih
Ibrahim, Usamah Hafizh, ‘Ashim ‘Abdil Majid, ‘Ashim Darbalah, ‘Abdul Akhir al
Ghonaimi, dan Usamah Rusydi di Mesir, serta Hamas di Palestina.[4]
“Ikhwanisasi” “jihad”-lah
yang menghantarkan terbentuknya kongres “Fajar Libya” dan kelompok “Majelis
Komando Revolusioner Suriah” al Ikhwan yang bersekutu dengan kelompok al Ikhwan
Suriah “Koalisi Nasional Suriah” dan “pemerintahan interim”-nya.
“Ikhwanisasi” “jihad”-lah
yang membawa terbentuknya, bergabungnya, dan terpecahnya berbagai front dan
ruang operasi bersama di Syam dalam suatu bentuk yang sangat serupa dengan yang
ada di Iraq .
Dengan satu pengecualian dalam aspek penting, yakni faksi-faksi shohawat di Iraq
merupakan faksi yang sebelumnya berperang melawan salibis Amerika, menjadikan
normalisasi hubungan dengan para salibis menjadi sesuatu yang aneh. Adapun
faksi-faksi shohawat di Syam, sejak awal perang di Syam, mereka mengemis-ngemis
meminta intervensi atau minimal bantuan dari Amerika, Eropa, Arab, dan Turki
dan telah membuat mereka semakin dekat dengan beragam pendukung dan sekutu,
baik secara terbuka maupun tertutup, membuat perubahan mereka menjadi shohawat
tergolong sesuatu yang alami dan bisa diduga.
Seperti halnya shohawat
Iraq, maka di Syam terdapat faksi-faksi perlawanan nasionalis (“Jaisyul
Mujahidin,” “Jabhah Syamiyyah,” “Failaq asy Syam,” dsb.) dan faksi-faksi
“jihad” nasionalis (“Ahrar asy Syam,” “Jaisyul Islam,” dan Jabhah Jawlani). Dan
seperti beragam front dan majelis yang terbentuk di Iraq di mana para faksi
anggotanya berjanji sepenuhnya untuk bersatu padu namun kemudian terpecah dan
tidak pernah mencapai persatuan yang mereka inginkan, maka beragam koalisi dan
front di Syam seperti “Jabhah Islamiyyah” dan “Jaisyul Fath” yang berisi
faksi-faksi independen juga menolak bergabung menjadi entitas yang lebih besar
dan menginginkan perpecahan yang lebih dalam. Penyakit hizbiyyah dan cinta
kepemimpinanlah yang senantiasa menggerogoti mereka, disamping kesesatan mereka
yang sangat besar.
Perpecahan yang terus
terjadi dan mendalam inilah yang membuat Amerika memilih rezim Shofawiy di Iraq
daripada proyek Shohawat. Akhirnya Amerika meninggalkan Shohawat murtad menuju
hasrat dan hawa nafsu “faqih” Shofawiy Iran yang kemudian mengkhianati mereka,
padahal di era Shohawat bertahun-tahun lamanya Shohawat melayani kepentingan
rezim Shofawiy di Iraq dan salibis.
Pihak shohawat – baik yang
berada di Syam, Iraq, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, maupun tempat
lainnya – di samping para pemimpin mereka bepergian dari Yordania lalu Arab
“Saudi,” kemudian Kuwait, lalu Qatar, lalu Turki, lalu Inggris, lalu Amerika
Serikat, hanya memiliki satu hal yang sama; mereka adalah penganut
Machiavellian. Bagi mereka, tujuan menghalalkan segala cara. Dan oleh
karenanya, “kebaikan” apa saja yang diperoleh atau “kepentingan” apa saja yang
dikejar membenarkan kemurtadan dan kemunafikan. Mereka tidak mengambil pendapat
yang didasarkan pada dalil, namun mereka mencari pendapat lemah dan ganjil guna
mengejar tahta, harta, dan kehormatan, serta menghalalkan wala’ kepada kuffar
dan berbaro’ah dari Muslimin. Ketika perbuatan mereka tampak nyata dengan
berperang di jalan salibis dan thowaghit melawan Islam dan kaum Muslimin,
mereka berupaya mencitrakan diri mereka guna melegalkan permintaan bantuan pada kuffar dengan dalih memerangi apa yang
dituduh sebagai “Khowarij”! Kemudian faksi “jihad” yang beragam tersebut –
dikendalikan oleh paham irja’ dan hizbiyyah – menjadi murtad dan bersekutu
dengan faksi-faksi nasionalis melawan musuh bersama, yaitu “Khowarij”, sembari
mengada-adakan udzur bagi kafirnya sekutu nasionalis mereka untuk mencitrakan
sekutu mereka tersebut sebagai Muslim yang salah dalam melawan musuh berbahaya.
Oleh karenanya, mereka udzur kekafiran apa pun yang dilakukan demi “membela
diri”! Barangkali tidak lama lagi fanatisme mereka akan menimpa mereka, hingga
mereka akan saling menyalahkan demi mendapatkan dominasi politik atas tanah
yang tak seberapa yang telah mereka “bebaskan.”
Sebuah Kesempatan untuk Beramal Mulia
Adapun bagi Muslimin yang
tidak mampu melakukan hijrah dari darul kufur ke Khilafah, maka terdapat banyak
kesempatan baginya untuk menyerang musuh-musuh Daulah Islamiyyah. Terdapat
lebih dari tujuh puluh musuh untuk dia pilih, baik itu negara salibis, rezim
thoghut, tentara murtad, milisi Rofidhoh, dan faksi shohawat. Wilayah
kepentingan mereka tersebar di seluruh penjuru dunia. Umat Muslimin seharusnya
tidak ragu untuk menyerang mereka sebisa mungkin. Selain membunuh Salibis di
mana pun mereka berada di muka bumi ini, lantas – sebagai misal – apa yang
menghalanginya untuk menargetkan komunitas Rofidhoh di Dearborn (Michigan ), Los Angeles ,
dan New York City ?
