NASIHAT LUKMAN HAKIM: "WAHAI ANAKKU, TIADA AMALAN SOLEH TANPA KEYAKINAN DENGAN ALLAH TAALA. SESIAPA YANG MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG LEMAH MAKA AMALANNYA JUGA MENJADI CACAT."

Blogger Widgets Blogspot Tutorial

Saturday 3 October 2015

KERJASAMA DI TINGKAT FRONT





Sambungan:
PERSEKONGKOLAN KUFFAR MEMERANGI DAULAH ISLAMIYAH


Sekalipun kerjasama salibis Barat dengan Iran, Suriah, dan Rusia tidak dapat dipungkiri, mereka berusaha untuk melemahkannya secara resmi demi menyembunyikan peran mereka dalam perang Shofawiy melawan Muslimin. Di sini kami memberikan beberapa wawasan mengenai hubungan ini, walaupun perkara tersebut tampak lebih terang daripada matahari di siang bolong.


Sebelum operasi 11 September yang berbarokah sekalipun, Amerika telah bekerjasama dengan Iran lewat kerjasama mereka di bawah PBB bernama “Siz Plus Two Group”, yang mana bagian dari makar melawan mujahidin Khurosan. 

Pasca 11 September, kerjasama berkembang menjadi apa yang dikenal dengan nama “Geneva Contact Group” selama pemerintahan salibis George W. Bush. Kerjasama itu mengharuskan Iran menyediakan tenaga intelijen bagi para salibis, membangun hubungan antara para salibis dan kelompok “Aliansi Utara” di Afghanistan dan menangkap mujahidin yang berupaya melewati perbatasan Iran dalam perjalanan mereka ke Kurdistan Iraq atau tujuan lainnya. 

Iran menyediakan beberapa pelabuhan dan bandara militernya bagi misi salibis, “Pasukan Penjaga Revolusioner Islam”-nya bekerjasama dengan Pusat Operasi Khusus AS dan CIA di Afganistan, dan keterlibatannya dalam pembentukan rezim boneka Afghanistan yang murtad. Bulan-bulan selanjutnya mengantarkan pada invasi Amerika atas Iraq, sekali lagi pihak Amerika bekerjasama dengan Iran, tetapi kali ini sebagian besar dilakukan melalui Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran Inggris. Kerjasama mencapai puncaknya melalui pembentukan rezim Shofawiy Iraq yang pada dasarnya adalah boneka Iran.[6]


Pada “6 November 2014,” “Wall Street Journal” mengeluarkan artikel berjudul “Obama Wrote Secret Letter to Iran’s Khamenei about Fighting Islamic State – Presidential Correspondence with Ayatollah Stresses Shared U.S.- Iranian Interests in Combating Insurgents, Urges Progress on Nuclear Talks” (“Obama Menulis Surat Rahasia kepada Pemimpin Iran Khamenei terkait Memerangi Daulah Islamiyyah – Surat Menyurat Presiden dengan Ayatullah Menekankan Pembagian Kepentingan AS-Iran dalam Menyerang Pemberontak, Menginginkan Perkembangan dalam Pembicaraan Kesepakatan Nuklir”). Di dalam artikel tersebut, mereka melaporkan bahwa, “Secara rahasia, Obama menulis surat yang ditujukan pada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei” dan bahwasanya suratnya tersebut “menjelaskan sebuah kepentingan bersama dalam memerangi kelompok militan Daulah Islam di Iraq dan Syam.” Surat itu “ditujukan untuk melatarbelakangi perang melawan Daulah Islam dan mendorong para pemimpin spiritual Iran semakin dekat pada kesepakatan nuklir” dan menekankan “bahwa kerjasama apa pun terkait Daulah Islamiyyah sebagian besar bergantung pada Iran untuk mencapai persetujuan komprehensif dengan kekuatan global dalam program nuklir masa depan Iran.” Surat itu juga “menandai setidaknya untuk keempat kalinya Obama menulis surat kepada pemimpin politik dan spiritual Iran paling kuat semenjak menduduki kantor kepresidenan pada 2009 dan berjanji untuk mengadakan hubungan dengan pemerintahan Islam Teheran” dan “menggarisbawahi bahwa Obama memandang Iran sebagai negara penting… bagi kampanye militer dan diplomasinya untuk mendesak Daulah Islamiyyah dari wilayah-wilayah yang direbutnya.” Melalui surat itu, Obama berusaha “untuk mengurangi perhatian Iran mengenai masa depan sekutu dekatnya, Presiden Bashar al Assad dari Suriah” dan memastikan kembali pada Iran bahwa “operasi militer AS di Suriah tidak menargetkan Assad atau pasukan keamanannya.” Mereka juga melaporkan bahwa “pemerintahan Obama mengadakan pembicaraan rahasia dengan Iran di ibukota Oman Muskat pada pertengahan 2012”  dan “Sekretaris pers Gedung Putih Josh Earnest… mengakui para pejabat AS di masa lalu telah membahas perang melawan Daulah Islamiyyah bersama para pejabat Iran di sela-sela pembicaraan nuklir internasional. Dia menambahkan, negosiasi tetap berpusat pada program nuklir Iran.” Mereka juga melaporkan bahwa, “Obama mengirim dua surat kepada pemimpin tertinggi Iran yang berusia 75 tahun itu selama paruh pertama tahun 2009, menyerukan perbaikan hubungan AS-Iran… 

