NASIHAT LUKMAN HAKIM: "WAHAI ANAKKU, TIADA AMALAN SOLEH TANPA KEYAKINAN DENGAN ALLAH TAALA. SESIAPA YANG MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG LEMAH MAKA AMALANNYA JUGA MENJADI CACAT."

Blogger Widgets Blogspot Tutorial

Monday, 10 November 2014

LARANGAN MENYEBARKAN BERITA TANPA MENELITI KEBENARANNYA



Larangan menyebarkan berita
tanpa meneliti kebenarannya
Oleh: Abu Abdillah Fatih Palestin

"Sesungguhnya segala puji hanya kepada Allah, Rabb semesta alam. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad s.a.w. tercinta, keluarganya, para sahabat r.a., dan kaum muslimin semuanya. 

Ya Ilahi, satukanlan mujahidin Syam. Pertolongan dan kemenangan datang dari-Mu.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang, cengkeraman musuh dan rasa gembira musuh atas penderitaan kami. 

Ya Allah Pencipta langit dan bumi, pemilik keagungan, kemuliaan, dan keperkasaan yang tiada terkira. Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat, dari pasangan yang membuatku beruban sebelum waktunya, dari anak yang menjadi tuan bagiku, dari harta yang menjadi siksa bagiku, dari teman ahli makar yang matanya melihatku tetapi hatinya mengincarku; jika ia melihat suatu kebaikan maka ia memendamnya, dan jika ia melihat suatu keburukan maka ia menyiarkannya.

Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." 

Adalah ayat yang agung, yang sangat spesifik berbicara tentang menyebarkan berita. Sama halnya dengan beberapa ayat di dalam Al-Quran surat Al-Hujurat. Maka hendaknya para wartawan dan jurnalis berpedoman pada ayat-ayat ini. Allah swt berfirman;


 A083


“Dan apabila datang kepada mereka sesuatu berita mengenai keamanan atau kecemasan, mereka terus menghebahkannya; padahal kalau mereka kembalikan sahaja hal itu kepada Rasulullah dan kepada - "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) di antara mereka, tentulah hal itu dapat diketahui oleh orang-orang yang layak mengambil keputusan mengenainya di antara mereka; dan jika tidaklah kerana limpah kurnia Allah dan belas kasihanNya kepada kamu, tentulah kamu (terbabas) menurut Syaitan kecuali sedikit sahaja (iaitu orang-orang yang teguh imannya dan luas ilmunya di antara kamu).” ( Al-Quran, surah An-Nisaa'  ayat 83 )

Tafsir Ibnu Katsir, Surat An-Nisa Ayat 83

Firman Allah swt: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.” 

Ibnu Katsir berkata, ini adalah pengingkaran terhadap orang yang terburu-buru dalam menyimpulkan berbagai urusan, sebelum memastikan kebenarannya, lalu ia memberitakan dan menyebarluaskannya, padahal bisa jadi perkara itu tidak benar.[1]

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini juga menukil hadis yang diriwayatkan Imam Muslim. Ibnu Katsir berkata, dalam mukadimah kitab Shahihnya, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

Cukuplah seseorang itu (dikatakan) pendusta, jika ia selalu menceritakan setiap hal yang didengarnya.” [2] Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam (pembahasan) Kitabul Adab dari Kitab Sunan beliau.[3]

Ibnu Katsir melanjutkan dalam ash-Shahihain, diriwayatkan dari Al-Mughirah Rasulullah s.a.w. melarang ‘qila waqala’ (katanya, katanya),[4] yakni orang yang sering menyebarkan perkataan orang lain, tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu, tanpa memperhatikannya, dan tanpa mencari tahu kejelasannya (tentang kebenarannya).[5]

Ibnu Katsir berkata, di dalam Kitab Sahih disebutkan, (Rasulullah s.a.w. bersabda): “Barangsiapa menceritakan sebuah berita, padahal dia tahu bahwa berita itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari para pendusta.” [6]

Ibnu Katsir menulis, akan kami kemukakan hadis ‘Umar bin Khatab r.a. yang disepakati kesahihannya (oleh Imam Bukhari dan Muslim). Ketika sampai berita kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. telah menceraikan istri-istrinya, ia mendatangi rumah beliau. Selanjutnya ia masuk ke dalam masjid. Di sana banyak juga mengatakan demikian. Umar tidak sabar hingga mohon izin kepada Nabi s.a.w., lalu bertanya kepada beliau: “Benarkah engkau menceraikan istri-istrimu?” Nabi s.a.w. menjawab: “Tidak.” (Dalam hadis itu disebutkan) “Aku (Umar) pun berkata: Allahu Akbar.” Kemudian ia menyebutkan hadis itu selengkapnya.

