NASIHAT LUKMAN HAKIM: "WAHAI ANAKKU, TIADA AMALAN SOLEH TANPA KEYAKINAN DENGAN ALLAH TAALA. SESIAPA YANG MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG LEMAH MAKA AMALANNYA JUGA MENJADI CACAT."

Blogger Widgets Blogspot Tutorial

Saturday, 6 June 2015

DISIPLIN MENERIMA SUMBER BERITA



Adab Islam dalam Menerima Kabar: Tafsir QS. Al Hujurat : 6

Jum`at, 13 Jumadil Tsaniyah 1436             Bahasan, Featured

Shoutussalam – Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan untuk Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam beserta para keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’d:
Allah ‘azza wa jalla berfirman di dalam Al-Furqan:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”(QS.Al Hujurat : 6)

Tafsir Ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ “Hai orang-orang yang beriman”: adalah maskudnya orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasulullah saw, wujud keimanan mereka adalah meyakini serta mewujudkan dengan amal atas kesetiaan kepada segala apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya, baik itu firman-Nya, Perintah dan larangan-Nya dan segala kuasa-Nya. Dan orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw adalah orang yang fasik.

Selain itu panggilan disini ditunjukan kepada orang beriman “Hai orang-orang yang beriman”, ini menunjukan bahwa isi ayat ini adalah hal penting yang harus diperhatikan oleh setiap orang beriman. Dan panggilan ini berisfat khusus yang ditunjukan kepada orang beriman agar mereka sadar akan keimanan. Bahwa ia dalah orang beriman yang keimanan itu jangan sampai lepas selaku status orang tersebut dan dari hatinya. Demikian yang dijelaskan oleh Abu Su’ud dalam tafsirnya (Jilid VII/Halaman: 581)


إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ


jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita”: adalah seseorang yang membawa berita sedang status pembawa berita tersebut adalah orang yang fasik. Al Hafiz Imam Ibnu Katsir berkata: Fasik itu yakni menyimpang dari jalan keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Fasik sendiri artinya keluar, Tikus dinamai hewan yang fasik sebab tikus keluar dari liangnya untuk berlaku kerusakan (tidak ta’at, sebab keta’atan itu dekat dengan perbaikan bukan kerusakan). Penjelasan Ibnu Katsir ini ada ketika beliau menafsirkan QS.At Taubah ayat 96.


فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ


maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”: adalah bahwasanya adab dalam menerima berita adalah dengan tabayyunyaitu klarifikasi atau cek and recek atas berita tersebut agar adanya kejelasan berita dan keakuratan kebenaranya, sebab warta dan fakta terkadang berbeda.

Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat ini adalah suatu keharusan akan pengecekan suatu berita, dan juga keharaman akan berpegang kepada berita orang-orang yang fasik yang banyak menimbulkan bahaya. Ayat ini mengajarkan bahwa mencari kebenaran berita serta tidak mempercayai berita yang dibawa oleh orang yang fasik yang menentang Allah adalah suatu keharusan.

Sebab berpegang kepada berita yang belum jelas kebenaranya , terlebih berita yang disebarkan oleh orang fasik ini membahayakan dari dua sisi. Yaitu, Sisi  dari sumber berita dan jenis berita, berita yang dibawa oleh orang fasik berkemungkinan adalah berita yang munkar oleh sebab kedengkian dan kejelekan sikap yang ada pada dirinya. Dan juga jenis berita yang dibawa oleh orang fasik biasanya juga berjenis berita yang munkar.

Seperti contohnya orang yang mengikuti hawa nafsu dan buruk akhlaknya yang menyebarkan berita bahwa diperbolehkan nikah mut’ah (kontrak) dalam Islam. Namun setelah diteliti akan kebenaran berita itu, ternyata Islam justru mengharamkan nikah mut’ah. Bayangkan jika ada seseorang menerima berita itu mentah-mentah tanpa ada pegecekan terlebih dahulu, maka banyak orang yang terjebak dalam nikah haram yang bernama nikah mut’ah atau kawin kontrak. Sungguh jika sedemikian, ini artinya adalah suatu musibah atas suatu kaum.

