[PENTING]
KEUTAMAAN RIBATH DI JALAN ALLAH
SIYASAH SYAR'IYYAH >> SIYAR
& JIHAD
بسم الله الرحمن الرحيم
Perintah
Allah untuk Melakukan Ribath
Allah (Ta’ala) berfirman, {Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah/habisi (terhadap
musuhmu) dalam kesabaranmu dan beribathlah dan bertaqwalah kepada Allah supaya
kamu beruntung} [QS. Ali ‘Imran :200].
Ibnu ‘Abbas (radhiya Llāhu ‘anhumā)
berkata, “{Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah} di atas ketaatan kepada
Allah, {kuatkanlah kesabaranmu} terhadap musuh-musuh Allah {dan lakukanlah
ribath} di jalan Allah” [Tafsīr Ibn al-Mundzir].
Abu ‘Ubaidah ibnu Al-Jarrah menulis surat kepada ‘Umar ibnu
Al-Khaththab (radhiya Llāhu ‘anhumā), menyebutkan kepadanya bahwa Romawi sedang
mengumpulkan pasukannya dan apa saja yang ditakutkan dari mereka. Maka ‘Umar
menulis balasan yang isinya, “Ammā ba’d, sesungguhnya kesulitan apa saja yang
menimpa hamba yang beriman, niscaya Allah akan memberikan kelapangan kepadanya
sesudah itu. Sesungguhnya suatu kesulitan tidak akan mengalahkan dua
kemudahan[1]. Allah juga berfirman di dalam Kitab-Nya, {Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah (terhadap musuhmu) dalam kesabaranmu
dan ribathlah dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung}” [Muwaththa`
Mālik].
Al-Hasan Al-Bashri (raḥimahu Llāh) berkata ketika menjelaskan ayat
tersebut, “Dia memerintahkan mereka untuk bersabar di atas agama mereka dan
tidak meninggalkannya karena adanya kesulitan, kemewahan, kenyamanan, atau
kemalangan. Dia memerintahkan mereka untuk menghabisi orang-orang kafir dalam
kesabaran dan mengadakan ribath melawan orang-orang musyrik” [Tafsīr
ath-Thabarī].
Zaid ibnu Aslam (raḥimahu Llāh) berkata, “Bersabarlah di atas
jihad, atasi terhadap musuhmu dalam kesabaran, dan lakukan ribath melawan
musuhmu” [Tafsīr ath-Thabarī].
Qatadah (raḥimahu Llāh) berkata, “Artinya, bersabarlah di atas ketaatan
kepada Allah, kuatkan di atas kesabaran terhadap ahli kesesatan, lakukan ribath
di jalan Allah {dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung}” [Tafsīr
ath-Thabarī].
Muhammad ibnu Ka’ab Al-Qurazhi (raḥimahu Llāh) berkata, “{Dan lakukan ribath}
melawan musuh-Ku dan musuhmu hingga dia meninggalkan agamanya menuju agamamu”
[Tafsīr Ibn al-Mundzir].
Ayat tersebut adalah perintah untuk
mengadakan ribath yang sudah dikenal di jalan Allah di daerah tsughūr (pos-pos
perbatasan), sebagaimana ditafsirkan oleh ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dari kalangan
sahabat (radhiya Llāhu ‘anhum) dan oleh Al-Hasan Al-Bashri, Zaid ibnu Aslam,
dan Muhammad ibnu Ka’ab dari kalangan tabi’in (raḥimahumu
Llāh).
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh) di mana Rasulullah (shallā Llāhu
‘alaihi wasallam) bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu dengan apa Allah
menghapus amal-amal burukmu dan mengangkat derajatmu? Sempurnakan wudhu’ meski
dalam kesulitan (cuaca dingin dan luka ringan), perbanyak langkah menuju masjid
(untuk shalat), dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat berakhir.