Adapun dalam Sahih Muslim disebutkan,: “Aku (Umar) bertanya: ‘Apakah engkau telah menceraikan mereka? Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku pun berdiri di depan pintu masjid seraya berteriak sekeras-kerasnya: ‘Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya.’ Lalu turun ayat; “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidak karena karunia dan Rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” Maka akulah yang mencari kebenaran (istinbath) tentang perkara itu.[7]

Ibnu Katsir berkata, makna dari ungkapan ‘yastambitunahu’ adalah mereka mengeluarkan (berita itu) dari sumber-sumbernya. Dalam bahasa Arab dikatakan: ‘astambatarrajulu’ayna’ (Seseorang meng-instimbath mata air), artinya ia menggali dan mengeluarkan (air) dari dasarnya.

Kemudian Firman Allah: “Kalau tidak kerana kurniaan dan Rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia mengatakan bahwa maksudnya: “Yaitu kaum mukminin.”

Demikian yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir,[8] dalam menafsirkan ayat ini. Semoga Allah Ta’ala menyayanginya dan kita.

Tafsir Imam Al-Qurthubi, Surat An-Nisa Ayat 83

Imam Al-Qurthubi menulis, Firman Allah swt; “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan.” Maknanya adalah, apabila mereka mendengar berita-berita tentang keamanan seperti keadaan kaum muslimin dan memerangi musuh-musuh mereka, “ataupun ketakutan” kebalikan dari keamanan, ‘adzaa’uubih’ maksudnya mereka menyiarkannya, menampak-nampakkannya, dan menceritakannya padahal mereka belum melihat hakikat sebenarnya.[9]

Adh-Dhahak dan Ibnu Az-Zubair berkata: ini berkaitan dengan orang-orang munafik, maka mereka dilarang melakukannya, sebab hal itu membuat mereka menyebarkan berita bohong sehingga membuat orang lain ketakutan.[10]

Firman Allah swt: “Dan kalau sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka.” Imam Al-Qurthubi berkata, maksudnya tidak menceritakan dan mnyebarkannya sampai Nabi saw yang menceritakan dan menyebarkannya ataupun ulil amri mereka yaitu: para ulama dan ahli fiqih. Pendapat ini berasal dari Al-Hasan, Qatadah dan lainnya. As-Sudi dan Ibnu Zaid menerjemahkan ulil amri adalah: wakil-wakil mereka. pendapat lain menyebutkan: "Para pemimpin pasukan." [11]

Al-Qurthubi menulis, Firman Allah swt: “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),” mereka meminta berita itu disebarluaskan, atau agar mereka mengetahui apa yang pantas disebarkan dari berita tersebut, dan apa yang pantas diseumbunyikan.[12]

Kami cukupkan apa yang terdapat dalam tafsir Imam Al-Qurthubi sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala menyayanginya dan kita.


Pelajaran Yang Wajib Diambil Media Massa

Dari pemaparan ayat tadi, maka ada beberapa pelajaran yang wajib diambil oleh media massa dan seluruh kaum muslimin. Sebab di dalam ayat tersebut terdapat makna yang mengandung larangan sekaligus anjuran. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama tadi. Kandungan dan ayat ini juga sangat jelas dan terang benderang, yang berkaitan dengan penyebaran suatu berita. Maka kami dapat menyampaikan beberapa pelajaran sebagai berikut:

Suatu Berita Harus Diambil dari Sumber-Sumbernya

Media massa atau wartawan diharuskan mengambil berita dari sumber-sumbernya. Bukan dari selainnya. Perkara ini supaya berita yang disebarkan memiliki nilai kebenaran, memiliki informasi yang jelas. Sehingga dapat dipercaya oleh orang yang mendengar, melihat, atau membaca berita tersebut, dan lebih daripada itu tidak mendatangkan kemudharatan bagi orang banyak. Karena jika berita diambil dari bukan sumbernya, maka nilai berita itu akan condong kepada dusta atau kebohongan. Sebab yang bukan sumbernya dapat dipastikan tidak mengetahui, sehingga informasi atau berita tersebut dapat bernilai dugaan atau hanya prasangka belaka. Sedangkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berprasangka atau menduga-duga.

