Oleh: Wahidatun Hasanah
Ibnu Taimiyah (wafat 1328) adalah
seorang tokoh Islam yang peninggalan pemikirannya dianggap paling banyak
mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di abad modern, melalui karya tulisnya
yang berjumlah sekitar lima ratus judul. Prinsipnya yang paling terkenal adalah
”pendapat akal sesuai dengan wahyu” atau muwafaqat sharih al-ma’qul li sharih
al-manqul. Dengan kata lain, semua aktifitas manusia yang sesuai dengan
kerja-kerja akal itu akan sesuai dengan tatanan wahyu.
Bila akal tak lagi sejalan dengan
wahyu, maka ada yang salah pada akal, atau kerja akal dipandang belum maksimal.
Demikian pula dengan aktifitas di lapangan politik, para politisi berakal
adalah politisi yang tidak menyalahi wahyu. Dan bila menyalahi wahyu, dalam
arti melanggar hukum yang terdapat dalam nash-nash yang sahih, maka politisi
itu tidak lagi memiliki sandaran keilmuan yang memadai, karena tidak berakal.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
para politisi yang korup adalah yang paling tidak bermoral, dan karenanya tidak
ada kewajiban untuk mematuhi mereka. Ia berpandangan untuk menghapus institusi
khilafah dan mengusulkan usaha-usaha bagi kemungkinan memenuhi petunjuk
syariat.
Ia tidak pernah menganggap khilafah
sebagai sebuah institusi yang harus ditegakkan di dalam Islam dan oleh karena
itu ia jarang menyebut-nyebutnya di dalam pembahasan-pembahasan. Ia tidak mau
menyebut rezim Nabi Muhammad sebagai imamah tetapi ia berkeras menyebutnya
dengan nubuwwah dan ia menyatakan bahwa masalah imamah hanya timbul setelah
Nabi wafat.
Tentu, pandangan ini sangat
kontroversial jika dibandingkan dengan pandangan al-Ghazali, di mana ia
memposisikan Khalifah al-Rasyidin sebagai parameter dalam peraktik
penyelenggaraan negara dan kekuasaan dalam Islam.
Tetapi, jika dicoba untuk
dipahami, hal yang paling mendasar ketika melihat kekhalifahan, dalam pemikiran
politik Ibnu Taimiyah, adalah pentingnya keberadaan negara yang tidak terbatas
pada bentuk kekhalifahan, imamah atau yang lainnya. Kekhalifahan dan imamah
adalah sebagai sebuah bentuk saja yang tidak harus mengikat. Bagi Ibnu Taimiyah
yang terpenting adalah fungsi organisme negara di mana ia menganalogkannya
dengan jiwa.
Maksudnya, perilaku negara dapat
diibaratkan perilaku sebuah organisme manusia. Dengan pandangannya ini, Ibnu
Taimiyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem
kekhalifahan.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah dalam
hal menempatkan hubungan antara agama dan negara, ia menempatkan negara sebagai
pelaksana dalam merealisasikan kewajiban agama. Ibnu Taimiyah lebih menekankan
kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syari’at
Islam.
Menurutnya, kesejahteraan umat
manusia tidak dapat diwujudkan secara sempurna, kecuali dengan bermasyarakat.
Untuk mengaturnya tidak bisa tidak memerlukan pemimpin. Karena mendirikan
negara itu merupakan kewajiban agama, maka rakyat harus mentaatinya. Bila
tidak, maka tujuan mulia itu tidak akan tercapai. Menurut Ibnu Taimiyah, menegakkan
pemerintahan adalah perintah agama itu sendiri.
Dengan demikian, bagi Ibnu
Taimiyah, menegakkan pemerintahan lebih karena ajaran agama dan dimaksudkan
untuk mengabdi kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya. Negara dan
kekuasaan bukan alat untuk mencari kedudukan atau materi. Bila tidak demikian,
maka menurut Ibnu Taimiyah akan rusak dan hancur semua tatanan pemerintahan.
Letak urgensitas negara
berbeda-beda bagi para pemikir politik Islam. Bagi Ibnu Khaldun, kalau tidak
ada negara (dawlat) dan kekuasaan (mulk) maka tidak mungkin ada peradaban.
Suatu negara tanpa peradaban, sulit dibayangkan bagaimana bentuknya, dan
perdaban tanpa negara dan kekuasaan adalah tidak mungkin.