Sesungguhnya (penantian) ini adalah ribath,” maka hadits tersebut serupa dengan
hadits-hadits yang menjelaskan jihad untuk mempengaruhi seseorang dalam rangka
ketaatan kepada Allah, hijrah untuk meninggalkan apa yang tidak diridhai oleh
Allah, dan Islam sebagai kalimat yang baik serta memberi makan orang miskin[2].
Hal itu tidaklah membatasi makna ribath untuk menunggu waktu shalat ataupun
makna dari kata-kata tersebut mengindikasikannya sebagai komentar bagi ayat
tersebut. Atas dasar ini, Ath-Thabari (raḥimahu
Llāh) berkata setelah mengutip hadits dari Abu Hurairah dalam tafsirnya,
“Firman-Nya {dan lakukan ribath} maknanya ‘lakukan ribath di jalan Allah melawan
musuh-musuhmu dan musuh-musuh agamamu di antara ahli syirik.’ Aku berpendapat
akar kata ribath ialah mengikat (irtibāth) kuda-kuda sebagai persiapan
menghadapi musuh sebagaimana musuh mereka mengikat kuda-kuda mereka dalam
persiapan menghadapi mereka. Kata tersebut kemudian digunakan bagi setiap orang
yang menetap di daerah tsughūr untuk menjaga orang-orang di belakangnya – di
seluruh wilayah antara dia dan mereka – yaitu orang-orang yang hendak disakiti
oleh musuh dengan kejahatan, baik musuh memiliki kuda yang telah diikatnya atau
dia berjalan kaki tanpa hewan tunggangan untuk dirinya. Alasan mengapa kami
mengatakan bahwa makna {dan lakukan ribath} ialah ‘lakukan ribath melawan
musuh-musuhmu dan musuh-musuh agamamu’ ialah karena makna ini merupakan makna
yang sudah dikenal di antara berbagai makna ribath. Lafaz harus dipahami
menurut kelaziman manusia dan penggunaan yang sudah dikenal di antara berbagai
makna yang ada. Hal ini dilakukan sebelum mengambil makna yang kurang dikenal
sampai menunjukkan pada sesuatu yang berlawanan dengan penafsiran yang
dibutuhkan atas lafaz tersebut menurut suatu arti yang kurang dikenal. Dalil
yang mengharuskan ketundukan ini bisa berupa ayat dari Al-Qur’an, riwayat dari
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam), atau ijma’ (kesepakatan) dari ahli
tafsir.”
Ibnu Qutaibaih (raḥimahu Llāh) juga berkata, “{Dan lakukan
ribath} di jalan Allah. Dasar etimologi kata murābathah (ribath) ialah sebuah
ikatan: Bahwa orang-orang ini mengikatkan kuda-kuda mereka dan orang-orang yang
mengikatkan kuda-kuda mereka di pos perbatasan. Setiap orang menyiapkan diri
bagi apa yang dibawanya. Maka kehadiran di pos perbatasan dinamai ribath”
Banyak orang yang tidak mengetahui
perbedaan antara ribath (mempertahankan pos perbatasan) dan ḥirāsah (tugas menjaga). Seseorang boleh jadi
sedang beribath tapi tidak ḥirāsah,
seperti halnya murābith di pos garis depan tidur, makan, latihan, berbicara,
membaca, atau shalat sebelum atau sesudah gilirannya untuk mengadakan ḥirāsah. Dia bisa saja seorang murābith di
pos tsughūr yang sedang memasak dan bersih-bersih untuk murābith yang lainnya,
menunggu dan bersiap untuk mempertahankan garis depan melawan setiap upaya
kuffar untuk bergerak maju, namun tidak pernah mendapatkan giliran ḥirāsah disebabkan ia dibutuhkan untuk tugas
lainnya selama ribath, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pemimpinnya.
Dia adalah seorang murābith, sekalipun gilirannya untuk ḥirāsah belum datang, tidak datang untuk jangka waktu lama, atau
tidak pernah datang sama sekali, selama dia dengan tulus berkomitmen atas hal
tersebut jika ḥirāsah tersebut datang.