Perkara yang sangat mendatangkan bahaya dalam masalah ini adalah sistem pengembangan media massa sekarang, iaitu kerja sama antara media massa dalam pemberitaan. Misalkan media massa di sebuah negara melakukan kerjasama dengan media massa di negara lain. Atau di masih dalam sebuah negara. Mereka saling menukar berita dengan sistem bisnis iaitu membeli berita dengan cara berlangganan sehingga boleh mengambil berita di dalam bank berita mereka, atau sistem kerja sama dengan saling memberikan berita namun tidak melibatkan wang. Kebanyakan media massa sekarang melakukan dua sistem di atas, namun banyak juga yang hanya mengambil berita dari media massa lain, tanpa adanya kerjasama, kerana perkara itu dianggap lazim, sebab dibolehkan oleh media massa bersangkutan, atau dia tidak marah bila dinukil beritanya, baik antara negara mahupun masih dalam sebuah negara. Ini kerana ada media massa yang membolehkan mengambil beritanya, asalkan menulis media asalnya.

Kami katakan sangat boleh mendatangkan bahaya kerana, berita yang ditulis oleh media massa yang menukil dari media massa lain tersebut sudah tentu bukan mengambil berita dari sumbernya. Meskipun media massa yang diambil berita darinya, tertera dalam beritanya bahwa berita tersebut dari sumbernya; ia mewawancarai sumber berita secara langsung; atau berada dalam sebuah peristiwa secara langsung. Kami katakan demikian, sebab pengambilan berita tersebut menunjukkan bahwa sumber media massa yang mengutip berita tersebut adalah, media massa yang dikutib berita darinya. Jadi bukan merupakan sumber langsung, melainkan sumber kedua. Ini yang dinamakan sistem sanad dalam ilmu hadis. Kalau dalam ilmu hadis, bukan hanya sanad yang diteliti, tapi juga matan. Maka hendaknya media massa dan wartawan dapat merujuk.

Maka langkah yang harus ditempuh wartawan atau media massa yang telah mengambil berita dari media massa lain, sebagaimana di atas, adalah melakukan verifikasi terhadap sanad tersebut, iaitu media massa yang diambil berita darinya. Media massa itu harus diverifikasi, wartawannya juga harus diverifikasi. Jangan sampai itu adalah media fasik, wartawan fasik, apalagi kafir. Maka berlaku kepada mereka QS. Al-Hujurat ayat 6.

Juga harus meneliti tentang muatan (kandungan) beritanya. Langkah ini ditempuh, apabila wartawan atau media massa tersebut mengalami uzur yang tidak memungkinkannya mengambil berita dari sumber aslinya.

Kami katakan demikian, kerana, media massa yang mengutip berita dari media massa lain belum mengetahui secara pasti dan jelas tentang siapa wartawan yang menuliskan berita tersebut, bagaimana sistem kerja redaksi dalam media massa tersebut, apa saja yang menjadi pedoman media massa tersebut dalam bekerja, apa motivasi wartawan dan media massa menulis berita tersebut. Ingat bahwa kondisi emosional dan psikologi wartawan dapat mempengaruhi isi beritanya. Dan ingat pula bahawa judul berita itu ditentukan oleh wartawan, redaktur, atau kerana kebijakan keredaksian. Maka itu, semua harus boleh dipastikan supaya adanya kejelasan dari berita tersebut. Perkara itu berlaku antara media massa yang tidak saling mengenal dengan jelas.

Kalau kita membuka media massa 'online', maka dengan mudah akan menemukan berita-berita luar negeri dengan sistem pengutipan, atau pengambilan berita sebagaimana yang telah kami jelaskan, dengan jumlah yang banyak. Bahkan ada pemberitaan tentang Mesir yang diberitakan oleh salah satu media online di Indonesia, yang mengutip dari Washington Post, salah satu media Amerika, tentang berita pembakaran 60 Gereja di Mesir pada Ogos 2013. Disebutkan oleh laporan Washington Post bahwa pembakaran itu tidak dilakukan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin namun diduga dilakukan oleh kelompok Islamis. Berita semacam ini sama sekali tidak boleh dipercayai:

Pertama adalah, media massa yang mengutip tidak mengambil berita dari sumber aslinya. 

Kedua, Washington Pos menuliskan berita dugaan tanpa ada bukti, melainkan hanya analisis, sedangkan analisis itu juga dugaan. 

Ketiga, narasumber yang digunakan Washington Pos telah menuduh kelompok Islamis, tanpa adanya bukti, melainkan prasangka. 

