[Pesan Kepada Saudari Muslimah] A JIHAD WITHOUT FIGHTING
Jihad Tanpa Perang
Oleh: Ummu Sumayyah al-Muhajirah
Alih Bahasa: Usdul Wagha
[Diterjemahkan dari artikel
berjudul: “A Jihad Without Fighting” dari majalah Dabiq edisi 11]
Dengan menyebut nama Allah, Yang
Maha Kuat dan Maha Perkasa, Yang memuliakan kaum muslimin dan menghinakan kaum
musyrikin. Semoga shalawat dan salam tercurah selalu kepada pemimpin manusia
dari awal hingga akhir, pemimpin kita; Muhammad, kepada keluarganya dan para
shahabat seluruhnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka di dalam kebaikan
hingga hari kiamat. Amma ba’du;
Sesungguhnya ketika Allah
mewajibkan Jihad di Jalan-Nya terhadap para hamba-Nya yang laki-laki dan
menjadikan di dalamnya pahala yang sangat besar yang tidak di dapati di dalam
kewajiban-kewajiban lainnya, sebagian kaum wanita menjadi cemburu dan merasa
iri, sehingga Ummu Salamah radhiyallahu anha bertanya kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, seperti yang disebutkan di dalam hadits Mujahid, “Wahai
Rasulullah, kaum laki-laki keluar untuk berperang, sedangkan kami tidak keluar
untuk berperang …” maka Allah Ta’ala menurunkan; {Dan janganlah kamu iri hati
terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian
yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.} [An-Nisa:
32] sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya.
Namun, biarpun tidak ada
kewajiban jihad dan berperang atas wanita muslimah – kecuali dalam
mempertahankan diri dari orang yang menyerangnya – bukan berarti telah gugur
peranannya dalam membangun umat, membentuk para pria, dan mendorong mereka ke medan laga.
Karena itu, aku goreskan pena ini
bagi para ukhti muslimah, istri para mujahid dan ibu bagi para anak-anak singa.
Allah berfirman, {Dan di antara
mereka ada orang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”, Mereka itulah yang
memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat
perhitungan-Nya} [Al-Baqarah: 201-201].
Menurut Ali ibn Abi Thalib
radhiyallahu anhu, {Kebaikan di dunia} maknanya adalah “Istri yang shalihah”
[Zad al-Masir].
Tsauban berkata, “Ketika turun
tentang ayat emas dan perak, para shahabat bertanya; “Maka kekayaan apakah yang
harus kita usahakan untuk kita miliki?” Umar berkata; “Aku akan mencari tahu
untuk kalian.” Dia kemudian naik ke atas untanya dan berjalan cepat hingga
mendapati beliau, sedangkan aku berada di belakangnya, maka dia berkata, “Wahai
Rasulullah, kekayaan seperti apakah yang harus kita cari?” Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda; “Hendaknya setiap dari kalian menjadikan hatinya
hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan istri yang menolongnya dalam
urusan akhiratnya” [Hasan: diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah].
Ayah, ibu dan diriku sendiri
sebagai tebusannya, sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah dikaruniai
sifat jawami’ul-kalim: “Seorang istri yang menolongnya dalam urusan akhirat.”
Akhirat, hal yang paling penting, pelabuhan terakhir dan tujuan utama setiap
fikiran seorang mukmin yang cerdas. Maka alangkah mengena perkataan salah satu
wanita kepada suaminya tatkala dia melihatnya sedang bersedih, “Apa yang
membuatmu bersedih? Apakah karena dunia sedangkan Allah telah membuatmu
istirahat darinya, atau tentang akhirat, semoga Allah menambah kesedihanmu”.
