Sambungan:
PERSEKONGKOLAN KUFFAR
MEMERANGI DAULAH ISLAMIYAH
Shohawat pertama kali
dinamai di Iraq tetapi telah
muncul menjadi sebuah fenomena lebih awal sejak pasca Komunisme Afghanistan .
Nama tersebut berasal dari kata Arab bermakna “kebangkitan.” Shohawat Iraq terdiri dari geng-geng
bersenjata kabilah suku yang mulai mendukung para salibis Amerika melawan
mujahidin pada “2005” sebelum
berdirinya Daulah Islamiyyah. Kerjasama ini berkembang hingga ‘Abdus Sattar ar Risyawi membentuk majelis
“Kebangkitan al Anbar,” salah satu shohawat resmi bikinan Amerika, yang
diharapkan “bangkit” untuk menghadapi mujahidin. Majelis kabilah suku ini berpihak
kepada shohawat yang berbentuk faksi-faksi melawan Daulah Islamiyyah di mana
kebanyakan dari mereka telah dikendalikan secara kesukuan.
Shohawat yang berbentuk
faksi-faksi ini bisa diklasifikasikan ke dalam dua kelompok:
faksi perlawanan nasionalis
yang bermanhajkan Ikhwani dan faksi “jihad” nasionalis bermanhajkan
Sururiyyah.[2]
Faksi-faksi “jihad”
(“Jaisyul Islam fil Iraq ,”
“Jaisyul Mujahidin,” dan “Majelis Syar’i Jaisy Anshar As-Sunnah,”[3] dan
lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Reformasi.”
Faksi-faksi perlawanan
(“Brigade Revolusi 1920,” “Jaisy Ar Rasyidin,” “Jaisyul Muslimin Fil ‘Iraq,”
dan lain-lain) membentuk “Front Jihad dan Perubahan,” mengikuti pembentukan
sebuah koalisi perlawanan lainnya yang dikenal dengan “Front Islam untuk Perlawanan
Iraq.” Berbagai faksi perlawanan dan “jihad” dalam koalisi-koalisi yang lebih
kecil ini akhirnya bergabung ke dalam “Majelis Politik untuk Perlawanan Iraq ,”
sedangkan beberapa kelompok yang lebih kecil tetap berada di pinggir lapangan
yang akhirnya menghadapi kematian. Semua bentuk front dan majelis ini secara
nyata dipengaruhi dan disusupi oleh “Hizbul Islami,” cabang Ikhwanul Muslimin
di Iraq. Tidak lama setelah terbentuknya berbagai front dan majelis ini,
“jihad” mereka berubah menjadi pernyataan-pernyataan politik tanpa realita di
lapangan.
Perang mereka hanyalah
perang melawan Daulah Islamiyyah, karena mereka telah mengikat perjanjian
dengan Amerika dan memutuskan bahwa kelompok yang disebut dengan “Khowarij”
adalah musuh Islam yang lebih besar!
“Ikhwanisasi” “jihad”
menjadi dalang atas pengkhianatan dan penyimpangan Burhanuddin Rabbani, Ahmad
Syah Massoud, dan Abdul Rasul Sayyaf di Afganistan, Abdullo Nuri di Tajikistan,
Abdelhakim Belhadj, Abdel Wahab Qaid, Abdel Hakim al Hasidi, dan Sami Mushthafa
as ‘Sa’idi di Libya, Syarif Syaikh Ahmad di Somalia, Mohamed Abu Samra, Kamal
Habib, Nabil Na’iim, Karam Zuhdi, Abbud al Zumar, Thoriq al Zumar, Najih
Ibrahim, Usamah Hafizh, ‘Ashim ‘Abdil Majid, ‘Ashim Darbalah, ‘Abdul Akhir al
Ghonaimi, dan Usamah Rusydi di Mesir, serta Hamas di Palestina.[4]
“Ikhwanisasi” “jihad”-lah
yang menghantarkan terbentuknya kongres “Fajar Libya” dan kelompok “Majelis
Komando Revolusioner Suriah” al Ikhwan yang bersekutu dengan kelompok al Ikhwan
Suriah “Koalisi Nasional Suriah” dan “pemerintahan interim”-nya.
“Ikhwanisasi” “jihad”-lah
yang membawa terbentuknya, bergabungnya, dan terpecahnya berbagai front dan
ruang operasi bersama di Syam dalam suatu bentuk yang sangat serupa dengan yang
ada di Iraq .