Keempat, Washington Pos adalah media massa fasik lagi kafir. Bagaimana mungkin berita yang sangat penting, namun dikutip dari media yang fasik lagi kafir? Apalagi jika wartawannya adalah orang fasik? Sedangkan Allah Ta’ala berfirman:


A006


“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini - dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) - sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.” ( Al-Quran, surah Al-Hujuraat ayat 6 )


Akibat dari pemberitaan yang tidak mengambil dari sumber-sumbernya, maka kalian akan dengan mudah menemukan berita tentang gejolak Mesir, kebanyakan adalah berita dugaan, tuduhan, berita dari orang fasik lagi kafir, berita dusta dan lainnya. Sehingga tidak bisa membedakan mana berita benar, mana berita salah. Apa yang kami ungkapkan ini, sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:


“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.” (QS. An-Nisaa, 4: 83).

Kami kira ayat ini berkaitan dengan apa yang mereka beritakan itu. Lihatlah bagaimana media massa fasik dan kafir menyudutkan kaum muslimin dengan isu terorisme. Ketika Fira’aun Bashar Al-Asad dan kaum Rafidhah serta Nushairiyah menuduh kelompok jihad di Suriah sebagai teroris, maka media massa di Indonesia juga ikut-ikutan menyebut mereka sebagai teroris. Juga media masa di negara-negara lain. Padahal Bashar Assad dan Rafidhah, Nushariyah, yang jelas membantai kaum muslimin di Suriah tidak diberitakan sedahsyat apa yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan pasukan jihad mereka. Amerika itu ekstrimis, Amerika itu yang radikal. Bukan Mujahidin!!.

Lihatlah bagaimana CNN, BBC, dan Time, IB Times, dan lainnya memberitakan Kobane, padahal mereka tidak berada di sana. Maka Daulah Islamiyyah merilis video yang melaporkan berita langsung dari dalam Kota Kobane. Video ini membuat tumpul dan malu media-media barat.

Beberapa media Islam di Indonesia mulai memberitakan pencopotan Khalifah, pada hal sumber beritanya tidak jelas. Mereka tidak mengambil berita dari sumbernya. Sekiranya mereka mengamalkan Al-Quran surat An-Nisa ayat 83. Semoga Allah Ta’ala memaafkan mereka. Laahaula walaha quwwata illa billah.

Kita sebagai kaum muslimin dilarang oleh Allah Ta’ala untuk mengikuti orang-orang atau media massa barat, media massa fasik, media massa kafir, yang mana mereka suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:


A010
A011
A012


“Dan janganlah engkau (berkisar dari pendirianmu yang benar, dan jangan) menurut kemahuan orang yang selalu bersumpah, lagi yang hina (pendapatnya dan amalannya), -

Yang suka mencaci, lagi yang suka menyebarkan fitnah hasutan (untuk memecah belahkan orang ramai), -

Yang sering menghalangi amalan-amalan kebajikan, yang melanggar hukum-hukum agama, lagi yang amat berdosa, -“ ( Al-Quran, surah Al-Qalam ayat 10-12 ) 


Maka hendaknya kaum muslimin berhati-hati untuk membaca apa yang mereka beritakan. Kerana apa yang mereka beritakan, jangan sampai penuh dengan kebatilan, sebab media mereka tidak dibangun di atas pondasi Islam yang kokoh, melainkan bisnis yang menjadi panglima, agama mereka, serta beragam motivasi dan semangat yang dibangun di atasnya yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah.

Larangan Menyebarkan Berita Tanpa Meneliti Kebenarannya, Memperhatikannya, Dan Tanpa Mencari Kejelasannya.

Salah satu cara untuk meniliti tentang kebenaran sebuah berita adalah, mengambil berita langsung dari sumbernya. Kemudian memperhatikan dengan saksama isi berita tersebut sehingga berita itu menjadi jelas. Kerana jangan sampai sudah benar kita mengambil berita dari sumbernya, namun isi atau muatan berita tersebut mengandungi kebatilan. Misalkan isi berita tersebut menyeru manusia kepada syaitan; isi berita yang membela ajaran-ajaran sesat, membela kaum kufar, membela syirik, membela bid’ah, membela orang-orang yang melakukan kemaksiatan, membela para taghut, maka hendaknya wartawan atau media massa melihat pada momentum berita tersebut, apakah dengan menuliskannya akan mendapatkan maslahat bagi kaum muslimin, atau akan mendatangkan murka kepada Allah Ta’ala.

Larangan Menerbitkan Dan Menyebarkan Berita ‘Qala, Waqila.’ (Katanya, Katanya../Desas-Desus).

