NASIHAT LUKMAN HAKIM: "WAHAI ANAKKU, TIADA AMALAN SOLEH TANPA KEYAKINAN DENGAN ALLAH TAALA. SESIAPA YANG MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG LEMAH MAKA AMALANNYA JUGA MENJADI CACAT."

Blogger Widgets Blogspot Tutorial

Sunday 14 June 2015

RIBATH SAMBIL MUNAJAT KEPADA RABBAL ALAMIN



Sabtu, 23 Mei 2015

[PENTING] KEUTAMAAN RIBATH DI JALAN ALLAH

SIYASAH SYAR'IYYAH >> SIYAR & JIHAD

بسم الله الرحمن الرحيم




Perintah Allah untuk Melakukan Ribath

Allah (Ta’ala) berfirman, {Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah/habisi (terhadap musuhmu) dalam kesabaranmu dan beribathlah dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung} [QS. Ali ‘Imran :200].

Ibnu ‘Abbas (radhiya Llāhu ‘anhumā) berkata, “{Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah} di atas ketaatan kepada Allah, {kuatkanlah kesabaranmu} terhadap musuh-musuh Allah {dan lakukanlah ribath} di jalan Allah” [Tafsīr Ibn al-Mundzir].

Abu ‘Ubaidah ibnu Al-Jarrah menulis surat kepada ‘Umar ibnu Al-Khaththab (radhiya Llāhu ‘anhumā), menyebutkan kepadanya bahwa Romawi sedang mengumpulkan pasukannya dan apa saja yang ditakutkan dari mereka. Maka ‘Umar menulis balasan yang isinya, “Ammā ba’d, sesungguhnya kesulitan apa saja yang menimpa hamba yang beriman, niscaya Allah akan memberikan kelapangan kepadanya sesudah itu. Sesungguhnya suatu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan[1]. Allah juga berfirman di dalam Kitab-Nya, {Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah (terhadap musuhmu) dalam kesabaranmu dan ribathlah dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung}” [Muwaththa` Mālik].

Al-Hasan Al-Bashri (raḥimahu Llāh) berkata ketika menjelaskan ayat tersebut, “Dia memerintahkan mereka untuk bersabar di atas agama mereka dan tidak meninggalkannya karena adanya kesulitan, kemewahan, kenyamanan, atau kemalangan. Dia memerintahkan mereka untuk menghabisi orang-orang kafir dalam kesabaran dan mengadakan ribath melawan orang-orang musyrik” [Tafsīr ath-Thabarī].

Zaid ibnu Aslam (raḥimahu Llāh) berkata, “Bersabarlah di atas jihad, atasi terhadap musuhmu dalam kesabaran, dan lakukan ribath melawan musuhmu” [Tafsīr ath-Thabarī].

Qatadah (raḥimahu Llāh) berkata, “Artinya, bersabarlah di atas ketaatan kepada Allah, kuatkan di atas kesabaran terhadap ahli kesesatan, lakukan ribath di jalan Allah {dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung}” [Tafsīr ath-Thabarī].

Muhammad ibnu Ka’ab Al-Qurazhi (raḥimahu Llāh) berkata, “{Dan lakukan ribath} melawan musuh-Ku dan musuhmu hingga dia meninggalkan agamanya menuju agamamu” [Tafsīr Ibn al-Mundzir].

Ayat tersebut adalah perintah untuk mengadakan ribath yang sudah dikenal di jalan Allah di daerah tsughūr (pos-pos perbatasan), sebagaimana ditafsirkan oleh ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dari kalangan sahabat (radhiya Llāhu ‘anhum) dan oleh Al-Hasan Al-Bashri, Zaid ibnu Aslam, dan Muhammad ibnu Ka’ab dari kalangan tabi’in (raḥimahumu Llāh).