Dan juga bahwasanya jika mengikuti berita yang ternyata adalah berita munkar (dusta ,salah atau palsu) maka hal itu akan menimbulkan penyesalan  oleh sebab menyesatkan dan menjerumuskan dalam kemunkaran.  Sebagaimana seorang Ibu-Ibu yang turut serta menyebarkan berita gosip atas seseorang,padahal ternyata gosip itu belum tentu benar. Dalam menggosip bila benar dinamai ghibah dan bila salah dinamai fitnah. Ternyata dengan mentahnya sang Ibu ini menerima saja berita gosip itu dan menyebarkan berita itu bahkan menghukumi orang yang digosipi dengan berita gosip tersebut. Maka sang ibu penyebar gosip ini termasuk orang yang fasik (karena berghibah ) serta turut menyebar fitnah (berita dusta), selain itu orang yang Ibu gosipi ini telah terzalimi dan terjadi keruskan padanya atas gosip tersebut.

As Syaikh Ali As Shabuni berkata: “Sebelum menghukumi seseorang, seharusnya diadakan suatu penelitian yang cermat, tidak hanya dengan modal mendengar berita. Hal ini dikarenakan agar tidak terjadi kezaliman dan permusuhan diantara sesama”.


Berita dan Pewarta Berita

Berita adalah segala sesuatu kabar atau informasi akan sesuatu, sedang pewarta berita adalah seseorang yang menyampaikan berita. Mengenai kabar atau informasi ini terdapat banyak jenisnya, mulai dari peristiwa, perkataan atau ilmu termasuk dalam berita.

Ketika ada seorang guru memberikan ilmu, itu sama halnya ia sedang memberikan berita atau informasi. Maka sebagai murid yang baik hendaknya tidak mudah mengikuti ilmu tersebut (taqlid), hendaknya sang murid mengetahui dan menanyakan latar belakang keilmiyahan ilmu yang disampaikan itu. Ini semua agar sang murid tidak menjadi seorang pengikut ilmu yang buta (taqlid buta), salah-salah ilmu itu bisa jadi ilmu yang tidak ilmiyah dan ilmu yang salah. Seorang guru yang ilmiyah, ia akan menjelaskan keilmiyahan akan ilmu yang disampaikan.

Ibnu Qayim dalam I’lam Muwaqi’in berkata bahwa: “Seharusnya seorang Ulama bila mengajarkan suatu ilmu (fatwa), hendaknya ia juga turut menjelaskan dalil-dalil akan ilmu tersebut agar murid yang mengikutinya paham.”

Selain itu juga ketika seseorang mendapatkan suatu kabar perkataan akan orang lain, hendaknya ia mengetahui riwayat penyampaian perkataan tersebut. jangan sampai ada dusta akan perkataan yang dinisbatkan kepada orang yang salah. Sebagaimana ada orang yang gemar menisbatkan suatu perkataan pada orang lain, padahal orang yang dinisbatkan ini tidak pernah berkata demikian namun dinisbatkan akan orang tersebut.

Dan yang terakhir adalah suatu peristiwa, banyak berita-berita dusta akan suatu peristiwa yang diwartakan. Yang sebenarnya peristiwa itu tidak terjadi,namun diberitakan bahwa peristiwa itu terjadi. Maka sebagai penerima berita hendaknya pandai-pandai melakukan tabayyun (klarifikasi) atas segala berita yang sampai padanya agar tidak berbuat kerusakan akan berita yang didapat.

Seperti contohnya berita dusta atas kasus kebun opium (Narkoba) yang ada di Afghanistan, pemerintah Amerika mengatakan bahwa Taliban (pejuang Afganistan) memiliki kebun opium di Afganisthan. Dan hasil opium itu digunakan untuk jihad dan membeli senjata. Ternyata setelah disidik dan diteliti beberapa waktu kemudian, berita tersebut adalah dusta dan fitnah kepada mujahidin Taliban yang dikarang oleh Amerika untuk menjelekan Jihad dan Mujahidin Afghanistan.

Maka orang yang turut memberitakan berita dusta Amerika ini benar-benar ceroboh karena terpancing kedustaan Amerika, mempercayai berita dari orang fasik (masih islam) saja harus di teliti kebenaranya. Terlebih kabar berita dari Amerika yang tidak hanya fasik melainkan kafir dan memusuhi islam.