Dia adalah seorang murābith sekalipun pos perbatasan yang dia jaga tidak
terjadi apa-apa, walaupun balasan bagi orang yang menjaga garis depan yang
berbahaya lebih besar. Dan ḥirāsah
merupakan tingkat jihad yang lebih tinggi yang dianugerahkan oleh Allah
(Ta’ala) kepadanya di saat ia melakukan ribath
dan menjadi kewajiban baginya jika pemimpinnya menyuruhnya demikian.
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Dua mata yang tidak akan
pernah disentuh api neraka: mata yang menangis takut karena Allah dan mata yang
tetap terbangun menjaga (perbatasan) di jalan Allah” [Hasan: Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas]. Suatu kehormatan yang besar bagi mata yang lelah
karena menjaga kaum Muslim!
Keutamaan
Ribath Sehari
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi
wasallam) bersabda, “Ribath sehari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan
seisinya. Satu tempat di surga sebesar cemeti salah seorang di antara kamu
lebih baik daripada dunia dan seisinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari Sahl ibnu Sa’ad].
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi
wasallam) bersabda, “Ribath sehari semalam lebih baik daripada berpuasa dan
qiyamul lail selama sebulan. Jika dia meninggal selama ribath, maka dia akan
terus mendapatkan balasan atas amalnya, akan mendapatkan rezekinya, dan akan
diselamatkan dari fitnah (kubur)” [Diriwayatkan oleh Muslim dari Salman].
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi
wasallam) bersabda, “Sehari ribath di jalan Allah lebih baik daripada seribu
hari berada di tempat lain” [Hasan: Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa’i
dari ‘Utsman ibnu ‘Affan].
Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh)
berkata, “Sehari ribath di jalan Allah lebih aku cintai daripada (shalat) pada
waktu Lailatul Qadar di satu dari dua masjid: Masjidil Haram dan Masjid
Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam)” [Sunan Sa’īd ibn Manshūr].
Hal yang dapat membuat seseorang
memahami betap besar balasan di dalam ribath ialah memikirkan bahwa hamba-hamba
Allah – termasuk para ulama – tidak akan sanggup melaksanakan amal ibadah
mereka jika tidak ada murābithīn yang mempertahankan pos perbatasan. Seandainya
murābithīn meninggalkan pos mereka, membiarkannya tidak terjaga, niscaya semua kota dan desa Muslim
berada dalam ancaman penyerangan dan perampasan. Oleh karena itu, para ulama
berkata bahwa murābith mendapatkan pahala atas semua Muslim yang beribadah
kepada Allah di belakangnya, sebab ribathnya menyebabkan mereka bisa berfokus
pada ibadah kepada Allah. Hal ini serupa dengan seorang Muslim yang
memperhatikan keluarga seorang mujahid selama ketidakhadirannya akan
mendapatkan pahala jihad dari mujahid tersebut. Rasulullah (shallā Llāhu
‘alaihi wasallam) bersabda, “Barangsiapa menjaga urusan keluarga seorang
pejuang yang berperang di jalan Allah selama ketiadaannya, maka ia telah
berperang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Zaid ibnu Khalid].
Kaum
Salaf dan Empat Puluh Hari Ribath
Seorang Anshar datang kepada ‘Umar
ibnu Al-Khaththab (radhiya Llāhu ‘anh). ‘Umar bertanya kepadanya, “Kamu dari
mana?” Dia menjawab, “Ribath.” Beliau bertanya lagi, “Berapa hari kamu ribath?”
Dia menjawab, “Tiga puluh hari.” Beliau mengatakan, “Mengapa kamu tidak
menyempurnakannya menjadi empat puluh?” [Mushannaf ‘Abd ar-Razzāq].
Seorang putera Ibnu ‘Umar (radhiya
Llāhu ‘anhumā) melakukan ribath selama tiga puluh malam dan kembali. Maka Ibnu
‘Umar berkata kepadanya, “Aku memintamu untuk kembali dan lakukan ribath
sepuluh malam lagi hingga sempurna menjadi empat puluh!” [Mushannaf Ibn Abī
Syaibah].
Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh)
berkata, “Sempurnanya ribath ialah empat puluh hari” [Mushannaf Ibn Abī
Syaibah].
Karena atsar ini dan yang lainnya,
ketika Imam Ahmad ditanya, “Apakah ada jangka waktu (yang disukai) dalam
ribath?”, maka beliau menjawab, “Empat puluh hari.” Ishaq ibnu Rahawaih
mengomentari, “Dikatakan beliau mengatakannya” [Masā`il al-Imām Aḥmad wa Isḥāq
ibn Rāhawaih]. Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa ketika seseorang beribath,
maka yang paling baik (bukan wajib) ialah dia melaksanakannya setidaknya selama
empat puluh hari atau lebih sebelum pulang untuk beristirahat. Ini adalah
ribath berdasarkan manhaj Salaf.
Keutamaan Mati di dalam Ribath
Rasulullah
(shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Amal setiap orang yang mati berakhir
dengan kematiannya selain seorang murābith di jalan Allah. Amalnya akan
bertambah baginya hingga Hari Kebangkitan dan dia akan diselamatkan dari fitnah
kubur” [Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Fadhalah ibnu
‘Ubaid].
Hadit Nabi yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Salman Al-Farisi (radhiya Llāhu ‘anh) yang telah
disebutkan sebelumnya: “Jika dia (murābith) mati selama ribath, maka ia akan
mendapatkan pahala atas amalnya terus-menerus, dia akan mendapatkan rezekinya,
dan dia akan diselamatkan dari fitnah (kubur).”
Kematian ini
termasuk kematian yang paling mulia dan pahala ini dijamin bagi murābith yang
meninggal selama ribath, bahkan sekalipun kematiannya disebabkan penyakit,
ketuaan, atau beberapa kecelakaan. Berapa besar lagi kemuliaan yang akan
didapatkan bagi kematiannya ketika syahadahnya diakibatkan serangan pesawat
tentara salib dan sekutu-sekutu mereka yang murtad?
Balasan pahala
yang terus bertambah atas seseorang setelah mati disebutkan di dalam hadits
lainnya. “Jika anak Adam mati, maka amalnya terhenti kecuali untuk tiga (hal):
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak shalih” [Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah]. Balasan atas shadaqah, ilmu, atau anak (yang
shalih) ini akan terus berlangsung selama shadaqah itu ada, ilmu itu bermanfaat,
dan anak itu mendo’akan orang tuanya, sebagaimana terkandung dalam hadits ini
dan ditegaskan oleh yang lainnya. Adapun balasan bagi kematian selama ribath
terus bertambah dengan sendirinya dengan kondisi apa pun, dan ini hanya bagi
seorang murābith! Pahala ini tidak termasuk syahid di medan tempur, namun bagi murābith yang bisa
saja mati selama ribath karena usia yang tua dan tidur untuk istirahat! Jadi,
betapa mulianya kematian seperti ini? Dan berapa besar sebuah dorongan semangat
bagi seseorang untuk memohon kematian yang paling mulia - syahadah – saat sedang ribath!
Ribath dan Jihad Terbaik
Ibnu ‘Abbas
(radhiya Llāhu ‘anhumā) berkata bahwa Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi
wasallam) bersabda, “Perkara pertama ialah kenabian dan rahmat. Kemudian akan datang
khilafah dan rahmat. Kemudian akan datang kerajaan dan rahmat. Kemudian mereka
akan saling menggigit karena dunia seperti keledai. Maka ikatkan diri dengan
jihad. Dan sesungguhnya jihadmu yang paling baik ialah ribath. Dan sesungguhnya
ribathmu yang paling baik ialah di ‘Asqalan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dengan isnad hasan]. ‘Asqalan adalah sebuah kota di Palestina.