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh) di mana Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu dengan apa Allah menghapus amal-amal burukmu dan mengangkat derajatmu? Sempurnakan wudhu’ meski dalam kesulitan (cuaca dingin dan luka ringan), perbanyak langkah menuju masjid (untuk shalat), dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat berakhir. Sesungguhnya (penantian) ini adalah ribath,” maka hadits tersebut serupa dengan hadits-hadits yang menjelaskan jihad untuk mempengaruhi seseorang dalam rangka ketaatan kepada Allah, hijrah untuk meninggalkan apa yang tidak diridhai oleh Allah, dan Islam sebagai kalimat yang baik serta memberi makan orang miskin[2]. 

Hal itu tidaklah membatasi makna ribath untuk menunggu waktu shalat ataupun makna dari kata-kata tersebut mengindikasikannya sebagai komentar bagi ayat tersebut. Atas dasar ini, Ath-Thabari (raḥimahu Llāh) berkata setelah mengutip hadits dari Abu Hurairah dalam tafsirnya, “Firman-Nya {dan lakukan ribath} maknanya ‘lakukan ribath di jalan Allah melawan musuh-musuhmu dan musuh-musuh agamamu di antara ahli syirik.’ Aku berpendapat akar kata ribath ialah mengikat (irtibāth) kuda-kuda sebagai persiapan menghadapi musuh sebagaimana musuh mereka mengikat kuda-kuda mereka dalam persiapan menghadapi mereka. Kata tersebut kemudian digunakan bagi setiap orang yang menetap di daerah tsughūr untuk menjaga orang-orang di belakangnya – di seluruh wilayah antara dia dan mereka – yaitu orang-orang yang hendak disakiti oleh musuh dengan kejahatan, baik musuh memiliki kuda yang telah diikatnya atau dia berjalan kaki tanpa hewan tunggangan untuk dirinya. Alasan mengapa kami mengatakan bahwa makna {dan lakukan ribath} ialah ‘lakukan ribath melawan musuh-musuhmu dan musuh-musuh agamamu’ ialah karena makna ini merupakan makna yang sudah dikenal di antara berbagai makna ribath. Lafaz harus dipahami menurut kelaziman manusia dan penggunaan yang sudah dikenal di antara berbagai makna yang ada. Hal ini dilakukan sebelum mengambil makna yang kurang dikenal sampai menunjukkan pada sesuatu yang berlawanan dengan penafsiran yang dibutuhkan atas lafaz tersebut menurut suatu arti yang kurang dikenal. Dalil yang mengharuskan ketundukan ini bisa berupa ayat dari Al-Qur’an, riwayat dari Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam), atau ijma’ (kesepakatan) dari ahli tafsir.”

Ibnu Qutaibaih (raḥimahu Llāh) juga berkata, “{Dan lakukan ribath} di jalan Allah. Dasar etimologi kata murābathah (ribath) ialah sebuah ikatan: Bahwa orang-orang ini mengikatkan kuda-kuda mereka dan orang-orang yang mengikatkan kuda-kuda mereka di pos perbatasan. Setiap orang menyiapkan diri bagi apa yang dibawanya. Maka kehadiran di pos perbatasan dinamai ribath”

Banyak orang yang tidak mengetahui perbedaan antara ribath (mempertahankan pos perbatasan) dan ḥirāsah (tugas menjaga). Seseorang boleh jadi sedang beribath tapi tidak ḥirāsah, seperti halnya murābith di pos garis depan tidur, makan, latihan, berbicara, membaca, atau shalat sebelum atau sesudah gilirannya untuk mengadakan ḥirāsah. Dia bisa saja seorang murābith di pos tsughūr yang sedang memasak dan bersih-bersih untuk murābith yang lainnya, menunggu dan bersiap untuk mempertahankan garis depan melawan setiap upaya kuffar untuk bergerak maju, namun tidak pernah mendapatkan giliran ḥirāsah disebabkan ia dibutuhkan untuk tugas lainnya selama ribath, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pemimpinnya. Dia adalah seorang murābith, sekalipun gilirannya untuk ḥirāsah belum datang, tidak datang untuk jangka waktu lama, atau tidak pernah datang sama sekali, selama dia dengan tulus berkomitmen atas hal tersebut jika ḥirāsah tersebut datang. Dia adalah seorang murābith sekalipun pos perbatasan yang dia jaga tidak terjadi apa-apa, walaupun balasan bagi orang yang menjaga garis depan yang berbahaya lebih besar. Dan ḥirāsah merupakan tingkat jihad yang lebih tinggi yang dianugerahkan oleh Allah (Ta’ala) kepadanya di saat ia melakukan ribath  dan menjadi kewajiban baginya jika pemimpinnya menyuruhnya demikian. Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Dua mata yang tidak akan pernah disentuh api neraka: mata yang menangis takut karena Allah dan mata yang tetap terbangun menjaga (perbatasan) di jalan Allah” [Hasan: Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas]. Suatu kehormatan yang besar bagi mata yang lelah karena menjaga kaum Muslim!
  

