NASIHAT LUKMAN HAKIM: "WAHAI ANAKKU, TIADA AMALAN SOLEH TANPA KEYAKINAN DENGAN ALLAH TAALA. SESIAPA YANG MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG LEMAH MAKA AMALANNYA JUGA MENJADI CACAT."

Blogger Widgets Blogspot Tutorial

Saturday, 20 June 2015

PEMIKIRAN POLITIK IBNU TAIMIYAH



Oleh: Wahidatun Hasanah 


Ibnu Taimiyah (wafat 1328) adalah seorang tokoh Islam yang peninggalan pemikirannya dianggap paling banyak mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di abad modern, melalui karya tulisnya yang berjumlah sekitar lima ratus judul. Prinsipnya yang paling terkenal adalah ”pendapat akal sesuai dengan wahyu” atau muwafaqat sharih al-ma’qul li sharih al-manqul. Dengan kata lain, semua aktifitas manusia yang sesuai dengan kerja-kerja akal itu akan sesuai dengan tatanan wahyu.

Bila akal tak lagi sejalan dengan wahyu, maka ada yang salah pada akal, atau kerja akal dipandang belum maksimal. Demikian pula dengan aktifitas di lapangan politik, para politisi berakal adalah politisi yang tidak menyalahi wahyu. Dan bila menyalahi wahyu, dalam arti melanggar hukum yang terdapat dalam nash-nash yang sahih, maka politisi itu tidak lagi memiliki sandaran keilmuan yang memadai, karena tidak berakal.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa para politisi yang korup adalah yang paling tidak bermoral, dan karenanya tidak ada kewajiban untuk mematuhi mereka. Ia berpandangan untuk menghapus institusi khilafah dan mengusulkan usaha-usaha bagi kemungkinan memenuhi petunjuk syariat.

Ia tidak pernah menganggap khilafah sebagai sebuah institusi yang harus ditegakkan di dalam Islam dan oleh karena itu ia jarang menyebut-nyebutnya di dalam pembahasan-pembahasan. Ia tidak mau menyebut rezim Nabi Muhammad sebagai imamah tetapi ia berkeras menyebutnya dengan nubuwwah dan ia menyatakan bahwa masalah imamah hanya timbul setelah Nabi wafat.

Tentu, pandangan ini sangat kontroversial jika dibandingkan dengan pandangan al-Ghazali, di mana ia memposisikan Khalifah al-Rasyidin sebagai parameter dalam peraktik penyelenggaraan negara dan kekuasaan dalam Islam.

Tetapi, jika dicoba untuk dipahami, hal yang paling mendasar ketika melihat kekhalifahan, dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah, adalah pentingnya keberadaan negara yang tidak terbatas pada bentuk kekhalifahan, imamah atau yang lainnya. Kekhalifahan dan imamah adalah sebagai sebuah bentuk saja yang tidak harus mengikat. Bagi Ibnu Taimiyah yang terpenting adalah fungsi organisme negara di mana ia menganalogkannya dengan jiwa.

Maksudnya, perilaku negara dapat diibaratkan perilaku sebuah organisme manusia. Dengan pandangannya ini, Ibnu Taimiyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah dalam hal menempatkan hubungan antara agama dan negara, ia menempatkan negara sebagai pelaksana dalam merealisasikan kewajiban agama. Ibnu Taimiyah lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syari’at Islam.

Menurutnya, kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan secara sempurna, kecuali dengan bermasyarakat. Untuk mengaturnya tidak bisa tidak memerlukan pemimpin. Karena mendirikan negara itu merupakan kewajiban agama, maka rakyat harus mentaatinya. Bila tidak, maka tujuan mulia itu tidak akan tercapai. Menurut Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan adalah perintah agama itu sendiri.

Dengan demikian, bagi Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan lebih karena ajaran agama dan dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. Negara dan kekuasaan bukan alat untuk mencari kedudukan atau materi. Bila tidak demikian, maka menurut Ibnu Taimiyah akan rusak dan hancur semua tatanan pemerintahan.

Letak urgensitas negara berbeda-beda bagi para pemikir politik Islam. Bagi Ibnu Khaldun, kalau tidak ada negara (dawlat) dan kekuasaan (mulk) maka tidak mungkin ada peradaban. Suatu negara tanpa peradaban, sulit dibayangkan bagaimana bentuknya, dan perdaban tanpa negara dan kekuasaan adalah tidak mungkin.

Perbedaan penerapan konsep politik antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara sosio-kultural, terjadi karena latar-belakang umat Islam yang berbeda pada masa keduanya. Pada masa al-Ghazali (wafat 1111), bisa diasumsikan, hegemoni umat Islam relatif masih kuat, sekalipun secara politis sudah mulai terpragmentatif akibat sistem kenegaraan dan kekuasaan yang korup dan adanya persaingan dan konflik kepentingan yang tidak sehat.

