Laa ilaaha illallaah menuntut
kita untuk meninggalkan arbaab, berlepas diri daripada Arbaab.
Apa Arbab…?? Ia adalah bentuk
jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti
kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti
hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan
hukum.
Kita sebagai makhluk Allah, dan
konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga telah
memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah… hanya Allah.
Jadi Allah disebut Rabbul ‘Alamin karena Allah yang mengatur alam raya ini,
baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan
jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti
dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apa rabb itu…? Syaikh Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan
fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu
mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang
bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang
diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia
memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ
عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis
orang Nashara dengan lima
vonis :
1. Orang-orang nashara tersebut telah mempertuhankan para
alim ulama dan pendeta mereka.
2. Mereka telah beribadaha kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan
dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan.
Ketika ayat ini dibacakan di
hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, (asalnya beliau ini Nashrani) sedang beliau
datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar ayat ini
dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: Kami (maksudnya:
dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama
kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami
melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa
yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain
Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini
adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya kemusyrikan apa yang dilakukan dan
bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama?, maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan
pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian
ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah
Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya
!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orangt nashrani) terhadap
mereka”
Jadi, ketika alim ulama
memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk
membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya
sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan
hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang
telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar
Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
Di dalam contoh ayat yang lain,
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ
يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ
لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ
إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Ayat ini berkenaan tentang
masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dan dalam
ajaran orang-orang kafir Quraisy bahwa bangkai adalah sembelihan Allah, dan
dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih:
“Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa
yang membunuhnya ?”, beliau menjawab: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka
berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing
yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas
(maksudnya bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian lebih baik
daripada sembelihan Allah”.
Ucapan ini adalah bisikan atau
wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut
setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan
Allah) maka kalian ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang
mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik,
padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang
yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah
wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan
dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut
sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita
lihat firman Allah yang lainnya:
إنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ
أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“…Menentukan hukum itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS.
Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak
membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah
memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam ayat ini penyandaran hukum
disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah,
sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain
Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia
tidak mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan
Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan
ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut
musyrik.
Makanya tidak aneh, ketika hal
itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada
selain Allah dan mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang
yang mengikutinya itu disebut musyrik.
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ
لَمُشْرِكُونَ
“…dan jika kamu menuruti mereka,
Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]
: 121)
Sekarang… kita hubungkan dengan
realita: Kan
ada sistem demokrasi… Yang namanya orang berpendidikan pasti mengetahui apa
demokrasi, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam
demokrasi yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa
yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib
diikuti, dan memang dalam sistem demokrasi seperti itu!
Sistem demokrasi mulai populer
ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelu itu,
ed) di mana hal itu dilakukan agar terlepas dari kungkungan gereja yang
mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan
kedzaliman yang mereka lakukan, kediktatoran otoriter di atas nama tafwidl
ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin
melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana
demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar:
1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan
meyakini apa saja.
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat
3. Hukum berada di tangan rakyat
4. Melepas norma akhlak dari agama
Dalam masalah ini kita secara
khusus mengambil masalah “hukum berada ditangan rakyat”, di mana yang berhak
memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana
dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).
Mari kita perhaikan bahwa dalam
praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu rakyat, setiap
individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum dengan kata lain,
bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuatan hukum, akan tetapi
kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini kumpul semuanya adalah tidak
mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos”
itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya
akan dipajang di gedung Parlemen. Dan nantinya akan membuat hukum atas nama
rakyat. Hal ini bisa dilihat ketika pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana
mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat… aspirasi
rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini bahwa yang berwenang atau menentukan
hukum dan undang-undang adalah rakyat.
Jika dalam surat Al An’am 121 yang mana satu hukum saja
dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut
wali syaitan (Arbaab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana
bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada
makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1)
ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum
diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan
atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan lain kata bahwa
demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat
yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung
Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).
Jika sekarang kita ingin
mengetahui siapa itu arbaab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik
Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya
akan didapatkan: “Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU)”, atau akan didapatkan juga pasal:
Bahwa “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang…” dan seterusnya. Dan juga yang
berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah”. Dan itu semua adalah Arbaab-Arbaab yang ada di Indonesia… sekali lagi, jika
ingin mengetahui siapa Arbab atau para pengaku tuhan, maka pahamilah tauhid
lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah
para pengaku tuhan.
Jadi demokrasi ini adalah sistem
syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu
adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ hukum potong
tangan muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah
akan tetapi tetap hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari
sang pembuat hukum yang di akui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil
rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi: Tap MPR
no sekian… atau perpu no sekian… seperti itulah yang ada.