Perbedaan penerapan konsep
politik antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara sosio-kultural, terjadi
karena latar-belakang umat Islam yang berbeda pada masa keduanya. Pada masa
al-Ghazali (wafat 1111), bisa diasumsikan, hegemoni umat Islam relatif masih
kuat, sekalipun secara politis sudah mulai terpragmentatif akibat sistem
kenegaraan dan kekuasaan yang korup dan adanya persaingan dan konflik
kepentingan yang tidak sehat.
Sedangkan ketika Ibnu Taimiyah
hidup, umat Islam sudah tercabik-cabik. Bahkan kekuasaan politik Islam sudah
hancur-lebur, karena diluluhlantakkan oleh kekuatan bangsa Mongol. Dalam
kondisi seperti inilah pemikiran politik Ibnu Taimiyah terbentuk.
Ibnu Taimiyah, dalam situasi
politik seperti itu, tampaknya seolah membiarkan adanya pejabat yang berlaku
zalim. Ungkapan terkenal yang pernah disampaikannya adalah, “enam puluh tahun
di bawah seorang pemimpin yang zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam
tanpa kepemimipinan”. Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu
Taimiyah menganggap betapa pentingnya keberadaan lembaga pemerintahan.
Bagi Ibnu Taimiyah, seandainya
dibedakan antara seorang pemimpin dan syarat-syarat yang harus dimilikinya,
maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah yang paling utama. Apalagi bila
kekosongan lembaga pemerintahan tersebut diambil-alih oleh bangsa dari luar
yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at. Karenanya, lebih baik hidup di bawah
kepemimpinan seorang yang zalim ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali
Pemikiran Politik Islam Strategis Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada
zaman klasik yang mempunyi pendirian yang keras dan teguh berpijak pada
ketentuan-ketentuan yang di gariskan oleh Allah. Dilahirkan di Harran, pada
tahun 661 H/1263 M.Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dalam mengatur urusan umat
merupakan kewajiban agama yang terpenting, sehingga dalam konteks ini Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut
agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menggunakan
pendekatan sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia akan tercipta dalam
satu tatanan sosial yang tidak bisa melepaskan peran dari ketergantunganya pada
orang lain. Sehingga Dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kemaslahatan
umat dan melaksanakan syari’at Islam, untuk mengaturnya harus memerlukan
pemimpin. Orang yang pantas menjabat sebagai pemimpin adalah yang memiliki
kekuatan(quwwah) /kewibawaan dan kejujuran (amanah).
Syarat kekuatan dan wibawa
memegang peranan yang sangat penting dalam konsepsi politik, karena seorang
kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Selain itu kepala
negara mempunyai tanggung jawab dan tugas yang tinggi dimana mereka harus
menegakkan segala hal yang dikehendaki Allah dalam menegakkan
institusi-institiusi amr ma’ruf nahi munkar,sehingga tercipta kehidupan
masyarakat yang terjamin. Kejujuran bisa dilihat dengan ketakwaannya kepada
Allah, ketidaksediaannya dalam melakukan hal-hal nepotisme,yang mementingkan
kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis.
Ibn Taimiyah juga berpendapat tanpa
adanya kejujuran dan kekuatan maka seorang kepala negara tidak akan efektif
menjalankan pemerintahannya. Karenanya, kepala negara juga harus mengangkat
pembantu-pembantunya dari orang -orang yang mengerti dan menguasai bidangnya,
bukan berdasarkan pertimbangan primordial dan kedekatan internal.[1]
Meskipun Ibn Taimiyah
mensyaratkan dua hal kepada calon kepala negara, namun hal itu tidaklah mutlak,
dalam artian jika kepala negara yang ideal tidak bisa diperoleh, maka harus
diangkat orang yang paling sesuai untuk pekerjaan. Tetapi kaumnya harus terus
berusaha untuk memperbaiki keadaan supaya dapat menjalankan ajaran agamanya.
Ibn Taimiyah juga memberikan
konsepsi al-syawkah dalam teori politiknya, sedangkan ahl al-masyawkah yaitu
orang-orang yang berasal dari kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati
oleh masyarakat yang memilih kepaal negara dan melakukan sumpah setia, jadi
seorang tidak bisa menjadi kepla negara tanpa dukungan ahl al-masyawkah.[2]
Ibnu taimiyyah menekankan fungsi
negara dalam membantu agama, dia menolak dan tidak membenarkan
khalifah-khalifah bani abbas yang menurutnya hanya dijadikan boneka oleh
sekelompok elite. Karena itu Taimyyah lebih sering menggunakan kata “imarah”
dalam konteks kenegaraan.