Terdapat beberapa
riwayat serupa dengan lafaz berbeda (seperti tambahan dan pengurangan),
keduanya kata-kata dari Nabi (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) dan qaul sejumlah
sahabat (radhiya Llāhu ‘anh) [Lihat: Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, dan
Al-Hakim]. Wa Llāhu a’lam. Riwayat-riwayat lainnya menunjukkan bahwa ribath
menjadi jihad paling baik setelah masa kerajaan Muslim yang dirahmati di antara
para khalifah, yaitu selama pemerintahan raja-raja Muslim tiran. Kekuasaan
mereka terjadi sebelum masa thawaghit murtad, di mana masa mereka berakhir
sudah – insya Allah – dengan berdirinya kembali Khilafah. Wa Llāhu a’lam.
Imam Ahmad (raḥimahu Llāh) berkata, “Menurut pendapatku,
tidak ada yang menyamai pahala jihad dan ribath. Ribath bertujuan menjaga
Muslimin dan keluarga mereka. Kekuatan terletak pada ahli garis depan dan ahli
perang. Maka ribath ialah akar dan cabang jihad. Jihad lebih baik daripada
ribath karena kesulitan dan kelelahannya. … Ribath yang paling baik ialah yang
paling dahsyat.” [al-Mughnī].
Dengan demikian,
jika tidak dibutuhkan tambahan murābithīn (yang hanya diputuskan oleh Imam),
seseorang tidaklah memilih perang atas ribath dikarenakan ketidaksabaran atau
alasan pribadinya. Sedangkan seseorang yang beribath secara umum dan kembali ke
sana setelah perang, maka berperang di medan tempur lebih baik
disebabkan bahaya dan kesulitan yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya,
seseorang harus mengetahui bahwa bertempur untuk menghindari ribath tidak
pantas bagi seorang mujahid sejati atas pertimbangan semata. Hal tersebut akan
mengakibatkan dosa besar jika diikuti dengan berpalingnya dari ribath yang
dibutuhkan atau tidak mematuhi perintah pemimpin. Betapa bahayanya ketika semua
pos perbatasan menjadi prioritas bagi tentara salib dan murtad dalam upaya dan
rencana mereka untuk menguasai negeri-negeri Khilafah?
Petunjuk dari Allah dan Rahmat Bagi
Murābithīn
Sufyan ibnu
‘Uyainah (raḥimahu Llāh) berkata,
“Ketika engkau melihat manusia berbeda, maka aku nasihatkan kepadamu untuk
bertanya kepada mujahidin dan orang-orang yang ada di perbatasan (ahli
tsughūr), karena Allah berfirman {Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami} [QS. Al-Ankabuut : 69]” [Tafsīr Ibn Abī Ḥātim;
Tafsīr al-Qurthubī].
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim (raḥimahumā
Llāh) juga menisbatkan perkataan hikmah ini kepada Al-Auza’i, Ibnu Al-Mubarak,
dan Imam Ahmad, serta yang lainnya (raḥimahumu
Llāh) [Majmū’ al-Fatāwā; Madārij as-Sālikīn].
Setelah mengutip
perkataan Ibnu Al-Mubarak dan Imam Ahmad dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Secara umum, hidup di garis depan, mengadakan ribath, dan
meniatkan diri untuk ribath adalah perkara besar. Garis depan terdiri dari
Muslimin terbaik dalam ilmu dan amal. Daerah-daerah tersebut merupakan negeri
terbaik dalam menegakkan syi’ar keislaman, realitas iman, dan amar ma’ruf nahi
munkar. Setiap orang yang ingin mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada
Allah, mencurahkan dirinya kepada-Nya, dan meraih zuhud, ibadah, dan kesadaran
paling baik, maka para ulama akan menunjukkan dia ke arah tsughūr” [Jāmi’
al-Masā`il].