Dan engkau wahai ukhti fil Islam
dan istri para mujahid, suamimu adalah orang yang mana seluruh dunia hari ini
sepakat untuk memeranginya. Saudariku, tahukah engkau siapa mujahid itu? Mereka
adalah orang yang telah mencampakkan dunia di belakang mereka dan berjalan
menuju kematian demi hidupnya umat. Dan aku rasa ketika dia datang untuk
menikahimu ketika itu dia adalah seorang mujahid atau jika tidak dia adalah
calon mujahid. Paling tidak engkau ketika itu tahu akidahnya dan manhajnya, dan
engkau tahu jenis kehidupan apa yang akan dijalaninya. Dan jika ketika itu dia
adalah orang yang qa’id (duduk-duduk tidak berjihad) dan tersesat, maka dia
telah bertaubat kepada Allah, dan Allah lebih berbahagia dengan taubat seorang
hamba-Nya daripada seorang laki-laki yang terbangun dari tidurnya dan mendapati
untanya ada di sisinya, padahal sebelumnya dia hilang dan tersesat di tengah
sahara! Lalu mengapa kita dapati ada istri para mujahid yang mengeluh dalam
kehidupan mereka? Jika dia mendengar ada pertempuran yang dekat yang suaminya
akan ke sana
dia marah. Jika dia melihat suaminya mengenakan baju tempurnya dia gelisah.
Jika suaminya keluar untuk ribat, suasana hatinya menjadi gundah. Jika suaminya
pulang terlambat, dia mengeluh. Wahai saudariku, siapakah yang memperdayamu
dengan mengatakan kehidupan jihad itu kehidupan yang nyaman dan menyenangkan?
Tidakkah engkau mencintai jihad dan orang-orangnya? Coba dengarkanlah.
Sesungguhnya engkau terhitung sedang di dalam jihad ketika engkau menanti
suamimu kembali dengan penuh kesabaran dan penuh pengharapan akan pahala Allah,
berdoa untuknya agar dia diberi kemenangan dan tamkien. Engkau berada di dalam
jihad ketika engkau menjaga kesetiaanmu kepadanya di saat ketidak-hadirannya.
Engkau berada di dalam jihad ketika engkau mengajarkan anak-anaknya antara yang
benar dan yang salah, antara yang haq dan yang bathil. Sungguh, engkau wahai
saudariku yang tercinta, hari ini engkau adalah istri seorang mujahid, dan
mungkin esok hari engkau adalah istri seorang syahid, atau istri seorang
pejuang yang terluka, atau istri seorang yang berada di dalam tawanan – maka
berapa banyakkah kesabaran yang telah engkau siapkan? Jika saja engkau telah
mengeluh dan mengadu di saat kemudahan dan kelapangan, maka apa yang engkau
akan lakukan di saat kesusahan dan musibah? Akankah engkau bersabar tatkala
suamimu kembali sambil membawa darah yng mengalir? Atau jangan-jangan engkau
hanya menginginkan suamimu hanya ketika dia dalam keadaan baik?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata;
“Para ulama tafsir dan sejarah, juga yang lain
berpendapat bahwa nabi Ayyub alaihis-salam adalah seorang yang berharta, yang
memiliki banyak ragam kekayaan, termasuk binatang ternak, budak, kendaraan,
tanah yang luas di negri al-Butsainah di wilayah Huran. Ibnu ‘Asakir
mengisahkan bahwa dia memiliki semua itu dan memiliki banyak anak laki-laki dan
keluarga. Kemudian dia terhalang dari itu semua dan mendapat cobaan di setiap
tubuhnya dengan berbagai jenis penyakit hingga tidak tersisa kecuali hati dan
lisannya yang berdzikir kepada Allah, dan dia tetap bersabar dan penuh
pengharapan kepada Allah, selalu berdzikir kepada Allah baik siang dan malam,
pagi dan petang. Sakit yang menjangkitinya berlangsung lama, hingga teman-teman
meninggalkannya, dan keluarga menjauhinya, bahkan dia diusir dari kampungnya
dan dilemparkan ke tempat sampah, orang-orang tidak mau lagi berhubungan
dengannya, dan tidak ada satu orang pun yang mendekatinya kecuali istrinya, dia
tetap menjaga hak-haknya, dan mengenal kebaikan yang pernah diberikan oleh
suaminya dan kelembutannya atasnya, dia selalu mondar-mandir untuk mengurus
urusan suaminya, membantu menunaikan hajatnya dan mengerjakan kemashlahatannya,
hingga sang istri menjadi lemah dan habis hartannya, sampai-sampai dia harus
membantu orang-orang demi mendapat upah, agar bisa memberi makan suaminya dan
memenuhi kebutuhannya, semoga Allah meridhoinya dan membuatnya ridho. Dia tetap
bersabar dengannya walau apapun yang terjadi dengan mereka, hilangnya harta,
anak-anak, dan apa-apa yang menimpa mereka dari berbagai musibah yang menimpa
suaminya, kesempitan hidup dan bantuan manusia, setelah sebelumnya penuh
kebahagiaan, nikmat, khidmat, kedudukan, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un”.