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Ketika kita berbicara tentang
abad pembaharuan dalam Islam ada beberapa tokoh penting yang sangat
berpengaruh, salah satunya yaitu Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yang dilahirkan
di Asad abad pada tahun 1838.Jamaluddin adalah seorang aktivis dengan
gagasan-gagasan politik yang dijadikan inspirasi bagi umat islam disaat
zamannya Islam berada di bawah bayang-bayang imperialisme Barat. Dimana pada
saat itu kondisi masyarakat muslim yang jauh dari Islam, yang menyebabkan
kemunduran dalam dunia Islam
Jamaluddin menyadarkan umat islam
untuk bangkit dan bersatu menciptakan kesatuan melalui Pan Islamisme. Menurut
Jamaluddin dunia islam dalam penyakit absolutisme dan despotisme penguasa,
serta kolonialisme dan imperialisme barat sehingga umat islam tidak mampu
berhadapan dengan bangsa lain, melihat kenyataan ini beliau mengadakan revolusi
dan perombakan pemerintahan.dia juga
mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu sebuah majalah yang memuat kebangkitan
umat islam yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta
meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai
propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar
meninggalkan Islam, Parati Nasional (Hizbul Wathan) dan mengembangkan al-Mishr
li al-Mishriyyin.Beliau adalah musuh penguasa islam yang dzalim, otoriter dan
korup.
Pemikiran Politik
Ketika melihat kenyataan bahwa
dunia islam didominasi oleh pemerinthan yang absolut, diamna mereka menjalankan
kekuasan tanpa adanya ikatan konstitusi maka jamaluddin melakukan usaha yang
menekankan pada revolusi yang didasarkan pada kekutan rakyat,dia berusaha
memprovokasi umat islam, untuk merebut kebebasan dan kemerdekaan walaupun
dengan cara pemberontakan dan pertumpahan darah. Dia juga menganjurkan
pembentukan pemerintahan rakyat dan dewan perwakilan rakyat yang sesuai dengan
keinginan rakyat. Dia menentang pemerintahan otoriter, karena otoriter tidak
jauh berbeda dengan tirani dimana terdapat hegemoni penguasa yang tidak bisa
lepas dari cengkraman asing (barat). Jadi menurut Jamaluddin bentuk
pemerintahan yang sesuai yaitu republik dengan konsep kewarganegaraan yang
aktif yang didalamnya terdapat kebebasan rakyat.
Untuk melawan kekuatan asing dan
membangkitkan semangat kesatuan umat islam maka Jamaluddin membentuk sebuah
gerakan Pan Islamisme yang berarti bahwa negara-negar islam tunduk dalam satu
pemerintahan tunggal. Karena umat islam tidak akan maju tanpa adanya kesatuan.
Dia juga tidak mau melakukan kerja sama dengan penjajah. Iqbal,DR. Muhammad,
Pemikiran Politik Islam, Kencana. Jakarta .
2010 hal 41 Iqbal,DR. Muhammad, Pemikiran Politik islam, Kencana. Jakarta . 2010 hal 35
Ibnu Taimiyah (1263-1329) hidup
pada masa kekuasaan Daulah Mamluk/Mamalik. Pada masa itu umat Islam mengalami
kemunduran. Secara internal, umat Islam mengidap penyakit taqlid dan jumud
karena virus "pintu ijtihad telah tertutup". Selain itu virus bid'ah
dan khurafat menjangkiti tubuh umat. Dari eksternal, umat Islam terus diserang
oleh tentara salib (crussaders), juga dampak serangan tentara Tartar terhadap Baghdad . Pada kondisi
inilah Ibnu Taimiyah hidup. Jadi, tantangan beliau pada masa itu ada 2 : ke
internal, yaitu memberantas penyakit umat seperti taqlid-jumud-bid'ah-khurafat
dan ke eksternal, yaitu berjihad melawan
tentara Tartar. Sehingga, selama hidupnya, beliau terkenal sebagai pejuang dgn
pena dan pedang; ulama sekaligus mujahid. Sampai-sampai beliau melakukan
ijtihad pribadi yg beliau sendiri
melarang umat untuk mengikutinya, yaitu ijtihad untuk tidak menikah, karena dgn
menikah berarti beliau tidak fokus lagi untuk berjihad dgn pena dan pedang. Hal ini merupakan satu dari sekian
banyak kontroversi sikap dan pemikirannya.