Al-Mundziri (raḥimahu Llāh] menuliskan sebuah bab di dalam
kitabnya “at-Targhīb wat-Tarhīb” dengan “Menyerukan Pejuang dan Murābith untuk
Meningkatkan Amal Shalih Mereka, Termasuk Shaum, Shalat, Dzikir, dan Sebagainya”,
lalu menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Sa’id Al-Khudri (radhiya Llāhu ‘anh) di mana Rasulullah (shall Llāhu ‘alaihi
wasallam) bersabda, “Barangsiapa yang shaum sehari fī sabīl Llāh (berjihad),
maka Allah akan menjauhkan wajahnya tujuh puluh tahun dari api neraka.” Dia
kemudian menyebutkan sejumlah hadits lain yang mengindikasikan bahwa ibadah
selagi berjihad mendapatkan pahala berlipat ganda. Dia kemudian berkata, “Yang
jelas murābith itu juga fī sabīl Llāh. Dengan ini, maka amal shalihnya juga
dilipatgandakan berkahnya sebagaimana amal mujahid dilipatgandakan.” Kesempatan
untuk beramal shalih di saat ribath lebih besar daripada berperang, karena
murābith bisa shalat, shaum, membaca, mengajar, dsb., dengan mudah, sementara
pejuang sering disibukkan oleh sengitnya pertempuran, di mana dalam beberapa
kasus bisa menyebabkan dirinya membatalka shaum wajib dan menangguhkan shalat
fardhu.
Ayat yang
disebutkan di atas (Al-‘Ankabuut : 69) memperlihatkan bahwa mencari ilmu
sementara beribath akan dirahmati dengan bimbingan Allah bagi sang hamba.
Seorang murābith dapat menghafal Al-Qur’an, belajar tafsir, menghafal hadits,
dan mempelajari maknanya. Dia bisa mempelajari tauhid, iman, adab, zuhud, fiqh,
sirah… Dan ketika dia memohon kepada Allah agar bisa mengamalkan apa yang telah
dipelajarinya, niscaya dia akan mendapatkan do’anya dikabulkan dan petunjuk
yang diharapkan akan tercapai. Ribathnya – insya Allah – akan menjadikan ilmu
tetap bersemayam di dalam kalbunya dan pengaruhnya terlihat pada lisan dan
anggota badannya. Demikian pula, berbagai hadits memperlihatkan bahwa ribathnya
akan melipatgandakan rahmat pada aktivitas ibadah lain yang dilakukannya di
saat ia berada di pos perbatasan.
Ribath dan Jalan Menuju Syahadah
Sejak bangkitnya
jihad terjadi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, para pemimpin jihad telah
mengatakan bahwa jihad – pada tingkat individu – mengandung rute jalan ke arah
syahadah. Seseorang pertama kali berhijrah ke negeri jihad (sekarang Darul Islam),
kemudian berbai’at yang diikuti dengan ketaatan (sam’ dan thā’ah) kepada amir
(sekarang Khalifah) serta mengikatkan diri kepada jama’ah (sekarang Khilafah),
lalu berlatih (i'dād) untuk tujuan jihad, lalu bersabar dalam ribath selama
berbulan-bulan, melaksanakan tugas menjaga (ḥirāsah)
selama berjam-jam yang tak terhitung, lalu berperang (qitāl) di medan tempur
dan membunuh (qatl) siapa saja di antara musuh kafir, dan akhirnya meraih
syahadah. Rute ini didasarkan pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah[3], saling
menghubungkan di antara sesama amal ini, dasar pengalaman yang didapatkan dari
hidup dengan jihad dari hari ke hari, dan pengamatan atas syuhada’ dan kafilah
mereka. Tentu saja, selalu ada pengecualian, seperti muhajir yang mendapatkan
syahadah selama berlatih di kamp atau murābith yang mendapatkannya pada hari
pertama dalam ribathnya. Akan tetapi, ini adalah rute perjalanan yang harus
dipegang setiap mujahid, supaya ia mendapatkan hasil maksimal dari buah
jihadnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin seseorang diharapkan kesabarannya di
dalam medan
pertempuran yang dahsyat sementara ia tidak bertahan dengan kesulitan-kesulitan
dalam beribath?
Semoga Allah
(Ta’ala) menganugerahkan setiap Muslim keberkahan menjalankan ribath di
garis-garis depan Khilafah dan kesabaran yang diperlukan untuk tetap teguh
hingga ia bertemu dengan-Nya.
Sumber:
Majalah DABIQ Edisi #9
No comments:
Post a Comment