Atau menargetkan utusan diplomatik Panama [5]
di Jakarta , Doha ,
dan Dubai ? Atau
menargetkan utusan diplomatik Jepang di Bosnia , Malaysia , dan Indonesia ? Atau menargetkan
diplomat-diplomat Saudi di Tirana (Albania ),
Sarajevo (Bosnia ), dan Pristina (Kosovo)?
Atau mengeksekusi sponsor-sponsor utama Shohawat
di Qatar , Kuwait ,
dan Arab “Saudi”? Apa yang menghalanginya menargetkan sekutu-sekutu PKK dan
Peshmerga di Eropa dan Amerika, termasuk “Konfederasi Asosiasi Kurdi di Eropa”
(KON-KURD – berbasis di Brussels ) dan “Persatuan
Pebisnis Kurdi Internasional” (KAR-SAZ – berbasis di Rotterdam ) yang keduanya dikenal mendukung
PKK secara finansial?
Jika terhalang dari berhijrah
bagaimanapun alasannya, seseorang tidak diudzur dari jihad melawan musuh-musuh
Islam di dekatnya.
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir
yang di sekitar kamu itu dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu. Dan
ketahuilah, Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” [QS
At Taubah 123]
Kesimpulan
Kesabaran dan keteguhan
Muslimin dalam Ghozwah Ahzab mengandung makna bahwa mereka adalah pasukan yang
patut diperhitungkan. Jika digabungkan dengan banyaknya jumlah kemenangan yang
mereka dapatkan dalam perang, musuh mereka pun akhirnya akan mengakui
kekalahan. Mereka pun menawarkan gencatan senjata, seperti dalam Perjanjian
Hudaibiyyah yang kemudian dilanggar oleh musyrikin Quraisy dan akhirnya
berujung pada Fathu Makkah.
Di sisi lain, Shohawat
berlomba-lomba mendatangi salibis… dan bahkan orang-orang murtad! Kemudian
Shohawat bernaung di bawah sayap mereka, menaati perintah mereka sebagai bentuk
pertukaran bantuan dan dukungan, dan mengobarkan perang melawan Daulah
Islamiyyah sementara mereka sendiri menolak penerapan syari’at Islam; semuanya
dengan mengklaim bahwa ini berasal dari “fiqh” Hudaibiyyah. Padahal sebaliknya,
fiqh Hudaibiyyah berada dalam kesabaran Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya dalam semua pertempuran terdahulu sebelum Hudaibiyyah. Ia
berada dalam pengakuan janji Rabb mereka pada saat pertemuan di Perang Ahzab.
Ia disebabkan keistiqamahan jihad dan wala’ wal baro’ mereka yang tidak pernah
berhenti. Ia terjadi saat direngkuhnya kekuatan yang karenanya gencatan senjata
yang mereka tanda tangani muncul dalam posisi kuat dan bukan lemah. Oleh karena
itu, syarat-syaratnya akhirnya hanya diperuntukkan untuk kepentingan umat
Islam.
Pada akhirnya, bukanlah
kemurtadan dan hati lemah yang tersesat serta orang-orang munafik yang membawa
pada perjanjian dengan bangsa Romawi sebelum Kiamat, namun kesabaran dan keteguhan
mujahidin dalam perjalanan mereka menuju kekuatan selanjutnya serta ekspansi
yang lebih luas di hadapan perang salib internasional melawan Islamlah yang
akan meraih hal semacam itu.
Ya Allah, yang
membolak-balik hati, tetapkanlah hati kami di jalanMu hingga orang terakhir
dari kami berperang di bawah bendera al Masih ‘alaihis salam melawan ad Dajjal.
-----------------------
[1] Lihat artikel “Al Mahdi
versi Rofidhoh: Dajjal” dalam Dabiq edisi ini.
[2] Selanjutnya “Sururiyyah”
merupakan gerakan “Salafi” pro Saudi yang telah meninggalkan sejarah
keoposisiannya dengan thowaghit Saudi. Para
pemimpin mereka membolehkan ikut ambil bagian dalam pemilu demokrasi dan
referendumnya yang murtad. Di Jaziroh Arab, gerakan mereka dipandang sebagai
gerakan “Shohawat,” tidak ada hubungannya dengan Shohawat Iraq . Dua orang
pemimpinnya yang paling terkenal ialah Salman al ‘Audah dan Safar al Hawali.
Nama “Sururi” sendiri diambil dari nama “Muhammad Surur,” yang seperti halnya
Salman dan Safar, berubah menjadi pendukung Saudi yang kental setelah di masa
lalu menentang thowaghit Saudi. Secara menyeluruh, orang-orang bisa
menyimpulkan as Sururiyyah adalah al Ikhwan dalam bentuk “Salafiyyah.” Semoga
Allah menghinakan “ulama-ulama” jahat dan tuan-tuan thoghut Saudi mereka.
[3] Ini adalah kelompok yang
menghendaki untuk bergabung dengan Shohawat Iraq dan keluar dari Anshar al
Islam.
[4] Lihat rubrik “Dari
Lembaran Sejarah” dalam Dabiq edisi ini.
[5] Apa yang diharapkan oleh
negara yang menyedihkan seperti Panama
bagi warga negaranya selain lebih banyak lagi teror ketika mereka secara arogan
masuk ke dalam koalisi pimpinan Amerika melawan Daulah Islamiyyah?
No comments:
Post a Comment