[Dabiq 7] Wasiat-Wasiat Bagi Para Amir Daulah Islam (Bag. 1)
Jum`at, 22 Rabi`ul Akhir 1436 Dunia Jihad, Featured
Wasiat-Wasiat Bagi Para Amir Daulah
Islam (bag. 1)
oleh: Abu Hamzah al-Muhajir
(rahimahullah)
Segala puji hanya bagi Allah,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, kepada keluarganya dan
kepada orang-orang yang mengikutinya. Amma Ba’du:
Wahai saudara-saudaraku Mujahid,
ini adalah beberapa nasehat, yang telah saya kumpulkan bagimu dari mulut-mulut
para tokoh dan kandungan berbagai kitab. Dan saya sama sekali tidak mengklaim
(sebagai) ahli hikmah. Saya memohon kepada Allah agar menjadikannya manfaat
bagi diri saya dan diri kalian, dan Allah-lah di balik tujuan ini.
[1] Ikhlas karena Allah, karena
di dalamnyalah keselamatan di dunia dan akhirat. Rasulullah (shallallahu
‘alayhi wa sallam) berkata, “Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di
Jalan-Nya seraya tidak mengeluarkan dia kecuali jihad di jalan-Nya dan
pembenaran kalimat-kalimat-Nya, untuk memasukannya ke dalam surga atau
memulangkannya ke tempat tinggalnya yang dia keluar darinya bersama apa yang
dia dapatkan berupa pahala atau ghanimah.” [1]
Dan bertujuanlah dengan amalmu
itu agar kalimat Allah-lah yang tertinggi, karena diriwayatkan dari Abu Musa,
berkata, “Rasulullah (shallallahu ‘alayhi wa sallam) ditanya tentang pria yang
berperang karena keberanian, dan berperang karena fanatisme, dan berperang
karena riya, mana di antara itu yang fi sabilillah? Maka berkatalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah-lah
yang tertinggi, maka dia itu fi sabilillah.'” [2]
[2] Adil dan tulus kepada
orang-orang yang kamu pimpin, karena “Tidaklah seorang amir (yang memimpin)
sepuluh orang melainkan ia kelak didatangkan di hari kiamat seraya di belenggu
yang tidak dilepaskan kecuali oleh keadilan atau ia dijerumuskan oleh
aniaya”,[3] dan “Tidaklah seorang amir yang menangani urusan kaum muslimin
terus ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus kepada mereka, melainkan ia
itu tidak masuk surga bersama mereka”,[4] dan “Tidaklah Allah mengangkat
seorang hamba untuk mengayomi masyarakat, (terus) ia mati saat ia mati
sedangkan ia menipu mereka melainkan Allah haramkan surga terhadapnya.”[5]
[3] Musyawarah dan diskusi
(munadharah), di mana diskusi ini adalah sejawat musyawarah, yaitu: duduk untuk
melontarkan pikiran di majelis, dan komentar setiap orang terhadap pendapat
orang lain, atau mencari tahu pendapat baru, kemudian di akhir memilih pendapat
yang tepat.
Allah ta’ala berfirman: {Dan
ajaklah mereka bermusyawarah di dalam urusan itu} [Ali ‘Imran: 159], di mana
Allah telah mengarahkan Nabi-Nya untuk mengajak musyawarah orang-orang yang di
bawah level beliau padahal akal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
cemerlang lagi unggul, maka bagaimana halnya dengan kalian?
Dan sebagaimana diriwayatkan:
“Tidak menyesal orang yang melakukan musyawarah, dan tidak kecewa orang yang
melakukan istikharah”,[6] dan dikatakan: “Barangsiapa merasa cukup dengan
akalnya maka ia tersesat, barangsiapa mencukupkan diri dengan pendapatnya maka
ia tergelincir, barangsiapa meminta pendapat orang-orang yang berpemikiran maka
ia menempuh jalan yang tepat, dan barangsiapa meminta bantuan orang-orang yang
berakal maka ia berhasil meraih apa yang diharapkan”.