Dengan satu pengecualian dalam aspek penting, yakni faksi-faksi shohawat di Iraq
merupakan faksi yang sebelumnya berperang melawan salibis Amerika, menjadikan
normalisasi hubungan dengan para salibis menjadi sesuatu yang aneh. Adapun
faksi-faksi shohawat di Syam, sejak awal perang di Syam, mereka mengemis-ngemis
meminta intervensi atau minimal bantuan dari Amerika, Eropa, Arab, dan Turki
dan telah membuat mereka semakin dekat dengan beragam pendukung dan sekutu,
baik secara terbuka maupun tertutup, membuat perubahan mereka menjadi shohawat
tergolong sesuatu yang alami dan bisa diduga.
Seperti halnya shohawat
Iraq, maka di Syam terdapat faksi-faksi perlawanan nasionalis (“Jaisyul
Mujahidin,” “Jabhah Syamiyyah,” “Failaq asy Syam,” dsb.) dan faksi-faksi
“jihad” nasionalis (“Ahrar asy Syam,” “Jaisyul Islam,” dan Jabhah Jawlani). Dan
seperti beragam front dan majelis yang terbentuk di Iraq di mana para faksi
anggotanya berjanji sepenuhnya untuk bersatu padu namun kemudian terpecah dan
tidak pernah mencapai persatuan yang mereka inginkan, maka beragam koalisi dan
front di Syam seperti “Jabhah Islamiyyah” dan “Jaisyul Fath” yang berisi
faksi-faksi independen juga menolak bergabung menjadi entitas yang lebih besar
dan menginginkan perpecahan yang lebih dalam. Penyakit hizbiyyah dan cinta
kepemimpinanlah yang senantiasa menggerogoti mereka, disamping kesesatan mereka
yang sangat besar.
Perpecahan yang terus
terjadi dan mendalam inilah yang membuat Amerika memilih rezim Shofawiy di Iraq
daripada proyek Shohawat. Akhirnya Amerika meninggalkan Shohawat murtad menuju
hasrat dan hawa nafsu “faqih” Shofawiy Iran yang kemudian mengkhianati mereka,
padahal di era Shohawat bertahun-tahun lamanya Shohawat melayani kepentingan
rezim Shofawiy di Iraq dan salibis.
Pihak shohawat – baik yang
berada di Syam, Iraq, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, maupun tempat
lainnya – di samping para pemimpin mereka bepergian dari Yordania lalu Arab
“Saudi,” kemudian Kuwait, lalu Qatar, lalu Turki, lalu Inggris, lalu Amerika
Serikat, hanya memiliki satu hal yang sama; mereka adalah penganut
Machiavellian. Bagi mereka, tujuan menghalalkan segala cara. Dan oleh
karenanya, “kebaikan” apa saja yang diperoleh atau “kepentingan” apa saja yang
dikejar membenarkan kemurtadan dan kemunafikan. Mereka tidak mengambil pendapat
yang didasarkan pada dalil, namun mereka mencari pendapat lemah dan ganjil guna
mengejar tahta, harta, dan kehormatan, serta menghalalkan wala’ kepada kuffar
dan berbaro’ah dari Muslimin. Ketika perbuatan mereka tampak nyata dengan
berperang di jalan salibis dan thowaghit melawan Islam dan kaum Muslimin,
mereka berupaya mencitrakan diri mereka guna melegalkan permintaan bantuan pada kuffar dengan dalih memerangi apa yang
dituduh sebagai “Khowarij”! Kemudian faksi “jihad” yang beragam tersebut –
dikendalikan oleh paham irja’ dan hizbiyyah – menjadi murtad dan bersekutu
dengan faksi-faksi nasionalis melawan musuh bersama, yaitu “Khowarij”, sembari
mengada-adakan udzur bagi kafirnya sekutu nasionalis mereka untuk mencitrakan
sekutu mereka tersebut sebagai Muslim yang salah dalam melawan musuh berbahaya.
Oleh karenanya, mereka udzur kekafiran apa pun yang dilakukan demi “membela
diri”! Barangkali tidak lama lagi fanatisme mereka akan menimpa mereka, hingga
mereka akan saling menyalahkan demi mendapatkan dominasi politik atas tanah
yang tak seberapa yang telah mereka “bebaskan.”
Bersambung
No comments:
Post a Comment