Kalaulah dikatakan, seperti
dinyatakan Luthfi Assyaukanie, teori perpolitikan dalam sejarah Islam itu
dikembangkan dalam 2 pendekatan, yaitu filsafat dan fiqh. Para
pemikir politik Islam yg menggunakan pendekatan filsafat misalnya al Farabi dan
Ibnu Abi Rabi. Sedangkan yg menggunakan pendekatan fiqh contohnya Imam al
Mawardi; disiplin ilmunya kemudian disebut fiqh siyasah. Sebetulnya ada
pendapat yg memasukkan Ibnu Taimiyah ke dalam fiqh siyasah, tapi penulis kurang
setuju dgn itu, karena menurut penulis, metode pemikiran Ibnu Taimiyah
merangkum 2 pendekatan itu filosofis dan fiqh. Filosofis itu utopia-idealis;
fiqh itu distopia-realis. Para pemikir politik
Islam yg menggunakan pendekatan filsafat, dipengaruhi oleh pemikiran Plato yg
memang utopi mengawang-awang. Jadi metodenya "idealis to realita",
yaitu pemikiran yg ideal diterapkan ke alam nyata. Sebaliknya, pemikir yg
menggunakan pendekatan fiqh, menggunakan metode "realis to idealita",
yaitu kondisi realis dijadikan sandaran untuk menentukan suatu idealita. Nah,
menurut penulis, Ibnu Taimiyah menggunakan kedua pendekatan ini, apalagi beliau
seorang ulama sekaligus mujahid; teori sekaligus praktek.
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah
tertulis dalam kitabnya, yaitu Siyasah asy Syar'iyah dan Minhaj as Sunnah.
Dengan kaca mata Ibnu Taimiyah inilah, baik corak pemikiran maupun pengamalan.
Pertama, tentang amanah. Di dalam
Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa amanah itu ada dalam 2 hal, yaitu
kepemimpinan dan harta benda. Di satu sisi, kepemimpinan itu adalah satu dari
kewajiban-kewajiban agama yg terbesar. Agama tidak bisa tegak tanpa
kepemimpinan. Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat mulia, bahkan pemimpin yg adil itu menjadi golongan pertama
dari 7 golongan yg Dinaungi Allah di akhirat nanti. Tapi sebaliknya, di sisi
lain kepemimpinan bisa menjadi faktor perusak jika hal itu dijadikan alat untuk
memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Contohnya seperti Fir'aun yg
dihinakan oleh Allah. Kemudian terkait harta benda, jika hal itu dimanfaatkan untuk
kepentingan agama dan negara, maka memang seharusnya begitu. Tapi jika harta
benda malah menimbulkan sifat loba dan tamak, maka kebalikannyalah yg didapat.
Ia akan dihinakan seperti Qarun. Rasulullah bersabda : "Dua ekor serigala
lapar yg dilepaskan ke tengah sekawanan domba, tidaklah lebih berbahaya dari
orang yg loba dan tamak kepada harta atau kepada pangkat kehormatan bagi
agamanya." (HR Ka'ab ibn Malik, dihasan-shahihkan oleh Tirmidzi). Tentang
kepemimpinan, seperti sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, menurut Ibnu
Taimiyah disyaratkan orang yg memiliki quwwah dan amanah sekaligus. Jika tidak
terpenuhi, maka tentukan prioritas sesuai kebutuhan : quwwah atau amanah?
Quwwah di atas maknanya bukan hanya kuat fisik, tapi kuat dalam arti profesional
dan kompeten dalam leadership.
Kedua, tentang musyawarah. Di
dalam Siyasah asy Syar'iyah ditegaskan bahwa musyawarah adalah sebuah
kewajiban. Dgn musyawarah itu dulu Rasulullah mengikat para shahabatnya.
Musyawarah ini menjadi kebiasaan Rasulullah dan shahabat terhadap suatu
permasalahan yg tidak ada keterangan dalil al Quran dan hadits secara tegas
untuk mengaturnya. Dengan musyawarah ini Insya Allah umat senantiasa terjaga.