Maka hendaklah setiap amir
memiliki majelis syura yang hakiki, mulai dari amir umum sampai pada amir-amir
sariyyah (brigade). Akan tetapi kamu jangan meminta pendapat orang yang
memiliki hajat yang ingin ia tunaikan, dan jangan pula orang yang kamu rasa
bahwa ia berambisi kepadanya, dan jangan pula orang yang tidak
menimbang-nimbang pikiran pada pendapatnya, karena ada ungkapan: “Biarkan
pendapat sehingga ia matang,” dan telah ada dari Ali radliallahu ‘anhu:
“Pendapat syaikh (orang tua) itu lebih baik dari penyaksian anak muda”[7] yaitu
di dalam peperangan, dan jangan meminta pendapat kecuali saat menyendiri,
karena ia lebih menjaga rahasia dan lebih bisa terkendali bagi orang yang
kadang menyebarkannya.
Memang benar! “Sesungguhnya
musyawarah dan diskusi itu adalah dua pintu rahmat dan dua kunci barakah yang
tidak mungkin terlewatkan satu pendapat pun bersama keduanya”.[8]
[4] Hati-hatilah jangan
sekali-kali kamu mengedepankan orang yang menyetujui pendapatmu saja, dan
waspadalah dari pendamping yang buruk, biasakanlah dirimu untuk sabar terhadap
orang yang menyelisihimu dalam pendapat dari kalangan orang-orang yang tulus,
teguklah kepahitan ucapan mereka dan kritikan mereka, dan jangan berlapang dada
dalam hal itu kecuali kepada orang-orang baik, berakal, berumur, bermuru’ah dan
menjaga kehormatan.
[5] Tidak ada yang lebih
melenyapkan dien dan dunia dari lenyapnya kabar masyarakat yang sebenarnya dari
amirnya; maka dari itu janganlah menutupi diri dari mereka, karena kamu ini
hanyalah manusia yang tidak mengetahui apa yang disembunyikan manusia darimu.
Dan jangan sekali-kali kamu berlindung dengan alasan keamanan, sehingga kamu
aman namun orang-orang yang di bawahmu terlantar; maka seburuk-buruknya amir
adalah kamu kalau begitu.
Awasilah segala urusan oleh
dirimu sendiri setelah mengangkat orang-orang kepercayaan yang tulus, karena
kadang berkhianat orang yang terpercaya itu, dan kadang menipu orang yang tulus
itu, maka carilah kejelasan dari semua urusan. Allah ta’ala berfirman: {Wahai
Dawud! Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau sebagai khalifah (penguasa) di
bumi, maka putuskanlah (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.}
(Shaad: 26)
“Allah ta’ala tidak mencukupkan
dengan sindiran tanpa langsung (perintah), dan tidak mengudzur dalam penyibukan
diri dengan merasa cukup dengan mewakilkan sehingga Dia menyertakannya dengan
kesesatan.”[9]
Dan jangan tergesa-gesa
membenarkan penebar isu yang ingin merusak, karena orang semacam itu adalah
penipu walau dia menyerupai orang-orang yang tulus, tapi jangan kamu buang
begitu saja ucapannya, karena bisa saja dia itu jujur, dan berbaik sangkalah
kepada ikhwanmu, karena berbaik sangka itu memutus dirimu dari kelelahan yang
panjang.
[6] Seyogyanya bagi amir membawa
dirinya dan bala tentaranya untuk komitmen dengan hak-hak yang telah Allah
ta’ala wajibkan dan dengan batasan-batasan yang telah Allah perintahkan (karena
orang yang berjihad membela agama adalah orang yang paling berhak untuk
komitmen dengan hukum-hukumnya),[10] sebab kamu tidak akan melakukan perbaikan
sedangkan kamu sendiri rusak, dan tidak akan bisa membimbing sedangkan kamu sendiri
menyimpang, dan tidak akan menunjuki jalan sedangkan kamu sendiri sesat, karena
bagaimana bisa orang buta menjadi penunjuk, dan orang hina menjadi jaya?