[al-Bidayah wan-Nihayah].
Ibnu Katsir rahimahullah kemudian
berkata; “As-Suddī berkata bahwa daging Nabi Ayyub alaihis-salam berjatuhan dan
tidak tersisa kecuali sedikit dan urat-uratnya, maka istrinya datang menemuinya
membawa abu dan menebarkannya di bawahnya, ketika waktu semakin lama berjalan,
istrinya berkata kepadanya; “Wahai Ayyub, andai engkau berdoa kepada Rabbmu
tentu Dia akan menyembuhkanmu”, maka Nabi Ayyub menjawab; “Aku telah hidup
selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat, lalu mengapa aku tidak sanggup
bersabar dalam waktu yang sedikit ini bagi Allah dibanding dengan tujuh puluh
tahun itu?” maka istrinya tertegun dengan kata-kata itu, dia membantu
orang-orang untuk mendapat upah dan memberi makan Ayyub ‘alaihis-salam. Namun
kemudian orang-orang tidak mau lagi menggunakan tenaga wanita tersebut untuk
membantu mereka ketika tahu bahwa dia adalah istri Ayyub karena khawatir akan
terkena musibah seperti yang menimpanya atau tertular penyakit seperti yang
mengenainya jika bergaul dengannya. Maka ketika istri Ayyub tidak lagi
mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya maka dia pun pergi ke salah satu
anak pembesar dan menjual salah satu kepangan rambutnya demi mendapatkan
makanan yang baik dan banyak, lalu dia pun membawanya kepada Ayyub, maka Nabi
Ayyub pun bertanya, ‘Dari mana engkau mendapatkan ini?” istrinya enggan untuk
menjawab dan mengatakan, ‘Aku membantu beberapa orang’. Keesokan harinya, Istri
nabi Ayyub kembali tidak mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya hingga
akhirnya dia menjual kembali kepangan rambutnya yang lain demi mendapatkan
makanan dan membawanya kepada Ayyub, ketika Nabi Ayyub bertanya kepadanya dia
tetap mengelak hingga akhirnya nabi Ayyub bersumpah tidak akan memakan makanan
itu kecuali istrinya mau memberitahukan dari mana dia mendapatkannya, maka
istrinya membuka kerudung kepalanya dan terlihatlah cukuran rambutnya, maka
Nabi Ayyub alaihis-salam berdoa {sungguh, aku telah ditimpa penyakit, dan
Engkau Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”} [Al-Anbiya: 83]. [Al-Bidayah
wan-Nihayah].
Beginilah kisah istri Nabi Ayyub,
semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadanya dan kepada seluruh Nabi dan
kepada seluruh Rasul. Dia tetap bersabar dalam menghadapi musibah yang dialami
suaminya dan tetap bertahan, tidak pernah menyerah ketika Rabbnya menguji
suaminya. Maka ingatlah saudariku ukhti fid-dien, akan firman Allah Ta’ala;
{Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas}
[Az-Zumar: 10].