Hubungan AS-Iran telah mencair dengan sebenar-benarnya sejak pemilu Presiden Hasan Rouhani pada Juni 2013. Dia dan Obama saling menelepon selama 15 menit pada September 2013, pun Tuan Kerry dan Zarif secara reguler telah mengadakan pembicaraan langsung mengenai diplomasi nuklir dan permasalahan-permasalahan regional” dan “Departemen Luar Negeri telah mengkonfirmasi bahwa para pejabat senior AS telah melakukan pembahasan mengenai Iran dengan Zarif di sela-sela negosiasi nuklir di Wina. Para diplomat AS juga telah mengirim pesan ke Teheran via pemerintahan Abadi di Baghdad dan melalui kantor Ayatullah Tinggi Iraq Ali as Sistani, salah satu pemimpin agama Syi’ah paling kuat di dunia. Menurut para pejabat AS, di antara pesan yang disampaikan ke Teheran ialah operasi militer AS di Iraq dan Suriah tidak bertujuan untuk melemahkan Teheran atau para sekutunya. ‘Kami mengirim pesan ke Iran melalui pemerintah Iraq dan al Sistani bahwa tujuan kami ialah melawan ISIS,’ kata seorang pejabat senior AS yang menjelaskan pembicaraan tersebut. ‘Kami tidak memanfaatkan hal ini sebagai kesempatan untuk menduduki kembali Iraq atau meruntuhkan Iran.’”

Setelah surat ini, pemimpin Rofidhoh Khamenei menjawab sendiri dengan selembar surat kepada Obama. “Wall Street Journal” melaporkannya di dalam artikel tertanggal “13 Februari 2015” berjudul “Iran’s Ayatollah Sends New Letter to Obama amid Nuclear Talks” (“Ayatullah Iran Mengirim Surat Baru kepada Obama di tengah-tengah Pembicaraan Nuklir”) bahwa Khamenei merespon positif dengan surat yang mengupayakan untuk mencari hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat dan kerjasama lebih lanjut melawan Daulah Islamiyyah.

Akan tetapi, sebenarnya kerjasama sudah terjalin di lapangan untuk beberapa waktu. Pada “31 Agustus 2014,” “New York Times” menerbitkan artikel berjudul“U.S. and Iran Unlikely Allies in Iraq Battle” (“AS dan Iran adalah Sekutu yang Sulit Dipercaya di dalam Perang Irak”). Mereka melaporkan bahwa seorang pejabat senior pemerintahan AS berkata, “Kami tidak berkoordinasi dalam bentuk apa pun dengan milisi-milisi Syi’ah – tetapi ia menyebut kemungkina terjadi dengan ISF [‘Pasukan Keamanan Iraq’],” lalu komentarnya sebagai berikut, “Namun diketahui betul bahwa milisi-milisi Syi’ah telah berperang bersama tentara Iraq selama beberapa bulan terakhir ketika ancaman ISIS semakin nyata.” Kemudian di dalam artikel itu mereka berkata bahwa “pemerintahan Obama telah berusaha menghindar agar tidak terlihat berpihak dalam perang sektarian, khususnya karena milisi-milisi Syi’ah ditakuti oleh orang-orang Sunni Iraq. 