Umat Islam tidak akan sepakat dalam kesalahan. Rasulullah bersabda, yang dikutip
oleh Yusuf al-Qaradhawy dalam Siyasah asy Syar'iyah versi beliau :
"Syaithan itu bersama 1 orang. Syaithan akan menjauh dari 2 orang. Lalu
syaithan akan semakin menjauh dari 3 orang... Dan seterusnya." Artinya, dengan
1 orang, suatu hasil keputusan bisa dipengaruhi oleh syaithan. Jika ada lebih
dari 3 orang yang bermusyawarah, maka keputusan yang diambil akan jauh lebih
aman dari intervensi syaithan. Dari hadits di atas, kita memahami bahwa suara
mayoritas dalam Islam sangat berharga, kalau tidak dikatakan sangat menentukan.
Maka sebaiknya memang peserta musyawarah itu representatif, karena tidak
mungkin semua masyarakat mengikutinya, cukup perwakilan saja. Tentunya
perwakilan tersebut benar-benar mewakili elemen-elemen yang ada pada
masyarakat. Kita mengenal Ahlul Hal wal Aqdi/Ahlul Ikhtiyar, ada yg mengartikan
sebagai dewan parlemen yang terdiri dari
para ulama, ada juga yg mengartikan tidak hanya ulama. Fungsi lembaga ini salah
satunya adalah untuk memilih pemimpin negara. Agaknya, Ibnu Taimiyah mengambil
definisi yang pertama. Sehingga dalam Minhaj as Sunnah, Ibnu Taimiyah
mengkritik lembaga Ahlul Hal wal Aqdi ini. Menurut beliau, lembaga ini hanya
terbatas kepada ulama dan tidak mewakili elemen masyarakat. Karena itu beliau
menegaskan seharusnya lembaga tersebut mewakili seluruh elemen masyarakat.
Beliau memperkenalkan lembaga Ahlusy Syaukah, yang terdiri dari ulama dan
orang-orang yang memegang otoritas di masyarakat.
Ketiga, tentang 4 golongan
manusia. Ibnu Taimiyah menggolongkan manusia ke dalam 4 kelompok. 1) Manusia yg
ingin berkuasa dan berbuat kekacauan, seperti Fir'aun. 2) Manusia yg ingin
berbuat kekacauan tanpa ingin berkuasa, seperti pencuri dan berandalan. 3)
Manusia yg ingin kekuasaan tapi tidak ingin kekacauan, seperti agamawan yg ingin
tampak lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. 4) Manusia yg tidak ingin
kekuasaan dan kekacauan, merekalah ahli surga.
Keempat, tentang 2 jalan yg
buruk. Di dalam Siyasah asy Syar'iyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang 2
jalan yg buruk, yaitu jalan agama yg tanpa mementingkan kekuasaan, jihad, dan kekayaan harta benda; dan jalan
kekuasaan yg meliputi kekayaan harta benda dan
jihad tapi tanpa agama. Jalan yg pertama adalah jalan yg sesat
(dhaalliin) dan jalan yg kedua adalah jalan yg Dimurkai Allah (maghdhub). Jalan
pertama adalah jalan orang Nasrani dan
jalan kedua adalah jalan orang Yahudi. Yg penulis pahami dari pernyataan
ini adalah bahwa agama Nasrani dan Yahudi memisahkan antara agama dan politik.
Nasrani akhirnya bisa mendirikan sebuah pemerintahan keagamaan tapi bukan
politik, yaitu pemerintahan kepausan. Sampai ada doktrin "Berikanlah hak
kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus"; kerajaan itu
representasi politik dan paus itu representasi agama. Sedangkan Yahudi berhasil
membangun "pemerintahan dunia" yg menginternasional, orang/unsur
Yahudi ada di mana-mana menguasai politik, ekonomi, pendidikan, dst., tapi pemerintahannya tidak mementingkan agama.
Inilah kedua jalan yg buruk, jalan yg sekuler.
Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan
ada jalan ketiga, yaitu jalan lurus (shirathal mustaqim), yaitu jalan
Rasulullah, shahabat, tabi'in,.........dan para pengikutnya. Jalan inilah jalan
yg selamat. Menurut penulis, jalan Rasulullah inilah yg memadukan jalan pertama
dan kedua, agama dan politik dipadukan, tidak sekuler.
Pendahuluan
Secara natural, manusia cenderung
untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka
mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi
mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang
harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis,
manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah
tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk
sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan
melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.
Masalah kenegaraan dalam
kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam merupakan
salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang
berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis,
di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai tentang
pemikiran politik beliau.
B. Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Taqi
ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat
yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia
Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H
bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang
yang alim.[2]
Sejak kecil beliau termasuk anak
yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat,
mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta
merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan
mengikuti jejak orang tuanya sebagai fuqaha.
Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo.[3]
Potensi dan bakat serta usahanya
yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai
banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif. Di antara beberapa
tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’ Bain
an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’
Syaithan, al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim
Rasulillah saw, Majmu’ ar -Rasa’il, Nazariyyah al-Aqd, dan sebagainya.[4]
Saat ayahnya meninggal pada tahun
682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya
pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai
direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H
merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya.
Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi
pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya
dalam bidang Tafsir Alquran.[5]
Pada akhir hidupnya, beliau
dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk
menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat
bagi dirinya.
Beliau meninggal dunia pada usia
65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26September 1328 M. Beliu
merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
C. Pemikiran Politik Ibn
Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik
kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang
berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik
kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya sebagai
berikut:
1. Bentuk Kenegaraan
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa
Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata
seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat
Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar
untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn
Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan
kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan
sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya
sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin
negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan masih berkuasa. Kepemimpinan
Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para pendukungnya atau oleh seorang
yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan
karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt
mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad
saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit
orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6] Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw
seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah
memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa
diikuti apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyadari
bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas
masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti
disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk
sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada,
baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial,
menjadi hakim, memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu
Taimiyyah hal tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari
unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari fungsi
kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut: bahwa
apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga
menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika
itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu
pendukung-pendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah
dan memerangi lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman
kepada Allah swt., maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan
pendukungnya yang akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh
karena itu, nabi tidak memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai
tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena
semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan adanya
penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]
Dengan penegasan tersebut, maka
bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai
negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan
pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:
(kepemimpinan setelah nabi)
khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa
saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga
mengemukakan hadis berikut: “akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang membawa
rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan kelaliman”.[9]
Sesuai dengan hadis tersebut,
maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada
dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun
dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilfah
sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang datang kemudian.
Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik melalu
pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan
pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu,
maka jadilah ia khalifah.[10]
Ibnu Taimiyyah membagi khilafah
dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu
berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum berlaku
bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka.
Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah
mendasarkan hal tersebut atas hadis berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30
tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]
Setelah memaparkan tentang tiga
bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak menentukan nama di
antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik
Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan
bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi
dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku .
2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah,
setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah
bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah
menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama
keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa
negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu
adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun
sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan
Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun
berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan
syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama
dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama
Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib
ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-
Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin
dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan
petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan
pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad,
pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara
ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah
memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan
dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau
minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang
terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya.
Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka
peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan
yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya
rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada
mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang
yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk
kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan
syari’at, negara diatur oleh parapenguasan untuk kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan.
3. Keadilan.
Keadilan pada hakekatnya dimiliki
oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri
negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah
berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan
benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah
negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan
membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan
merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan
berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya
dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan
informasi dari Alquran, antara lain pada surat
al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang
memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan
keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan
sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu
Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa
yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah
kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang
penuh keadilan.[17]
Dalam suatu negara, kekuatan itu
dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang
yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan
mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya,
maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan
bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiyan munkar.
Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam
bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat
dikembangkan menjadi jihad.
Untuk menegakkan keadilan
tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk
menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang
yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin
bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai
dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya
sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang
memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt.
Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat
tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu
tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan
keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui
cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan
untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat
islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih
rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam
meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan
kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman
para penguasa masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan,
maka cara reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu
Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka
hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi
jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi.
4. Pengambilan Keputusan.
Dalam pemilihan seorang pemimpin,
konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat
yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh).
Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di
dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati
dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus
dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya
dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan
tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di
tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan
kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah
dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl
syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi
rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam
setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan.
Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan
mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik.
Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan
kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi
negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang
kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan
tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam
menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila
kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar
untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu
dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin
negara, selain menerima pendapat dari para ulama,
harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas
dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup
memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara
bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan
dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah.
Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang
diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada
waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidakmampuan
peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat
orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di
atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan kerjasama
ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan
kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah.
Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara
adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas,
maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan
pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya:
- Sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: Negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan.
- Tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik.
- Sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
- Sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.
No comments:
Post a Comment