Akankah engkau tetap tegar jika
suatu ketika engkau mendapat kabar bahwa suamimu tertangkap atau engkau akan
segera meminta cerai? Alangkah menyedihkan, sungguh alangkah menyedihkan
orang-orang kami yang tertawan. Betapa banyak manusia di dunia ini yang dihinakan
oleh orang-orang terdekat mereka sebelum orang-orang terjauh, namun penghinaan
dari seorang istri tetaplah yang lebih pahit dan menyakitkan. Wahai muslimah,
wahai istri tawanan, hai orang yang mengaku telah mencerai dunianya sebanyak
tiga kali, bayangkan dia sedang menempati ruangannya yang sempit, penjara gelap
dengan fikiran yang mengembara, sebuah senyum getir tersungging di wajahnya.
Mungkin dia sedang membayangkan dirimu dan anak-anaknya saat itu dan kapankah
cobaan itu akan berakhir sehingga dia dapat kembali berkumpul denganmu.
Kenangan dan harapan yang datang bercampur, tidak terputus kecuali oleh
panggilan sipir, suaranya yang dibenci beradu dengan suara denyitan pintu yang
dibukanya, “Hei Fulan, ada kunjungan bagimu”. Maka dia segera keluar, dengan
napas yang memburu, dia melihatmu dari jauh hingga hatinya yang terluka pun
tersenyum – dengan bayangan engkau berdua tidak sanggup berhijrah ke Daulah
Islamiyyah sehingga berbaiat dari tempat kalian tinggal dan berjihad di
negerimu dan tidak ada hal yang menakutkan untuk mengunjunginya – dia segara
menyambutmu dan mengucapkan salam, lalu membuka kata-katanya dengan bertanya
tentang keadaan dan orang-orang yang dikasihinya, lalu engkau menjawabnya
dengan singkat, keadaanmu gelisah tidak seperti biasanya, suaramu keluar dengan
terbata-bata, dan memang seperti itulah seharusnya… sudah seharusnya engkau
menutup mukamu dan bersembunyi, bahkan sudah seharusnya engkau membayangkan
bahwa bumi di bawah telapak kakimu akan terpecah dan menelanmu sebelum engkau mengucapkan
kata-kata itu, yang mana engkau datang untuk mengatakannya, “Maafkan aku,
tetapi aku ingin bercerai darimu, karena kesabaranku sudah habis…” Ya!
Begitulah dengan singkatnya. Lalu engkau berlalu dan pergi meninggalkan lelaki
yang terduduk di depanmu dengan penuh rasa terkejut dan bingung. Saudari
muslimahku, apakah engkau melihat dinding itu yang memisahkan kalian berdua?
Apakah engkau melihat rantai belenggu yang mengikatnya? Dan berbagai jenis
siksaan yang telah dia rasakan semenjak hari pertama dia tertangkap dan setiap
kepahitan yang dia minum tidak sebanding dengan keputusan angkuhmu! Kami
berlindung kepada Allah dari penindasan manusia!
Aku teringat ketika salah seorang
ukhti datang menemuiku untuk meminta nasihat kepadaku tentang meminta thalaq
dari suaminya yang ditawan karena tekanan keluarganya kepadanya dan kepada
anaknya, akan tetapi setelah beberapa hari aku mendengar bahwa sebenarnya dia
tidak mampu bersabar atas ujian itu sehingga dia meminta cerai dan bahwa
keluarganya tidak ada kaitannya! Dan sebagian orang mungkin berpendapat bahwa
ini adalah haknya apabila dia khawatir terhadap dirinya. Maka aku katakan
kepada mereka, ya ini adalah haknya, akan tetapi antara hak ini dan bersabar
terdapat derajat yang tidak akan diketahui nilainya kecuali oleh mereka yang
memiliki jiwa yang terbuat dari emas murni, yang tidak akan berubah ketika
menghadapi musibah atau keadaan yang sulit.
Berbeda dengan ukhti yang satu
ini, aku mengenal seorang istri asir (tawanan) di mana dia ibarat madrasah kesabaran,
kesetiaan dan keteguhan, tinggi seperti gunung yang menjulang, yang mendidik
anak-anaknya sehingga menjadi singa-singa dan beruang, dia hidup dalam
kenangannya dan setia menunggu pertemuannya. Sepuluh tahun berlalu semenjak dia
di dalam penjara. Ya, genap sepuluh tahun, dan dia tetap tidak goyah, aku
menilainya seperti itu dan hanya Allah yang dapat menilainya. Ketika dia
melihat kami, dia berkata; “Apakah engkau berdoa kepada Allah untuk Abu fulan
semoga dia dibebaskan?” alangkah mulia dia dan pahalanya ada di sisi-Nya.