Keutamaan Ribath Sehari

Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Ribath sehari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya. Satu tempat di surga sebesar cemeti salah seorang di antara kamu lebih baik daripada dunia dan seisinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl ibnu Sa’ad].

Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Ribath sehari semalam lebih baik daripada berpuasa dan qiyamul lail selama sebulan. Jika dia meninggal selama ribath, maka dia akan terus mendapatkan balasan atas amalnya, akan mendapatkan rezekinya, dan akan diselamatkan dari fitnah (kubur)” [Diriwayatkan oleh Muslim dari Salman].

Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Sehari ribath di jalan Allah lebih baik daripada seribu hari berada di tempat lain” [Hasan: Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari ‘Utsman ibnu ‘Affan].

Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh) berkata, “Sehari ribath di jalan Allah lebih aku cintai daripada (shalat) pada waktu Lailatul Qadar di satu dari dua masjid: Masjidil Haram dan Masjid Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam)” [Sunan Sa’īd ibn Manshūr].

Hal yang dapat membuat seseorang memahami betap besar balasan di dalam ribath ialah memikirkan bahwa hamba-hamba Allah – termasuk para ulama – tidak akan sanggup melaksanakan amal ibadah mereka jika tidak ada murābithīn yang mempertahankan pos perbatasan. Seandainya murābithīn meninggalkan pos mereka, membiarkannya tidak terjaga, niscaya semua kota dan desa Muslim berada dalam ancaman penyerangan dan perampasan. Oleh karena itu, para ulama berkata bahwa murābith mendapatkan pahala atas semua Muslim yang beribadah kepada Allah di belakangnya, sebab ribathnya menyebabkan mereka bisa berfokus pada ibadah kepada Allah. Hal ini serupa dengan seorang Muslim yang memperhatikan keluarga seorang mujahid selama ketidakhadirannya akan mendapatkan pahala jihad dari mujahid tersebut. Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Barangsiapa menjaga urusan keluarga seorang pejuang yang berperang di jalan Allah selama ketiadaannya, maka ia telah berperang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Zaid ibnu Khalid].


Kaum Salaf dan Empat Puluh Hari Ribath

Seorang Anshar datang kepada ‘Umar ibnu Al-Khaththab (radhiya Llāhu ‘anh). ‘Umar bertanya kepadanya, “Kamu dari mana?” Dia menjawab, “Ribath.” Beliau bertanya lagi, “Berapa hari kamu ribath?” Dia menjawab, “Tiga puluh hari.” Beliau mengatakan, “Mengapa kamu tidak menyempurnakannya menjadi empat puluh?” [Mushannaf ‘Abd ar-Razzāq].

Seorang putera Ibnu ‘Umar (radhiya Llāhu ‘anhumā) melakukan ribath selama tiga puluh malam dan kembali. Maka Ibnu ‘Umar berkata kepadanya, “Aku memintamu untuk kembali dan lakukan ribath sepuluh malam lagi hingga sempurna menjadi empat puluh!” [Mushannaf Ibn Abī Syaibah].

Abu Hurairah (radhiya Llāhu ‘anh) berkata, “Sempurnanya ribath ialah empat puluh hari” [Mushannaf Ibn Abī Syaibah].