Inilah ajaran-ajaran Islam yang mulia yang meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang luput dari Ilmu Allah. Dan di antara Ilmu Allah yang Paling Agung yang diturunkan kepada manusia adalah Al-Quran. Sesungguhnya Ilmu Allah itu tidak terbatas. Maka berimanlah wahai manusia. Rasulullah s.a.w. melarang kita untuk saling membicarakan 'qala waqila' atau yang disebut desas-desus.

Imam Al-Bukhari rahimahullah, dalam sahihnya menuliskan sebuah hadis; “Bahwa Muawiyah menuliskan surat kepada Al-Mughirah: “Tuliskanlah buatku sebuah hadis yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w..” Al-Mughirah menulis surat kepadanya. Al-Mughirah menulis surat kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah saw berkata saat beliau selesai dari shalat, ‘Tiada tuhan selan Allah yang Maha Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nyalah segala kekuasaan dan segala puji. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ Beliau bersabda sebanyak tiga kali. Beliau juga melarang dari pengucapan 'qala waqila' (katanya-katanya atau desas-desus -pen), banyak bertanya, menyia-nyiakan harta, menyimpan (sesuatu yang seharusnya diberikan) dan meminta (sesuatu yang tidak boleh diambil), durhaka pada para ibu, dan mengubur anak-anak wanita dalam keadaan hidup.” (HR. Al-Bukhari, No. 6473).

Ini adalah ajaran yang mulia yang mengandung keselamatan dunia dan akhirat. Rasulullah s.a.w. melarang kita untuk membicarakan desas-desus atau ‘katanya-katanya.’ Membicarakan saja tidak diperbolehkan, apalagi menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat luas. Maka perkara itu lebih terlarang lagi. Kami telah menjelaskan masalah ini pada bab sebelumnya.

Demikianlah. "Segala puji hanya kepada Allah Ta’ala yang telah memudahkan penulisan ini. Ya Allah, selamatkanlah aku, dan selamatkanlah orang lain dariku."

[1] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti; Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. An-Nisaa, 4: 83. Jilid 2, Hal. 597.

[2] HR Muslim. No. 7.

[3] HR Abu Dawud, No. 4992. [Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti; Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. An-Nisaa, 4: 83. Jilid 2, Hal. 597]

[4] Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ‘desas-desus’. Dan kami kira inilah maknanya. Karena, orang yang membicarakan desas-desus tidak ada sumber pastinya melainkan, hanya membicarakan tentang ‘katanya, katanya’. Dan informasi ini kebanyakan tidak bisa dibenarkan, atau belum diketahui kebenarannya dengan pasti. Sehingga juga bisa mengarah kepada menggunjing, tuduhan, gosip, isu.

[5] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti; Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. An-Nisaa, 4: 83. Jilid 2, Hal. 597.

[6] HR Muslim, terdapat dalam kitab Mukaddimah dalam sahihnya. Lihat Sahih Muslim. Juga diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi No. 2662. Imam Tarmidzi mengatakan hadis yang diriwayatkan tersebut hasan sahih, dan Syaikh Al-Albani mengatakan hadisnya sahih (Shahihul Jaami’ No.6199; lihat catatan kaki Sahih Tafsir Ibnu Katsir).

[7] HR Bukhari No. 5191, Muslim No. 3691.

[8] Sahih Tafsir Ibnu Katsir (Peneliti; Syaikh Al-Mubarakfuri). QS. An-Nisaa, 4: 83. Jilid 2, Hal. 597-599.

[9] Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS. An-Nur, 4: 83. Jilid 5, Hal. 688.

[10] Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS. An-Nur, 4: 83. Jilid 5, Hal. 688.

[11] Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS. An-Nur, 4: 83. Jilid 5, Hal. 689.

[12] Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS. An-Nur, 4: 83. Jilid 5, Hal. 689. 
















No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Nasihat Lukman Al-Hakim: “Anakku, apabila sesiapa datang kepada kamu dengan aduan bahawa si anu telah mencabut kedua-dua biji matanya dan kamu lihat dengan mata kepala sendiri bahawa kedua-dua biji matanya tercabut, namun janganlah kamu sampai kepada sesuatu kesimpulan sebelum kamu mendengar pihak yang lain. Tidak mustahil orang membuat aduan itulah yang mula-mula mencabut mata orang lain, boleh jadi sebelum kehilangan kedua-dua biji matanya dia telah mencabutkan empat biji mata orang lain.”