Mengikuti berita yang benar maka akan mendapatkan informasi yang akurat dan wawasan yang bermanfaat, namun mengikuti berita yang salah maka akan menimbulkan kedzaliman dan keruskan (fitnah). Dan untuk semua itu diperlukan adanyatabayyun yang cermat dan teliti. Inilah perintah Allah pada hamba-Nya.

Mutiara Tafsir

Mengenai QS.Al Hujurat ayat 6 ini, Syaikh Ali As Shabuni memberikan tiga poin penilaian penting:


  1. Bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengajarkan adab dan akhlak yang baik, yaitu keharusan mengklarifikasi akan suatu berita agar tidak mudah mengikuti kabar berita yang tidak bertanggung jawab. Dan juga tidak mudah menghukumi orang dengan berbekal informasi yang samar dan tidak pasti kebenaranya. Sebab salah-salah jika tidak mengindahkan adab ini, maka akan menzalimi orang lain dan membuat fitnah atau kerusakan atas suatu kaum.
  2. Hikmah disyariatkanya mentabayunkan akan suatu berita ini adalah agar umat muslim tidak mudah terprofokasi berita-berita tidak bertanggung jawab yang disebarkan oleh musuh-musuh islam. Dimana dewasa ini musuh-musuh islam senantiasa menghembuskan berita-berita sesat ditengah umat islam, dengan tujuan untuk membuat permusuhan antar sesama umat dan merusak agama serta ukhuwah islamiyah.
  3. Fitnah dan kerusakan ditengah umat diawali dengan adanya suatu kedustaan dan hasutan. Maka dari itu janganlah mengikuti kedustaan, cek dan teliti lebih dalam dan cermat agar tidak mengikuti suatu kedustaan. Dan hendaknya tidak mudah terhasut dengan cara menjadi manusia cerdas yang gemar melakukan klarifikasi antar sesama agar adanya suatu kejelasan dan kelancaran komunikasi antar sesama

Dan menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairi bahwa haram hukumnya mengikuti dan menghukumi dengan kabar sepihak dan kabar praduga (tidak jelas) atas sesuatu sehingga setelah itu dapat menimbulkan suatu penyesalan (karena bersalah dan memunculkan kerusakan) baik di dunia atau akhirat. Serta wajib mengklarifikasi atas berita dari seseorang agar tidak menimbulkan suatu hal yang membahayakan atas orang lain dan dirinya.

Dalam suatu riwayat di kemukakan bahwa Al- Harits menghadap Rasulullah saw. Beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri untuk masuk Islam. Rasulullah saw mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata; “ Ya Rasulullah, aku akan pulang kekaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang – orang yang mengikuti ajakanku akan ku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu. “

Ketika Al- Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang telah di tetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al- Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah saw marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah saw telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah saw.

Rasulullah saw, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ketempat yang dituju. Ia melaporkan (laporan palsu) kepada Rasulullah saw bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah saw mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju ketempat Rasulullah saw. Setelah berhadap- hadapan , Al-Harits menanyai utusan itu; “ Kepada siapa engkau di utus?” Utusan itu menjawab; “ Kami di utus kepadamu.” Dia bertanya; “Mengapa?“ Mereka menjawab; ”Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab ; “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar- benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah saw, bertanyalah beliau; ” Mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab; ”Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar- benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini (QS. 49 Al-Hujurat :6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.

Allahu’alam bis shawab
[M/mukmin]









No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Nasihat Lukman Al-Hakim: “Anakku, apabila sesiapa datang kepada kamu dengan aduan bahawa si anu telah mencabut kedua-dua biji matanya dan kamu lihat dengan mata kepala sendiri bahawa kedua-dua biji matanya tercabut, namun janganlah kamu sampai kepada sesuatu kesimpulan sebelum kamu mendengar pihak yang lain. Tidak mustahil orang membuat aduan itulah yang mula-mula mencabut mata orang lain, boleh jadi sebelum kehilangan kedua-dua biji matanya dia telah mencabutkan empat biji mata orang lain.”