Karena atsar ini dan yang lainnya, ketika Imam Ahmad ditanya, “Apakah ada jangka waktu (yang disukai) dalam ribath?”, maka beliau menjawab, “Empat puluh hari.” Ishaq ibnu Rahawaih mengomentari, “Dikatakan beliau mengatakannya” [Masā`il al-Imām Aḥmad wa Isḥāq ibn Rāhawaih]. Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa ketika seseorang beribath, maka yang paling baik (bukan wajib) ialah dia melaksanakannya setidaknya selama empat puluh hari atau lebih sebelum pulang untuk beristirahat. Ini adalah ribath berdasarkan manhaj Salaf.


Keutamaan Mati di dalam Ribath

Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Amal setiap orang yang mati berakhir dengan kematiannya selain seorang murābith di jalan Allah. Amalnya akan bertambah baginya hingga Hari Kebangkitan dan dia akan diselamatkan dari fitnah kubur” [Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Fadhalah ibnu ‘Ubaid].

Hadit Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salman Al-Farisi (radhiya Llāhu ‘anh) yang telah disebutkan sebelumnya: “Jika dia (murābith) mati selama ribath, maka ia akan mendapatkan pahala atas amalnya terus-menerus, dia akan mendapatkan rezekinya, dan dia akan diselamatkan dari fitnah (kubur).”

Kematian ini termasuk kematian yang paling mulia dan pahala ini dijamin bagi murābith yang meninggal selama ribath, bahkan sekalipun kematiannya disebabkan penyakit, ketuaan, atau beberapa kecelakaan. Berapa besar lagi kemuliaan yang akan didapatkan bagi kematiannya ketika syahadahnya diakibatkan serangan pesawat tentara salib dan sekutu-sekutu mereka yang murtad?

Balasan pahala yang terus bertambah atas seseorang setelah mati disebutkan di dalam hadits lainnya. “Jika anak Adam mati, maka amalnya terhenti kecuali untuk tiga (hal): shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak shalih” [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah]. Balasan atas shadaqah, ilmu, atau anak (yang shalih) ini akan terus berlangsung selama shadaqah itu ada, ilmu itu bermanfaat, dan anak itu mendo’akan orang tuanya, sebagaimana terkandung dalam hadits ini dan ditegaskan oleh yang lainnya. Adapun balasan bagi kematian selama ribath terus bertambah dengan sendirinya dengan kondisi apa pun, dan ini hanya bagi seorang murābith! Pahala ini tidak termasuk syahid di medan tempur, namun bagi murābith yang bisa saja mati selama ribath karena usia yang tua dan tidur untuk istirahat! Jadi, betapa mulianya kematian seperti ini? Dan berapa besar sebuah dorongan semangat bagi seseorang untuk memohon kematian yang paling mulia  - syahadah – saat sedang ribath!


Ribath dan Jihad Terbaik

Ibnu ‘Abbas (radhiya Llāhu ‘anhumā) berkata bahwa Rasulullah (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Perkara pertama ialah kenabian dan rahmat. Kemudian akan datang khilafah dan rahmat. Kemudian akan datang kerajaan dan rahmat. Kemudian mereka akan saling menggigit karena dunia seperti keledai. Maka ikatkan diri dengan jihad. Dan sesungguhnya jihadmu yang paling baik ialah ribath. Dan sesungguhnya ribathmu yang paling baik ialah di ‘Asqalan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan isnad hasan]. ‘Asqalan adalah sebuah kota di Palestina.

Terdapat beberapa riwayat serupa dengan lafaz berbeda (seperti tambahan dan pengurangan), keduanya kata-kata dari Nabi (shallā Llāhu ‘alaihi wasallam) dan qaul sejumlah sahabat (radhiya Llāhu ‘anh) [Lihat: Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim]. Wa Llāhu a’lam. Riwayat-riwayat lainnya menunjukkan bahwa ribath menjadi jihad paling baik setelah masa kerajaan Muslim yang dirahmati di antara para khalifah, yaitu selama pemerintahan raja-raja Muslim tiran. Kekuasaan mereka terjadi sebelum masa thawaghit murtad, di mana masa mereka berakhir sudah – insya Allah – dengan berdirinya kembali Khilafah. Wa Llāhu a’lam.

