Ibnu Taimiyah (wafat 1328) adalah
seorang tokoh Islam yang peninggalan pemikirannya dianggap paling banyak
mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di abad modern, melalui karya tulisnya
yang berjumlah sekitar lima ratus judul. Prinsipnya yang paling terkenal adalah
”pendapat akal sesuai dengan wahyu” atau muwafaqat sharih al-ma’qul li sharih
al-manqul. Dengan kata lain, semua aktifitas manusia yang sesuai dengan
kerja-kerja akal itu akan sesuai dengan tatanan wahyu.
Bila akal tak lagi sejalan dengan
wahyu, maka ada yang salah pada akal, atau kerja akal dipandang belum maksimal.
Demikian pula dengan aktifitas di lapangan politik, para politisi berakal
adalah politisi yang tidak menyalahi wahyu. Dan bila menyalahi wahyu, dalam
arti melanggar hukum yang terdapat dalam nash-nash yang sahih, maka politisi
itu tidak lagi memiliki sandaran keilmuan yang memadai, karena tidak berakal.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
para politisi yang korup adalah yang paling tidak bermoral, dan karenanya tidak
ada kewajiban untuk mematuhi mereka. Ia berpandangan untuk menghapus institusi
khilafah dan mengusulkan usaha-usaha bagi kemungkinan memenuhi petunjuk
syariat.
Ia tidak pernah menganggap
khilafah sebagai sebuah institusi yang harus ditegakkan di dalam Islam dan oleh
karena itu ia jarang menyebut-nyebutnya di dalam pembahasan-pembahasan. Ia
tidak mau menyebut rezim Nabi Muhammad sebagai imamah tetapi ia berkeras
menyebutnya dengan nubuwwah dan ia menyatakan bahwa masalah imamah hanya timbul
setelah Nabi wafat.
Tentu, pandangan ini sangat
kontroversial jika dibandingkan dengan pandangan al-Ghazali, di mana ia
memposisikan Khalifah al-Rasyidin sebagai parameter dalam peraktik
penyelenggaraan negara dan kekuasaan dalam Islam.
Tetapi, jika dicoba untuk
dipahami, hal yang paling mendasar ketika melihat kekhalifahan, dalam pemikiran
politik Ibnu Taimiyah, adalah pentingnya keberadaan negara yang tidak terbatas
pada bentuk kekhalifahan, imamah atau yang lainnya. Kekhalifahan dan imamah
adalah sebagai sebuah bentuk saja yang tidak harus mengikat. Bagi Ibnu Taimiyah
yang terpenting adalah fungsi organisme negara di mana ia menganalogkannya
dengan jiwa.
Maksudnya, perilaku negara dapat
diibaratkan perilaku sebuah organisme manusia. Dengan pandangannya ini, Ibnu
Taimiyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem
kekhalifahan.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah dalam
hal menempatkan hubungan antara agama dan negara, ia menempatkan negara sebagai
pelaksana dalam merealisasikan kewajiban agama. Ibnu Taimiyah lebih menekankan
kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syari’at
Islam.
Menurutnya, kesejahteraan umat
manusia tidak dapat diwujudkan secara sempurna, kecuali dengan bermasyarakat.
Untuk mengaturnya tidak bisa tidak memerlukan pemimpin. Karena mendirikan
negara itu merupakan kewajiban agama, maka rakyat harus mentaatinya. Bila
tidak, maka tujuan mulia itu tidak akan tercapai. Menurut Ibnu Taimiyah,
menegakkan pemerintahan adalah perintah agama itu sendiri.
Dengan demikian, bagi Ibnu
Taimiyah, menegakkan pemerintahan lebih karena ajaran agama dan dimaksudkan
untuk mengabdi kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. Negara dan
kekuasaan bukan alat untuk mencari kedudukan atau materi. Bila tidak demikian,
maka menurut Ibnu Taimiyah akan rusak dan hancur semua tatanan pemerintahan.
Letak urgensitas negara
berbeda-beda bagi para pemikir politik Islam. Bagi Ibnu Khaldun, kalau tidak
ada negara (dawlat) dan kekuasaan (mulk) maka tidak mungkin ada peradaban.
Suatu negara tanpa peradaban, sulit dibayangkan bagaimana bentuknya, dan
perdaban tanpa negara dan kekuasaan adalah tidak mungkin.
Perbedaan penerapan konsep
politik antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara sosio-kultural, terjadi
karena latar-belakang umat Islam yang berbeda pada masa keduanya. Pada masa
al-Ghazali (wafat 1111), bisa diasumsikan, hegemoni umat Islam relatif masih
kuat, sekalipun secara politis sudah mulai terpragmentatif akibat sistem
kenegaraan dan kekuasaan yang korup dan adanya persaingan dan konflik
kepentingan yang tidak sehat.
Sedangkan ketika Ibnu Taimiyah
hidup, umat Islam sudah tercabik-cabik. Bahkan kekuasaan politik Islam sudah
hancur-lebur, karena diluluhlantakkan oleh kekuatan bangsa Mongol. Dalam
kondisi seperti inilah pemikiran politik Ibnu Taimiyah terbentuk.
Ibnu Taimiyah, dalam situasi
politik seperti itu, tampaknya seolah membiarkan adanya pejabat yang berlaku
zalim. Ungkapan terkenal yang pernah disampaikannya adalah, “enam puluh tahun
di bawah seorang pemimpin yang zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam
tanpa kepemimipinan”. Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu
Taimiyah menganggap betapa pentingnya keberadaan lembaga pemerintahan.
Bagi Ibnu Taimiyah, seandainya
dibedakan antara seorang pemimpin dan syarat-syarat yang harus dimilikinya,
maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah yang paling utama. Apalagi bila
kekosongan lembaga pemerintahan tersebut diambil-alih oleh bangsa dari luar
yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at. Karenanya, lebih baik hidup di bawah
kepemimpinan seorang yang zalim ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali
Bersambung
No comments:
Post a Comment