Oleh: Wahidatun Hasanah (
09260139)
Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada
zaman klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada
ketentuan-ketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada
tahun 661 H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat
merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut
agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menggunakan
pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia akan tercipta dalam
satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan peran dari ketergantunganya pada
orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kemaslahatan
umat dan melaksanakan syari’at Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan
pemimpin. Orang yang pantas menjabat sebagai pemimpin adalah yang memiliki
kekuatan(quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).
Syarat kekuatan dan wibawa
memegang peranan yang sangat penting dalam konsepsi politik, karena seorang
kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Selain itu kepala
negara mempunyai tanggung jawab dan tugas yang tinggi dimana mereka harus
menegakkan segala hal yang dikehendaki Allah dalam menegakkan
institusi-institiusi amr ma’ruf nahi munkar,sehingga tercipta kehidupan
masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa dilihat dengan ketakwaannya kepada
Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan hal-hal nepotisme,yang mementingkan
kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis.
Ibn Taimiyah juga berpendapat
tanpa adanya kejujuran dan kekuatan maka seorang kepala negara tidak akan
efektif menjalankan pemerintahannya. Karenanya, kepala negara juga harus
mengangkat pembantu-pembantunya dari orang -orang yang mengerti dan menguasai
bidangnya, bukan berdasarkan pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]
Meskipun Ibn Taimiyah
mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara, namun hal itu tidaklah mutlak,
dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak bisa diperoleh, maka harus
diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan. Tetapi kaumnya harus terus
berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat menjalankan ajaran agamanya.
Ibn Taimiyah juga memberikan
konsepsi al-syawkah dalam teori politiknya, sedangkan ahl al-masyawkah yaitu
orang-orang yang berasal dari kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati
oleh masyarakat yang memilih kepaal negara dan melakukan sumpah setia, jadi
seorang tidak bisa menjadi kepla negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]
Ibnu taimiyyah menekankan fungsi
negara dalam membantu agama, dia menolak dan tidak membenarkan khalifah-khalifah
bani abbas yang menurutnya hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Karena
itu Taimyyah lebih sering menggunakan kata “imarah” dalam konteks kenegaraan.
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Ketika kita berbicara tentang
abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa tokoh penting yang sangat
berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang dilahirkan
di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah seorang aktivis dengan
gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi umat islam disaat
zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Dimana pada
saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, yang menyebabkan
kemunduran dalam dunia Islam
Jamaluddin menyadarkan umat islam
untuk bangkit dan bersatu menciptakan kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut
Jamaluddin dunia islam dalam penyakit absolutisme dan despotisme penguasa,
serta kolonialisme dan imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu
berhadapan dengan bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi
dan perombakan pemerintahan.dia juga
mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah yang memuat kebangkitan
umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta
meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai
propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar
meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul Wathan) dan mengembangkan al-Mishr
li al-Mishriyyin.Beliau adalah musuh penguasa islam yang dzalim, otoriter dan
korup.
Pemikiran Politik
Ketika melihat kenyataan bahwa
dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang absolut, diamna mereka menjalankan
kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi maka jamaluddin melakukan usaha yang
menekankan pada revolusi yang didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha
memprovokasi umat islam, untuk merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun
dengan cara pemberontakan dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan
pembentukan pemerintahan rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan
keinginan rakyat. Dia menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak
jauh berbeda dengan tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa
lepas dari cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk
pemerintahan yang sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang
aktif yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat.
Untuk melawan kekuatan asing dan
membangkitkan semangat kesatuan umat islam maka Jamaluddin membentuk sebuah
gerakan Pan Islamisme yang berarti bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu
pemerintahan tunggal. Karena umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan.
Dia juga tidak mau melakukan kerja sama dengan penjajah. Iqbal,DR. Muhammad,
Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta .
2010 hal 41 Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta . 2010 hal 35
Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup
pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat Islam mengalami
kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit taqlid dan jumud
karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah
dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang
oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad . Pada kondisi
inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke
internal, yaitu memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat
dan ke eksternal, yaitu berjihad melawan
tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang dgn
pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan
ijtihad pribadi yg beliau sendiri
melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn
menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian
banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.
Kalaulah dikatakan, seperti
dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah Islam itu
dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para
pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan
Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al Mawardi;
disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada pendapat yg
memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang setuju dgn
itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah merangkum 2
pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis; fiqh itu
distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg
menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg memang
utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to realita", yaitu
pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg menggunakan
pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita", yaitu
kondisi realis dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut
penulis, Ibnu Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang
ulama sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek.
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah
tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan Minhaj as Sunnah.
Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun pengamalan.
Pertama, tentang amanah. Di dalam
Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu
kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi, kepemimpinan itu adalah satu dari
kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa tegak tanpa
kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama
dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi
lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk
memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg
dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan
untuk kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika
harta benda malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg
didapat. Ia akan dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor
serigala lapar yg dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih
berbahaya dari orang yg loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat
kehormatan bagi agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh
Tirmidzi). Tentang kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan
sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan
amanah sekaligus. Jika tidak terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai
kebutuhan : quwwah atau amanah? Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik,
tapi kuat dalam arti profesional dan kompeten dalam leadership.
Kedua, tentang musyawarah. Di
dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah sebuah
kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya.
Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu
permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas
untuk mengaturnya. Dengan musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga.
Umat Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yang
dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau :
"Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu
syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dan seterusnya." Artinya, dengan
1 orang, suatu hasil keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih
dari 3 orang yang bermusyawarah, maka keputusan yang diambil akan jauh lebih
aman dari intervensi syaithan. Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara
mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau tidak dikatakan sangat menentukan.
Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu representatif, karena tidak
mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja. Tentunya
perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yang ada pada
masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan
sebagai dewan parlemen yang terdiri dari
para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah
satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil
definisi yang pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah
mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya
terbatas kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau
menegaskan seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat.
Beliau memperkenalkan lembaga Ahlusy Syaukah, yang terdiri dari ulama dan
orang-orang yang memegang otoritas di masyarakat.
Ketiga, tentang 4 golongan
manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1) Manusia yg
ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg ingin
berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3)
Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg
ingin tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak
ingin kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga.
Keempat, tentang 2 jalan yg
buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang 2
jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan, jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan
kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan
jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat
(dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan
pertama adalah jalan orang Nasrani dan
jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan
ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik.
Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan
politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak
kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus"; kerajaan itu
representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan Yahudi berhasil
membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur
Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi pemerintahannya tidak mementingkan agama.
Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.
Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan
ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim), yaitu jalan
Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan
yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama
dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.
No comments:
Post a Comment