Imam Ahmad (raḥimahu Llāh) berkata, “Menurut pendapatku, tidak ada yang menyamai pahala jihad dan ribath. Ribath bertujuan menjaga Muslimin dan keluarga mereka. Kekuatan terletak pada ahli garis depan dan ahli perang. Maka ribath ialah akar dan cabang jihad. Jihad lebih baik daripada ribath karena kesulitan dan kelelahannya. … Ribath yang paling baik ialah yang paling dahsyat.” [al-Mughnī].

Dengan demikian, jika tidak dibutuhkan tambahan murābithīn (yang hanya diputuskan oleh Imam), seseorang tidaklah memilih perang atas ribath dikarenakan ketidaksabaran atau alasan pribadinya. Sedangkan seseorang yang beribath secara umum dan kembali ke sana setelah perang, maka berperang di medan tempur lebih baik disebabkan bahaya dan kesulitan yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, seseorang harus mengetahui bahwa bertempur untuk menghindari ribath tidak pantas bagi seorang mujahid sejati atas pertimbangan semata. Hal tersebut akan mengakibatkan dosa besar jika diikuti dengan berpalingnya dari ribath yang dibutuhkan atau tidak mematuhi perintah pemimpin. Betapa bahayanya ketika semua pos perbatasan menjadi prioritas bagi tentara salib dan murtad dalam upaya dan rencana mereka untuk menguasai negeri-negeri Khilafah?


Petunjuk dari Allah dan Rahmat Bagi Murābithīn

Sufyan ibnu ‘Uyainah (raḥimahu Llāh) berkata, “Ketika engkau melihat manusia berbeda, maka aku nasihatkan kepadamu untuk bertanya kepada mujahidin dan orang-orang yang ada di perbatasan (ahli tsughūr), karena Allah berfirman {Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami} [QS. Al-Ankabuut : 69]” [Tafsīr Ibn Abī Ḥātim; Tafsīr al-Qurthubī].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim (raḥimahumā Llāh) juga menisbatkan perkataan hikmah ini kepada Al-Auza’i, Ibnu Al-Mubarak, dan Imam Ahmad, serta yang lainnya (raḥimahumu Llāh) [Majmū’ al-Fatāwā; Madārij as-Sālikīn].

Setelah mengutip perkataan Ibnu Al-Mubarak dan Imam Ahmad dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Secara umum, hidup di garis depan, mengadakan ribath, dan meniatkan diri untuk ribath adalah perkara besar. Garis depan terdiri dari Muslimin terbaik dalam ilmu dan amal. Daerah-daerah tersebut merupakan negeri terbaik dalam menegakkan syi’ar keislaman, realitas iman, dan amar ma’ruf nahi munkar. Setiap orang yang ingin mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, mencurahkan dirinya kepada-Nya, dan meraih zuhud, ibadah, dan kesadaran paling baik, maka para ulama akan menunjukkan dia ke arah tsughūr” [Jāmi’ al-Masā`il].

Al-Mundziri (raḥimahu Llāh] menuliskan sebuah bab di dalam kitabnya “at-Targhīb wat-Tarhīb” dengan “Menyerukan Pejuang dan Murābith untuk Meningkatkan Amal Shalih Mereka, Termasuk Shaum, Shalat, Dzikir, dan Sebagainya”, lalu menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri (radhiya Llāhu ‘anh) di mana Rasulullah (shall Llāhu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Barangsiapa yang shaum sehari fī sabīl Llāh (berjihad), maka Allah akan menjauhkan wajahnya tujuh puluh tahun dari api neraka.” Dia kemudian menyebutkan sejumlah hadits lain yang mengindikasikan bahwa ibadah selagi berjihad mendapatkan pahala berlipat ganda. Dia kemudian berkata, “Yang jelas murābith itu juga fī sabīl Llāh. Dengan ini, maka amal shalihnya juga dilipatgandakan berkahnya sebagaimana amal mujahid dilipatgandakan.” Kesempatan untuk beramal shalih di saat ribath lebih besar daripada berperang, karena murābith bisa shalat, shaum, membaca, mengajar, dsb., dengan mudah, sementara pejuang sering disibukkan oleh sengitnya pertempuran, di mana dalam beberapa kasus bisa menyebabkan dirinya membatalka shaum wajib dan menangguhkan shalat fardhu.