Saudariku muslimah, ini tentang
siapa yang suaminya ditawan, maka bagaimana dengan yang suaminya terbunuh?
Disebutkan di dalam “Al-Bidayah wan-Nihayah” dari Ismail ibn Muhammad ibn Sa’d
ibn Abi Waqqas bahwa dia berkata; “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
melewati seorang wanita dari Bani Dinar yang mana suaminya, saudaranya dan
ayahnya terbunuh dalam perang Uhud bersama Rasulullah shallahu alaihi wa
sallam, ketika dia diberitahu kabar duka itu dia berkata; “Bagaimana keadaan Rasulullah?”
mereka menjawab, “Beliau dalam keadaan baik, wahai Ummu fulan, beliau dalam
keadaan yang engkau suka untuk melihatnya, alhamdulillah”. Dia berkata;
“Tunjukkanlah beliau kepadaku sehingga aku dapat melihatnya”. Dia berkata;
“Kemudian orang-orang menunjukkan beliau kepadanya, dan ketika wanita itu
melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, “Seluruh musibah asal
tidak menimpamu adalah ringan”. [Al-Bidayah wan Nihayah].
Di sini aku tujukan kata-kataku
kepada para ukhti muhajirah, berapa sering kita mendengar saudari-saudari kita
yang mana suaminya terbunuh, lalu seolah bumi yang luas ini menjadi sesak bagi
mereka hingga mereka kembali berpaling ke darul-kufr, di mana keluarga dan
kerabat mereka berada. Lā haula wa lā quwwata illā billāh! Aku beritahukan
kepada mereka, engkau berdosa jika meninggalkan darul-Islam dan kembali ke
darul-kufr. Siapa pun yang melakukan hijrah hanya demi suaminya, maka
ketahuilah bahwa suaminya pasti akan mati, tanpa diragukan lagi, jika tidak
hari ini maka tentu esok hari. Dan siapa saja yang melakukan hijrah karena
Allah, maka ketahuilah bahwa Allah akan tetap ada, hidup selamanya, dan Dia
tidak akan mati. Karena itu tetap teguhlah, wahai saudariku, semoga Allah
meneguhkan kita, dan tetaplah bertahan di Islamic State dengan segenap
kekuatanmu.
Berbekallah dengan ketaatan dan
ibadah agar menjadi penolongmu di dalam menghadapi musibah dan kesusahan, Allah
berfirman menceritakan tentang Nabi Yunus alaihis-salam; {Maka sekiranya dia
tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia
akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit} [As-Shaffat:
143-144].
Ibnu al-Jauzi berkata; “Jumhur
ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah; “Jika bukan lantaran apa yang dia
lakukan dahulu sebelum ditelan oleh ikan paus dari bertasbih, maka tentulah dia
akan berada di perut ikan itu hingga hari kiamat. Qatadah mengatkan; “Maka
tentulah perut ikan itu menjadi kuburnya hingga hari kiamat, akan tetapi dia
adalah orang yang banyak shalat ketika dalam keadaan mudah, sehingga Allah
menyelamatkannya lantaran hal itu”. [Zadul-Masir].
Maymun ibn Mihran berkata; “Aku
mendengar ad-Dahhak ibn Qays berkata; “Ingatlah Allah di saat lapang maka Allah
akan mengingatmu di saat susah. Sesungguhnya Yunus adalah hamba Allah yang
shalih, mengingat Allah, sehingga ketika dia berada di dalam perut paus, Allah
berfirman; {Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir
(bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu)
sampai Hari Berbangkit} [as-Saaffat: 143-144], sedangkan Firaun adalah hamba
Allah yang melampau batas dan lupa untuk ingat kepada Allah, maka ketika
{Sehingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak
ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang muslim (berserah diri).” “Mengapa baru sekarang (kamu beriman),
padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk
orang yang berbuat kerusakan” [Yunus: 90-91]”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah di dalam Mushannafnya].