Akan tetapi, di akhir minggu ini, kenyataan di lapangan mengesampingkan permasalahan apa pun mengenai dukungan bagi milisi-milisi tersebut secara efektif.” Intinya, pihak Amerika bekerjasama dengan Iran, militernya, dan milisinya, namun dilakukan melalui rezim Shofawiy Iraq – meniru perbuatan orang-orang Yahudi yang bekerja tapi “tidak bekerja” pada hari Sabtu meskipun ada larangan, dan karenanya mereka diubah menjadi kera dan babi. Perbuatan ini serupa dengan klaim Jabhah Jawlaniy, yang mana mereka mengaku tidak bekerjasama dengan thowaghit ketika bekerjasama dengan faksi-faksi thowaghit…

Adapun kerjasama Amerika dengan rezim Suriah, maka hal ini telah terjadi semenjak program penerjemahan AS yang mengetahui banyaknya mujahidin yang dikirim ke Suriah hanya untuk kemudian disiksa di tangan Ba’athist Nushairiyyah atas nama pihak Amerika. Rezim Suriah juga menjadi dalang penghukum semua pendukung jihad di Suriah dalam melawan Amerika di Iraq di masa bangkitnya gerakan Shohawat pro Amerika. Banyak faksi Shohawat menempatkan pimpinan mereka di Suriah dan isi khutbah-khutbah Jum’at digiring untuk mendukung mereka. Kerjasama AS-Suriah menjadi sangat nyata akhir-akhir ini dalam serangan udara salibis. “Washington Post” melaporkan pada tanggal “23 September 2014” dalam artikel berjudul “Syria Informed in Advance of U.S.-Led Airstrikes against Islamic State” [Berbagi Informasi dengan Suriah dalam Pergerakan Serangan Udara Pimpinan AS Melawan Daulah Islamiyyah] bahwa seorang juru bicara wanita di Departemen Luar Negeri mengatakan, “Amerika Serikat berbagi informasi dengan Suriah dalam pergerakan serangan udara membombardir target-target tertentu termasuk pertahanan Daulah Islamiyyah.” Artikel tersebut menambahkan bahwa hal ini “menandai diperlihatkannya interaksi yang langka antara Washington dan wakil-wakil Presiden Suriah Bashar al Assad. … Letnan Jenderal Militer William C. Mayville Jr., direktur Pentagon untuk operasi militer, menggambarkan radar militer Suriah bertindak ‘pasif’ selama terjadinya serangan udara, tidak ada upaya untuk membalasnya.… pemberian target terkesan lebih kecil tapi penting oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang telah memberikan dukungan diplomatik dan militer terbatas kepada para pemberontak yang berusaha menggulingkan Assad. 

Perluasan serangan udara pimpinan AS ke Suriah sekarang bisa membuka hubungan baru dengan pemerintahan Assad … Kantor berita pemerintah Suriah Syrian Arab News Agency (SANA) mengatakan, Amerika Serikat menginformasikan perwakilan Suriah ke Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pihaknya mengadakan serangan udara. [Juru bicara wanita Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki mengkonfirmasikan adanya kontak tersebut tetapi tidak mengatakan kapan terjadinya.” Artikel tersebut juga merujuk sebuah laporan “SANA” yang menyatakan Menteri Luar Negeri John Kerry telah mengirim surat kepada Walid Muallem (menteri luar negeri rezim Nushairiyyah) yang memberitahukan rencana para salibis untuk mulai menyerang posisi Daulah Islamiyyah.