Ayat yang disebutkan di atas (Al-‘Ankabuut : 69) memperlihatkan bahwa mencari ilmu sementara beribath akan dirahmati dengan bimbingan Allah bagi sang hamba. Seorang murābith dapat menghafal Al-Qur’an, belajar tafsir, menghafal hadits, dan mempelajari maknanya. Dia bisa mempelajari tauhid, iman, adab, zuhud, fiqh, sirah… Dan ketika dia memohon kepada Allah agar bisa mengamalkan apa yang telah dipelajarinya, niscaya dia akan mendapatkan do’anya dikabulkan dan petunjuk yang diharapkan akan tercapai. Ribathnya – insya Allah – akan menjadikan ilmu tetap bersemayam di dalam kalbunya dan pengaruhnya terlihat pada lisan dan anggota badannya. Demikian pula, berbagai hadits memperlihatkan bahwa ribathnya akan melipatgandakan rahmat pada aktivitas ibadah lain yang dilakukannya di saat ia berada di pos perbatasan.


Ribath dan Jalan Menuju Syahadah

Sejak bangkitnya jihad terjadi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, para pemimpin jihad telah mengatakan bahwa jihad – pada tingkat individu – mengandung rute jalan ke arah syahadah. Seseorang pertama kali berhijrah ke negeri jihad (sekarang Darul Islam), kemudian berbai’at yang diikuti dengan ketaatan (sam’ dan thā’ah) kepada amir (sekarang Khalifah) serta mengikatkan diri kepada jama’ah (sekarang Khilafah), lalu berlatih (i'dād) untuk tujuan jihad, lalu bersabar dalam ribath selama berbulan-bulan, melaksanakan tugas menjaga (ḥirāsah) selama berjam-jam yang tak terhitung, lalu berperang (qitāl) di medan tempur dan membunuh (qatl) siapa saja di antara musuh kafir, dan akhirnya meraih syahadah. Rute ini didasarkan pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah[3], saling menghubungkan di antara sesama amal ini, dasar pengalaman yang didapatkan dari hidup dengan jihad dari hari ke hari, dan pengamatan atas syuhada’ dan kafilah mereka. Tentu saja, selalu ada pengecualian, seperti muhajir yang mendapatkan syahadah selama berlatih di kamp atau murābith yang mendapatkannya pada hari pertama dalam ribathnya. Akan tetapi, ini adalah rute perjalanan yang harus dipegang setiap mujahid, supaya ia mendapatkan hasil maksimal dari buah jihadnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin seseorang diharapkan kesabarannya di dalam medan pertempuran yang dahsyat sementara ia tidak bertahan dengan kesulitan-kesulitan dalam beribath?

Semoga Allah (Ta’ala) menganugerahkan setiap Muslim keberkahan menjalankan ribath di garis-garis depan Khilafah dan kesabaran yang diperlukan untuk tetap teguh hingga ia bertemu dengan-Nya.


Sumber:
 Majalah DABIQ Edisi #9


































No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Nasihat Lukman Al-Hakim: “Anakku, apabila sesiapa datang kepada kamu dengan aduan bahawa si anu telah mencabut kedua-dua biji matanya dan kamu lihat dengan mata kepala sendiri bahawa kedua-dua biji matanya tercabut, namun janganlah kamu sampai kepada sesuatu kesimpulan sebelum kamu mendengar pihak yang lain. Tidak mustahil orang membuat aduan itulah yang mula-mula mencabut mata orang lain, boleh jadi sebelum kehilangan kedua-dua biji matanya dia telah mencabutkan empat biji mata orang lain.”