Adapun engkau wahai ibunda para
anak singa… apakah yang engkau ketahui tentang induk para singa? Dia adalah
guru bagi generasi dan pencetak para ksatria. Aku beritahukan kepadamu apa yang
telah disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam; “Setiap dari kalian
adalah penggembala (pemimpin), dan setiap orang akan dimintai
pertanggungjawaban dari apa yang dia gembalakan … dan wanita adalah penggembala
di dalam rumahnya dan dia akan bertanggung jawab atas gembalaannya”. Maka
sudahkah engkau memahaminya, Wahai ukthi muslimah, besarnya tanggung jawab yang
engkau emban? Wahai ukhti fid-dien, aku melihat umat kita ini ibarat sebuah
jasad yang terdiri dari banyak bagian, tetapi bagian yang paling penting dan
paling efektif dalam membesarkan generasi adalah bagian ibu yang mendidik.
Karena alasan itulah, engkau membutuhkan banyak kesabaran dan kebaikan dan juga
ilmu bermanfaat yang mencukupi untuk membangun generasi yang sanggup untuk
mengemban amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi dan
gunung-gunung.
Engkau tahu bahwa menuntut ilmu
adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah, dan Allah telah memberkahi
Islamic State, yang tidak kikir terhadap wanita dalam menyediakan lembaga dan
program pendidikan pada seluruh ilmu syari’at. Maka singkirkanlah debu
kemalasan dan menunda-nunda, dan majulah, bebaskan dirimu dari kebodohan dan
pelajarilah urusan agamamu. Dan Daulah kita – semoga Allah memperkuatnya –
tidak menginginkan pujian dan terimakasih dari kita, tidak juga dirham dan
tidak pula Dinar, semoga Allah membalas mereka atas nama kami dan atas nama
kaum Muslimin dengan balasan yang terbaik.
Ukhti muslimah, sesungguhnya
engkau adalah mujahidah, dan apabila senjata kaum laki-laki adalah senapan
serbu dan sabuk peledak, maka ketahuilah bahwa senjata wanita adalah akhlak
mulia dan ilmu. Karena engkau akan memasuki kancah pertempuran antara yang haq
dan yang bathil. Karena itulah, entah ini adalah mereka dengan generasi yang
rusak dalam aqidah dan manhaj – maksudku adalah musuh-musuh dien ini – atau
engkau dan generasi yang melihat kemuliaan ada pada lembaran-lembaran al-Quran
dan moncong senjata. Karena hal inilah, mari jadikan semangatmu adalah semangat
umat, sehingga engkau melihat dari mata seluruh anak-anak singamu seorang ulama
yang berilmu dalam dan seorang penakluk hebat. Bercita-citalah kepada mereka
seperti cita-cita Hindun binti Utbah radhiyallahu anha kepada putranya
Mu’awiyah radhiyallahu anhu; “Ketika Abu Sufyan radhiyallahu anhu melihatnya
sedang merangkak dan dia berkata kepada ibunya, ‘Sesungguhnya anakku ini
memiliki kepala yang besar dan dia pantas untuk menjadi pemimpin kaumnya”. Maka
Hindun berkata; “Hanya kaumnya? Sungguh malangnya aku jika dia tidak memimpin
seluruh bangsa Arab!” [Al-Bidayah wan-Nihayah] maka Hindun pun meraih apa yang
dia cita-citakan. Mu’awiyah menjadi pemimpin seluruh bangsa Arab dengan
syariat. Wahai saudariku, jadikanlah seluruh anak-anakmu sebagaimana tiga anak
Afra’: Mu’adz, Mu’awwadz, dan ‘Auf radhiyallahu anhum.