Sedangkan ketika Ibnu Taimiyah hidup, umat Islam sudah tercabik-cabik. Bahkan kekuasaan politik Islam sudah hancur-lebur, karena diluluhlantakkan oleh kekuatan bangsa Mongol. Dalam kondisi seperti inilah pemikiran politik Ibnu Taimiyah terbentuk.

Ibnu Taimiyah, dalam situasi politik seperti itu, tampaknya seolah membiarkan adanya pejabat yang berlaku zalim. Ungkapan terkenal yang pernah disampaikannya adalah, “enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam tanpa kepemimipinan”. Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu Taimiyah menganggap betapa pentingnya keberadaan lembaga pemerintahan.

Bagi Ibnu Taimiyah, seandainya dibedakan antara seorang pemimpin dan syarat-syarat yang harus dimilikinya, maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah yang paling utama. Apalagi bila kekosongan lembaga pemerintahan tersebut diambil-alih oleh bangsa dari luar yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at. Karenanya, lebih baik hidup di bawah kepemimpinan seorang yang zalim ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali


Pemikiran Politik Islam Strategis Ibnu Taimiyah


Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada zaman klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada ketentuan-ketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada tahun 661 H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia akan tercipta dalam satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan peran dari ketergantunganya pada orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kemaslahatan umat dan melaksanakan syari’at Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan pemimpin. Orang yang pantas menjabat sebagai pemimpin adalah yang memiliki kekuatan(quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).

Syarat kekuatan dan wibawa memegang peranan yang sangat penting dalam konsepsi politik, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Selain itu kepala negara mempunyai tanggung jawab dan tugas yang tinggi dimana mereka harus menegakkan segala hal yang dikehendaki Allah dalam menegakkan institusi-institiusi amr ma’ruf nahi munkar,sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa dilihat dengan ketakwaannya kepada Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan hal-hal nepotisme,yang mementingkan kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis.

Ibn Taimiyah juga berpendapat tanpa adanya kejujuran dan kekuatan maka seorang kepala negara tidak akan efektif menjalankan pemerintahannya. Karenanya, kepala negara juga harus mengangkat pembantu-pembantunya dari orang -orang yang mengerti dan menguasai bidangnya, bukan berdasarkan pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]

Meskipun Ibn Taimiyah mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara, namun hal itu tidaklah mutlak, dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak bisa diperoleh, maka harus diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan. Tetapi kaumnya harus terus berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat menjalankan ajaran agamanya.

Ibn Taimiyah juga memberikan konsepsi al-syawkah dalam teori politiknya, sedangkan ahl al-masyawkah yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat yang memilih kepaal negara dan melakukan sumpah setia, jadi seorang tidak bisa menjadi kepla negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]

Ibnu taimiyyah menekankan fungsi negara dalam membantu agama, dia menolak dan tidak membenarkan khalifah-khalifah bani abbas yang menurutnya hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Karena itu Taimyyah lebih sering menggunakan kata “imarah” dalam konteks kenegaraan.

Ada dua argumentasi yang diberikan taimiyah, yang pertama yaitu bahwa agama islam menghendaki sebuah tatanan social yang terorganisir sehingga agama dapat berfungsi sebagi semestinya dan kembali pada konteks awalnya.Yang kedua yaitu kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan kecuali didalam suatau tata social dimana setiap orang bergantung pada yang lainnya.


SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Ketika kita berbicara tentang abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa tokoh penting yang sangat berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang dilahirkan di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah seorang aktivis dengan gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi umat islam disaat zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Dimana pada saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam


Jamaluddin menyadarkan umat islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut Jamaluddin dunia islam dalam penyakit absolutisme dan despotisme penguasa, serta kolonialisme dan imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu berhadapan dengan bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi dan perombakan pemerintahan.dia  juga mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah yang memuat kebangkitan umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul Wathan) dan mengembangkan al-Mishr li al-Mishriyyin.Beliau adalah musuh penguasa islam yang dzalim, otoriter dan korup.


Pemikiran Politik

Ketika melihat kenyataan bahwa dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang absolut, diamna mereka menjalankan kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi maka jamaluddin melakukan usaha yang menekankan pada revolusi yang didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha memprovokasi umat islam, untuk merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun dengan cara pemberontakan dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan pembentukan pemerintahan rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan keinginan rakyat. Dia menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak jauh berbeda dengan tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa lepas dari cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk pemerintahan yang sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang aktif yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat.

Untuk melawan kekuatan asing dan membangkitkan semangat kesatuan umat islam maka Jamaluddin membentuk sebuah gerakan Pan Islamisme yang berarti bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu pemerintahan tunggal. Karena umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan. Dia juga tidak mau melakukan kerja sama dengan penjajah. Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 41 Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta. 2010 hal 35

Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat Islam mengalami kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit taqlid dan jumud karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad. Pada kondisi inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke internal, yaitu memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat dan ke eksternal, yaitu  berjihad melawan tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang dgn pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan ijtihad  pribadi yg beliau sendiri melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan  pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.