Menurut sebuah laporan Reuters pada tanggal yang sama berjudul “Syria’s U.N. Envoy Says Told of Airstrikes by Samantha Power” (“Duta Besar PBB untuk Suriah Mengatakan Adanya Pemberitahuan Serangan Udara oleh Samantha Power”), Duta Besar PBB untuk Suriah Bashar Ja’afari menginformasikan Reuters pada hari Selasa bahwa dia secara pribadi diberitahu oleh Duta Besar AS Samantha Power bahwa serangan udara yang akan segera terjadi oleh AS dan Arab menargetkan wilayah Suriah beberapa jam sebelum waktu yang ditetapkan. Ja’afari berkata bahwa Power memberitahu dirinya sebagai tambahan bahwa ‘kami berada dalam koordinasi yang dekat dengan Iraq.’ Utusan AS mengkonfirmasikan bahwa Power telah memberitahu Ja’afari.”

Pernyataan ini kembali diulangi oleh thoghut Bashar dalam sebuah wawancara dengan BBC pada tanggal “10 Februari 2015.” Di dalam artikel berjudul “Assad Says Syria Is Informed on Anti-IS Air Campaign” (“Assad Mengatakan bahwa Suriah Diberitahu mengenai Serangan Udara Anti-IS”), pihak BBC melaporkan, “Presiden Suriah Bashar al Assad mengatakan bahwa pemerintahannya menerima pesan dari koalisi pimpinan AS untuk memerangi kelompok jihad, Daulah Islamiyyah. Assad mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada kerjasama langsung sejak dimulainya serangan udara di Suriah pada bulan September. Akan tetapi, kelompok-kelompok ketiga – di antaranya Iraq – membagi ‘informasi’ … mengenai serangan mendadak oleh pesawat-pesawat tempur AS dan Arab atas Suriah.”

Amerika juga melayani kepentingan rezim Suriah dengan mendukung PKK, sebuah partai yang bersekutu dekat dengan pihak rezim semenjak awal revolusi bersenjata di Syam dan terus berperang bersama di barisan rezim di Wilayah al Barakah. Amerika juga menuntut untuk melindungi rezim Ba’ats dan tentaranya agar menjamin suatu transisi ke arah negara pluralis yang sesuai dengan Dien yang dianut Amerika. Syarat mereka sederhana sekali; menuntut thoghut Asad diganti tetapi rezim dan tentaranya tetap utuh. Perbincangan ini kemudian ditanggapi serius di atas meja perundingan dengan kelompok murtad Koalisi Nasional Suriah dan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

Kabar terkait Amerika yang melayani kepentingan rezim Suriah juga disoroti oleh mantan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel. “Washington Times” melaporkan pada “30 Oktober 2014” dalam artikel berjudul “Syria Airstrikes Spur White House Infighting over Benefit to Assad” (“Serangan Udara Suriah Membuat Peperangan yang Dilakukan Gedung Putih Menguntungkan Assad”) bahwa “Menteri Pertahanan Chuck Hagel mengakui untuk pertama kalinya pada hari Kamis bahwa serangan udara pimpinan AS melawan Daulah Islamiyyah akan menguntungkan Presiden Suriah Bashar Assad … ‘Ya, Assad mengambil beberapa keuntungan,’ kata Hagel kepada para wartawan di Pentagon … Sembari menggambarkan ruwetnya keadaan di Suriah, Hagel berkata bahwa pemerintah terus meminta untuk menggulingkan Assad meskipun kenyataannya pemerintah justru membantunya.” Laporan tersebut menambahkan bahwa sebuah sumber pemerintah memberitahukan “pemikiran yang logis di antara beberapa orang di dalam pemerintahan ialah dengan diserangnya aset Suriah, maka hal itu akan merusak pembicaraan masalah nuklir antara AS dan Iran, sekutu dekat Assad.”


Bersambung 







No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Nasihat Lukman Al-Hakim: “Anakku, apabila sesiapa datang kepada kamu dengan aduan bahawa si anu telah mencabut kedua-dua biji matanya dan kamu lihat dengan mata kepala sendiri bahawa kedua-dua biji matanya tercabut, namun janganlah kamu sampai kepada sesuatu kesimpulan sebelum kamu mendengar pihak yang lain. Tidak mustahil orang membuat aduan itulah yang mula-mula mencabut mata orang lain, boleh jadi sebelum kehilangan kedua-dua biji matanya dia telah mencabutkan empat biji mata orang lain.”