Sedangkan tidak ada yang lebih hina dari kehinaan maksiat, dan tidak ada yang
lebih jaya (mulia) dari kejayaan ketaatan, maka jauhkanlah dirimu dari
akhlak-akhlak yang rendah dan pertemanan dengan orang-orang fasiq.
[7] Hati-hatilah, jangan sampai
kesempitan kondisimu dalam suatu hal mendorongmu untuk mencarinya dengan yang
tidak benar; karena sesungguhnya kesabaranmu terhadap kesempitan yang kamu
harapkan keberakhirannya dan keutamaan akibatnya adalah lebih baik daripada
maksiat yang kamu khawatirkan tuntutannya. Sedangkan poros dien itu adalah
kesabaran.
[8] Hati-hatilah, jangan kamu
mengistimewakan dirimu dengan kendaraan atau pakaian; karena Umar telah menulis
surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallahu ‘anhuma: “… dan telah sampai
berita kepadaku bahwa telah merebak pada dirimu dan keluargamu model pada
pakaianmu, makananmu dan kendaraanmu, yang berbeda dengan keumuman kaum
muslimin; maka hati-hatilah wahai Abdullah jangan sampai kamu seperti hewan
ternak, ia melewati lembah yang subur, maka tidak memiliki keinginan kecuali
menggemukan diri, padahal kebinasaannya itu hanyalah pada kegemukan, dan ketahuilah
bahwa bila pemimpin menyimpang maka menyimpanglah rakyatnya, dan orang yang
paling celaka adalah orang yang rakyatnya menjadi celaka dengan sebabnya.” [11]
[9] Ketahuilah bahwa peperangan
itu sebagaimana yang mereka katakan: Bebannya adalah kesabaran, porosnya adalah
tipu muslihat, lingkarannya adalah ijtihad, pelurusnya adalah ketelitian, dan
kendalinya adalah kewaspadaan. Dan bagi masing-masing hal itu ada buahnya; di
mana buah kesabaran adalah pertolongan, buah tipu muslihat adalah kemenangan, buah
ijtihad adalah taufiq, buah ketelitian adalah optimisme, dan buah kewaspadaan
adalah keselamatan. ‘Amr ibnu Ma’di Kariba[12] ditanya tentang perang, maka ia
mengatakan: “Barangsiapa sabar di dalamnya, maka ia mengenal, dan barangsiapa
urung darinya, maka ia binasa”,[13] maka hindarilah ketergesa-gesaan, karena
berapa banyak ketergesa-gesaan itu melahirkan penyesalan.
[10] Kedepankan orang-orang yang
berpengalaman dan yang kuat untuk menghadapi musuh saat peperangan berkecamuk,
dan sebarlah mereka pada sariyah-sariyah supaya menjadi kuat orang yang lemah
dengan sebab mereka, dan menjadi berani orang
penakut dengan sebab keberanian mereka. Hati-hatilah, jangan sampai
orang penggembos atau penebar isu menyertai ikhwanmu, dan waspadalah terhadap
mata-mata dan intel. Di mana berapa banyak kelompok yang sedikit bisa
mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah. Akan tetapi jangan kamu
pilih di dalam peperangan itu orang-orang yang kuat saja dan kamu tinggalkan
orang-orang lemah yang menginginkan apa yang ada di sisi Allah, karena
sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dan tidaklah kalian
itu diberi kemenangan dan diberi rizqi kecuali dengan sebab orang-orang lemah
kalian”,[14] dan sesungguhnya Allah menolong suatu kaum dengan sebab orang
paling lemah mereka.