Dan alangkah agung apa yang
dikatakan oleh Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu anhu, pada hari di mana Ibnu
Umar radhiyallahu anhuma masuk menemuinya ketika putranya; Abdullah ibn Zubair
radhiyallahu anhuma disalib setelah dibunuh oleh Hajjaj, maka dia berkata
padanya; “Sesungguhnya jasad ini bukanlah apa-apa, namun ruh itu berada di sisi
Allah, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Maka Asma’ menjawab; “Apalah
yang menghalangiku untuk bersabar, sedangkan kepala Yahya ibn Zakariya telah
dihadiahkan kepada salah satu pelacur Bani Israil”. [Al-Bidayah wan-Nihayah].
Allahu Akbar. Inilah wanita-wanita umat kita, para generasi Khansa pertama.
Wahai saudariku tercinta,
sesungguhnya termasuk rahmat Allah kepadamu adalah Dia telah memuliakanmu untuk
tinggal di tanah Khilafah. Maka gunakanlah itu sebagai kesempatan untuk
mengajari anak-anakmu semampu yang engkau bisa tentang keshalihan yang dibangun
di atas tauhid yang bersih, aqidah yang benar, kufur kepada thaghut dan
beribadah kepada Allah semata, ajarilah kepada mereka tazkiyatun-nufus,
mengingat Allah, sirah nabawiyah, dan fiqh jihad. Dan jika para pengklaim Islam
di tanah kufur membesarkan anak-anak mereka dengan cerita Cinderella dan Robin
Hood, maka engkau harus menggunakan cerita dalam “Masyari’ al-Asywaq ila
Masari’ al-‘Usysyāq” Ibnu an-Nahhas rahimahullah sebagai cerita untuk anak-anak
singamu sebelum mereka tidur. Dan di sini terdapat lembaga syari’ah, kamp
pelatihan, dan bahkan taman kanak-kanak. Semua di Daulah kita, yang diberikan
oleh mereka – semoga Allah mendukungnya – berada di atas metodologi kenabian,
insya Allah, dan segala pujian hanya milik Allah.
Kemudian nasihatku kepadamu wahai
saudariku, yang sedang mempersiapkan anak-anak singa khilafah, bekalilah mereka
dengan ilmu lalu kemudian dengan senjata, karena senjata tanpa ilmu merupakan
bahaya yang sangat besar dan jika itu terjadi maka sedikit sekali kebaikan
dapat diperoleh. Jadilah engkau wahai saudariku yang mulia seperti Ibunda Ummu
Sufyan Ats-Tsauri, seorang imam ahli hadits, faqih, hafizh, zahid, ‘abid dan
wara’, di mana ibunya; Ummu Habibah, suatu ketika berkata kepadanya; “Wahai
anakku, tuntutlah ilmu maka aku akan mencukupimu dengan alat pemintal ini.”
Lihatlah kepadanya, semoga Allah merahmatinya dan mengumpulkan kita bersamanya
di surga Rabb kita. Apa yang dia minta dari putranya tidak lebih agar dia
menuntu ilmu syar’i dan menguasainya, dan sang ibu akan berusaha memenuhi
kebutuhan putranya dan nafkahnya lewat tenunannya. Semoga Allah memberkahi
dirinya dan putranya, yang mana Abu Ishaq As-Sabi’i suatu ketika melihat Imam
Sufyan Ats-Tsauri yang sedang berjalan, Abu Ishaq membaca, {Dan Kami berikan
hikmah kepadanya selagi dia masih kanak-kanak} [Maryam: 12].
Sebagai penutup, aku ingatkan
diriku sendiri dan juga kalian, wahai saudariku yang mulia, untuk senantiasa
memperbaiki niat dan menghadirkannya di dalam seluruh amalan kita, karena siapa
yang amalnya karena Allah maka dia telah sukses dan menang, dan siapa yang
amalnya untuk selain Allah maka dia telah kalah dan merugi, dan akhir dari doa
kami adalah “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. Semoga shalawat dan
salam atas pemimpin kita, Muhammad, dan juga atas keluarga dan shahabat
seluruhnya.
No comments:
Post a Comment