Dan ketika membuatnya: mereka
(partai-partai Islam) mengambil dari Al Qur’an tentang potong tangan, dengan
kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan
kepada tuhan-tuhan “besar” yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada
Arbaab-Arbaab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur… Jadi, hukum Allah
disodorkan kepada mereka ~karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari
bawah lalu disodorkan ke atas~ dan ketika berada di atas (MPR/DPR) setujui atau
tidak. Jika tidak setuju maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga
jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui
sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga
hukum Allah membutuhkan persetujuan Arbab…! Dan ketika digulirkan tidak mungkin
nantinya sesuai dengan firman Allah surat
sekian atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka
yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang
menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah
keadaannya…!!
Jadi semua itu adalah hukum
Arbab. Arbabnya banyak… ada Arbab dari partai PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI,
Golkar…dst, mereka itu adalah Arbaab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (٣٩) مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ
أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Hai kedua penghuni penjara,
manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya
(menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS.
Yusuf [12] : 39-40)
Ayat: “Tuhan-tuhan yang bermacam
itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka
ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah,
komisi-komisi, dll.. Dan ayat: “yang kalian ibadati” maksudnya di sini adalah
mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa
yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang
Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka
yang membuatnya, KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama
yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang mereka membuatnya sendiri lalu
mereka yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah
sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Dan Arbab-Arbab itu
adalah pengaku tuhan.
Supaya lebih dipahami, saya
gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy
ketika membuat tuhan dari roti, tuhan yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati,
dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu
mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget…!”,
padahal semua itu adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah
paham bahwa Arbaab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan
hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat
atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar
bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok
undang-undang buruh (umpamanya), fraksi lain menggodok undang-undang tentang
perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang
keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, mereka menggodok undang-undang
dan hukum. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya,
yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya
digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti).
Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (mejadi
sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian…
lalu disosialisasikan ketengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan
kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau
sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga
melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut ketika
menegakkan hukum buatannya itu bukan “sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau
sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan : “Sesuai TAP MPR No sekian,
atau pasal sekian…!”.
Nah… setelah disosialisasikan dan
diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya,
kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan
dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau
diamandemen”, seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu
kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi
sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah
lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah
maka berhala yang sudah jadi itu di potong-potong dan dimakan lagi oleh mereka,
begitu dan begitu seterusnya…!!!
Jadi, berhalaisme atau paganisme
itu selalu terjadi dan lebih dahsyat dan lebih berbahaya karena apabila
menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan
tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut maka akan dipaksakan.
Pada gambaran yang lain, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai
aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali yang Allah
ulurkan dari sisin-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka
ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti:
KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya
kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, di mana
barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh
syaitan ke dasar neraka.
Jadi, “kitab-kitab suci” selain
Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang
dihasilkan oleh para Arbaab (para pengaku tuhan itu).
Fir’aun mengatakan: “Aku adalah
tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim
pencipta langit dan bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa
yang ada di atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat
mengetahui bahwa sebelum Fir’aun lahir pun manusia telah ada, masyarakatnya pun
mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia
mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang
hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti
kecuali hukum buatan saya !
Jadi, ketika Fir’aun mengatakan
hal itu bukan karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan
manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat
hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Apabila telah paham apa yang di
ucapkan fir’aun itu, berarti akan kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun
zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah
Fara’inah.Para pembuat hukum itu itulah Fir’aun…
Jadi jika kita membaca tentang
Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja,
karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang mereka
itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki
karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan
mimpinya itu), sedangkan jika anak anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~
dibunuh maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka
membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan idiolodi-idiologi kafir di
sekolahan-sekolahan milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang
dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila waktu kecil
fithrah sudah rusak atau mati sehingga dewasa lalu tidak taubat (tidak kembali
kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan
dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya !! Sedangkan apabila
anak kecil yang mati jasadnya saja sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk
surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak
mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa baru
dibunuh jasadnya atau dimasukan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman
sekarang.
Jadi… itulah Fir’aun yang mana
dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa
dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat
manusia, akan tetapi dia makasudkan “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang
hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka
kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat
Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang
mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang
yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi
menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbaab
adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat
hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang
mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu
disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan
dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan
mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun
mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:
فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ
مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ
“Dan mereka berkata: “Apakah
(patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum
mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al
Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah
ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada
Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para
Arbaab itu adalah disebut orang yang beribadah kepada Arbaab tersebut
Dan ini adalah penjelasan tentang
Arbaab yang mana ini adalah hal bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa
ilaaha illallaah…
No comments:
Post a Comment