[11] Jangan menelantarkan
perlengkapan yang bisa dipakai, seperti rompi anti peluru dan helm pelindung,
dan itu bukan tergolong sikap pengecut, karena sungguh manusia paling berani
yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki baju besi, namun ini
tidak menghalangi dari bertempur tanpa memakai pelindung pada waktunya yang
tepat. Habib ibnul Muhallab[15] berkata: “Aku tidak melihat di dalam peperangan
seorang pria yang memakai pelindung kepala melainkan ia itu bagiku adalah dua
orang, dan aku tidak melihat dua orang yang tanpa pelindung melainkan keduanya
bagiku adalah satu orang”, maka ucapan ini didengar oleh sebagian orang yang
berpengalaman, maka ia berkata: “Dia benar! Sesungguhnya senjata itu memiliki
keutamaan; apa kamu tidak melihat mereka saat memanggil pada kondisi genting;
‘Senjata, senjata,’ dan mereka tidak memanggil: ‘pasukan, pasukan'”.[16]
[12] Sesungguhnya amir yang
bijaklah yang membekali ikhwannya dengan perbekalan yang bisa menguatkan diri
mereka sepanjang hari berupa makanan dan minuman. Adalah para pejuang salah
seorang panglima Afghan yang memusuhi Taliban bila kita periksa saku mereka
maka kita mendapatkan zabib (anggur kering) di dalamnya.
[13] Seyogyanya bagi amir
menunjuk bagi setiap grup amirnya, dan ia memeriksa kendaraan dan persenjataan
ikhwannya dan perbekalannya, terutama sebelum penyerangan. Ia jangan memasukan
di dalamnya apa yang susah di bawa saat kondisi gawat dan serius, dan jangan
mengosongkan darinya apa yang dibutuhkan saat terjadi apa yang di luar dugaan
dan jauhnya perjalanan, terutama bila diprediksi lamanya peperangan.
[14] Seyogyanya jumlah muqatil
dalam satu mobil tidak boleh lebih dari tiga, kecuali bila kepentingan
menuntutnya, dan hendaklah ia menjamin hubungan komunikasi yang aman yang sudah
dikaji di antara sariyah-sariyah itu, serta ia menetapkan bagi mereka sandi
untuk ucapan mereka dan syi’ar (slogan) untuk peperangan mereka.
[15] Amir harus memperdengarkan
kepada rakyatnya dan bala tentaranya suatu yang mengokohkan jiwa mereka dan
membuat mereka merasa optimis bisa mengalahkan musuh mereka, serta mengutarakan
kepada mereka dari sebab-sebab kemenangan suatu yang dengannya mereka
menganggap kecil musuh mereka. Allah ta’ala berfirman: {(ingatlah) ketika Allah
memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah
memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak, tentu kalian menjadi gentar dan tentu
kalian akan berbantah-bantahan dalam urusan itu} [Al-Anfal: 43]
Bersambung bagian 2:
http://shoutussalam.org/2015/02/dabiq-7-wasiat-wasiat-bagi-para-amir-daulah-islam-bag-2/
Footnote:
[1] Muttafaq ‘alaih
[2] Muttafaq ‘alaih
[3] Dikeluarkan oleh Ahmad dan
lainnya dengan sanad hasan.
[4] HR. Muslim
[5] Muttafaq ‘alaih
[6] Ath-Thabaraniy dan yang lain
dengan sanad dlaif.
[7] Dikeluarkan Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra.
[8] Datang dari Umar ibnu Abdil
Aziz dalam “Adab Ad-Dunya Wad Dien “milik Al-Mawardiy, dan yang lainnya.
[9] Al-Mawardiy, nukilan dari
Badaius Salik fi Thaba’il Malik.
[10] Dari ucapan Al-‘Allamah
Al-Mawardiy dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
[11] Dikeluarkan dalam Kanzul
‘Ummal milik Ad-Dainuriy, dan dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya dengan teks serupa.
[12] Salah seorang pahlawan
sahabat radliallahu ‘anhu.
[13] Disandarkan kepadanya oleh
Al-Baladzuriy dalam Futuhul Buldan.
[14] Al-Bukhari
[15] Habib ibnul Muhallab ibnu
Abi Shufrah: Salah seorang pemberani dan pembesar Arab di masa Al-Marwaniy.
Dari Al-A’lam milik Az-Zarkaliy.
[16] Uyunul Akhbar
Terjemahan diambil dari https://millahibrahim.wordpress.com/2012/01/23/30-wasiat-risalah-ke-1/
dengan sedikit penyesuaian format sesuai majalah Dabiq.
No comments:
Post a Comment