Pendahuluan
Secara natural, manusia cenderung
untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka
mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi
mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang
harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis,
manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah
tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk
sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan
melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.
Masalah kenegaraan dalam
kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam
merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa
tokoh yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran
dinamis, di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai
tentang pemikiran politik beliau.
B. Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Taqi
ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat
yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran
Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal
tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan
seorang yang alim.[2]
Sejak kecil beliau termasuk anak
yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat,
mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta
merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan
mengikuti jejak orang tuanya sebagai
fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo.[3]
Potensi dan bakat serta usahanya
yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai
banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif. Di antara beberapa
tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’ Bain
an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’
Syaithan, al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim
Rasulillah saw, Majmu’ ar -Rasa’il, Nazariyyah al-Aqd, dan sebagainya.[4]
Saat ayahnya meninggal pada tahun
682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya
pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai
direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H
merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya.
Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi
pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh
ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran.[5]
Pada akhir hidupnya, beliau
dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk
menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat
bagi dirinya.
Beliau meninggal dunia pada usia
65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26September 1328 M. Beliu
merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
C. Pemikiran Politik Ibn
Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik
kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang
berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik
kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya sebagai
berikut:
1. Bentuk Kenegaraan
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa
Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata
seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat
Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar
untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn
Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan
kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan
sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya
sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin
negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan masih berkuasa. Kepemimpinan
Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para pendukungnya atau oleh seorang
yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan
karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt
mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad
saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit
orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6] Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw
seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah
memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa
diikuti apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyadari
bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas
masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti
disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk
sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada,
baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial,
menjadi hakim, memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu
Taimiyyah hal tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari
unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari
fungsi kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut:
bahwa apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga
menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika
itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu
pendukung-pendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah
dan memerangi lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman
kepada Allah swt., maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan
pendukungnya yang akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh
karena itu, nabi tidak memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai
tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena
semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan adanya penolong-penolong
tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]
Dengan penegasan tersebut, maka
bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai
negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan
pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:
(kepemimpinan setelah nabi)
khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa
saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga mengemukakan
hadis berikut: “akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat,
setelah itu datang kerajaan yang membawa
rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan
kelaliman”.[9]
Sesuai dengan hadis tersebut,
maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada
dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun
dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilfah
sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang datang kemudian.
Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik melalu
pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan
pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu,
maka jadilah ia khalifah.[10]
Ibnu Taimiyyah membagi khilafah
dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu
berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum berlaku
bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka.
Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah
mendasarkan hal tersebut atas hadis berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30
tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]
Setelah memaparkan tentang tiga
bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak menentukan nama di
antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik
Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan
bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi
dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku .
2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah,
setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah
bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah
menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama
keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa
negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu
adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun
sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan
Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun
berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan
syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama
dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama
Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib
ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-
Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin
dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan
petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan
pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad,
pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara
ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah
memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan
dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau
minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang
terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya.
Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka
peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan
yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya
rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada
mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang
yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk
kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan
syari’at, negara diatur oleh para penguasan untuk kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan.
3. Keadilan.
Keadilan pada hakekatnya dimiliki
oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri
negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah
berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan
benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah
negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan
membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan
merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan
berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya
dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan
informasi dari Alquran, antara lain pada surat
al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang
memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan
keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan
sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu
Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum
syari’ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan
syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa
hukum-hukum yang penuh keadilan.[17]
Dalam suatu negara, kekuatan itu
dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang
yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan
mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya,
maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan
bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiyan munkar.
Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam
bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat
dikembangkan menjadi jihad.
Untuk menegakkan keadilan
tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk
menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap
orang yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin
bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai
dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya
sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang
memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt.
Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat
tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu
tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan
keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui
cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan
untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi.
Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada
kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan
sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama
seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih
dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara
reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah
memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya
menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika
tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi.
4. Pengambilan Keputusan.
Dalam pemilihan seorang pemimpin,
konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat
yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh).
Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di
dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati
dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus
dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya
dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan
tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di
tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan
kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah
dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl
syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi
rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam
setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan.
Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan
mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik.
Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan
secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu
harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan.
Para pemimpin negara, dalam menjalankan
tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam
menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila
kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar
untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu
dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin
negara, selain menerima pendapat dari para ulama,
harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas
dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup
memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara
bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan
dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah.
Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang
diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada
waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidakmampuan
peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat
orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di
atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan
kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi
negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan
Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa
bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas,
maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan
pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya:
- Sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: Negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan.
- Tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik.
- Sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
- Sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.
No comments:
Post a Comment