Kalaulah dikatakan, seperti dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah Islam itu dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al Mawardi; disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis; fiqh itu distopia-realis. Para pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg memang utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to realita", yaitu pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg menggunakan pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita", yaitu kondisi realis dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah, menurut penulis, Ibnu Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau seorang ulama sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek.

Pemikiran politik Ibnu Taimiyah tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan Minhaj as Sunnah. Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun  pengamalan.

Pertama, tentang amanah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan  bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi, kepemimpinan itu adalah satu dari kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa tegak tanpa kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan  pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta benda malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat. Ia akan dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala lapar yg dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari orang yg loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat kehormatan bagi agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh Tirmidzi). Tentang kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, menurut Ibnu Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah sekaligus. Jika tidak terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau amanah? Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti profesional dan kompeten dalam leadership.

Kedua, tentang musyawarah. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah sebuah kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya. Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas untuk mengaturnya. Dengan musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga. Umat Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yang dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau : "Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dan seterusnya." Artinya, dengan 1 orang, suatu hasil keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih dari 3 orang yang bermusyawarah, maka keputusan yang diambil akan jauh lebih aman dari intervensi syaithan. Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau tidak dikatakan sangat menentukan. Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu representatif, karena tidak mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja. Tentunya perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yang ada pada masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan sebagai dewan  parlemen yang terdiri dari para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil definisi yang pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya terbatas kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau menegaskan seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat. Beliau memperkenalkan lembaga Ahlusy Syaukah, yang terdiri dari ulama dan orang-orang yang memegang otoritas di masyarakat.

Ketiga, tentang 4 golongan manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1) Manusia yg ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg ingin berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3) Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg ingin tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak ingin kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga.

Keempat, tentang 2 jalan yg buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang 2 jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan,  jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan  jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat (dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan pertama adalah jalan orang Nasrani dan  jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik. Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus"; kerajaan itu representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan Yahudi berhasil membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi  pemerintahannya tidak mementingkan agama. Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.

Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim), yaitu jalan Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.


Pendahuluan

Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.

Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai tentang pemikiran politik beliau.


B. Biografi Ibnu Taimiyyah

Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin  Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang yang alim.[2]

Sejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti  jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo.[3]

Potensi dan bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif. Di antara beberapa tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’ Bain an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’ Syaithan, al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim Rasulillah saw, Majmu’ ar -Rasa’il, Nazariyyah al-Aqd, dan sebagainya.[4]

Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir  Alquran.[5]

Pada akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat bagi dirinya.

Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26September 1328 M. Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.


C. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah

Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya sebagai berikut:


1.      Bentuk Kenegaraan

Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan masih berkuasa. Kepemimpinan Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para pendukungnya atau oleh seorang yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam  Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6]  Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa diikuti apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.

Ibnu Taimiyyah juga menyadari bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada, baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial, menjadi hakim, memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyyah hal tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari fungsi kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut: bahwa apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu pendukung-pendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah dan memerangi lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman kepada Allah swt., maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan pendukungnya yang akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh karena itu, nabi tidak memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan adanya penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]

Dengan penegasan tersebut, maka bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:

(kepemimpinan setelah nabi) khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga mengemukakan hadis berikut: “akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang membawa rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan kelaliman”.[9]

Sesuai dengan hadis tersebut, maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.

Ibnu Taimiyyah memahami khilfah sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang datang kemudian. Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik melalu pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu, maka  jadilah ia khalifah.[10]

Ibnu Taimiyyah membagi khilafah dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum berlaku bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka. Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah mendasarkan hal tersebut atas hadis berikut:

“khilafah itu berlaku selama 30 tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]

Setelah memaparkan tentang tiga bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak menentukan nama di antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku.


2. Tujuan bernegara

Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama  Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]

Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.

Untuk melaksanakan dan menegakkan syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-
Nisa’ ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada  Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya. Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.

Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan syari’at, negara diatur oleh parapenguasan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.


3. Keadilan.

Keadilan pada hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan informasi dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.

Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang penuh keadilan.[17]

Dalam suatu negara, kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiyan munkar. Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat dikembangkan menjadi jihad.

Untuk menegakkan keadilan tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt. Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan keadilan.


Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui  jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi.


4. Pengambilan Keputusan.

Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidakmampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.


D. Penutup

Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya:

  1. Sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: Negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan.
  2. Tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik.
  3. Sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
  4. Sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.






No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Nasihat Lukman Al-Hakim: “Anakku, apabila sesiapa datang kepada kamu dengan aduan bahawa si anu telah mencabut kedua-dua biji matanya dan kamu lihat dengan mata kepala sendiri bahawa kedua-dua biji matanya tercabut, namun janganlah kamu sampai kepada sesuatu kesimpulan sebelum kamu mendengar pihak yang lain. Tidak mustahil orang membuat aduan itulah yang mula-mula mencabut mata orang lain, boleh jadi sebelum kehilangan kedua-dua biji matanya dia telah mencabutkan empat biji mata orang lain.”